Senin, 24 Februari 2014

Pierre Felix Bourdieu; Melacak Asal-usul Masyarakat, Melampaui Oposisi Biner dalam Ilmu Sosial*



          1. Riwayat Hidup dan Karyanya

Pierre-Felix Bourdieu, lahir 1 Agustus 1930 di Desa Denguin, di Distrik Pyrenees-Atlantiques Barat Daya Prancis dikenal sebagai sosiolog, antropolog, dan jawara pergerakan anti globalisasi. Karyanya memiliki bahasan luas mulai dari etnografi hingga seni, sastra, pendidikan, bahasa, selera kultural, dan televisi.  Pendidikan licee (SMA)-nya di Pau kemudian pindah ke licee louis-le Grand di Paris; dari sini dia diterima masuk Ecole Normale Superieure---salah seorang temannya adalah Jacques Derrida dan di sana  belajar filsafat pada Louis Althusser.

Bourdieu tertarik pada pemikiran Marleau-Ponty, Husserl— karya Heidegger Being and Time sudah lebih dulu dibaca—dan  tulisan-tulisan Marx.  Tesisnya tahun 1953 merupakan terjemahan dan ulasan Animadversiones karya Leibnis. Setelah diterima di Agregation dan mendapat Agrege dia menjadi pengajar lycee di Moulins pada tahun 1955 kemudian bergabung dengan ketentaraan dan dikirim ke Aljazair selama dua tahun. Pada tahun 1958  mengajar di Universitas Aljazair dan melahirkan buku pertamanya, Sociologie de I’Algerie (diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul The Algerian).  Pengaruh-pengaruh yang membentuk pemikiran Bourdieu sangat beragam karena  menggabungkan sosiologi, antroplogi, dan filsafat.

Pada tahun 1960, Bourdieu kembali ke Paris sebagai  antropolog autodidak dan mengajar di Universitas Paris (1962-1964) dan di Universitas Lille (1962-1964). Pada tahun 1964 bergabung dengan Ecoles des Hautes Etudes en Science Sociales dan mendirikan pusat sosiologi pendidikan dan budaya. Pada tahun 1968 menjadi Direktur Centre de Sociologie Europeenne kemudian bersama koleganya  mempelopori riset kolektif tentang permasalah pelestarian sistem kuasa dengan menggunakan transmisi dari budaya dominan.

Pada tahun  1981, Bourdieu terpilih  memegang jabatan di bidang sosiologi di College  de France dan pada tahun 1993 di anugrahi penghargaan ‘Medaille d’or du Centre Nasional de la Recherche Scientifique (CNRS)’. Dari tahun 1962 sampai 1983 hidup berumahtangga dengan Marie-Claire Brizard. 

Bourdieu menulis karya klasik dalam tiap bidang keilmuan  mulai dari pembedahan brilian tentang budaya selera dalam Distinction hingga kajian yang menyempal tentang social suffering dalam The Weigh of The World; mulai dari laporan tajam tentang gender dan kuasa dalam Masculine Domination hingga analisisnya yang benar-benar orisinal tentang relasi pasar dalam The Social Struktures of the Economiy. Pada tahun 1975 Bourdieu meluncurkan jurnal Actes de la Recherche en Sciences Sociales.  Di akhir 1980-an Bourdieu telah menjadi  ilmuan sosial Prancis yang paling sering dikutip di Amerika Serikat.  Pada tahun 1996, menjadi pendiri perusahaan penerbitan Liber/Raison d’Agir. Buku Bourdieu paling terkenal adalah Distinction: A Social Critique of the Judgmen of Taste (1984) oleh International Sociological Assotiation  menganggap sebagai salah satu dari 10 buku sosiologi paling penting di abad 20. Pada tahun 1998, dia menerbitkan sebuah artikel di surat kabar Le Mond.  Bourdieu meninggal 23 Januari 2002 karena kanker di rumah sakit Saint-Antoine Paris.

2.     Epistimologi Bourdieu; melampaui oposisi biner
Pemikiran  Bourdieu dicirikan secara khas oleh beragam sumber intelektual; Marx, Durkheim, Weber, Sausure, Wittgeinstein, Benveniste, Canguilhem dan dari berbagai mashab pemikiran yang terentang dari fenomenologi, strukturalisme hingga filsafat analitis.  Ide-idenya ditulis, dipresentasikan, dan ditulis kembali dengan gaya dialektis.  Ia berkarya menurut cara spiral antara teori, kerja empiris, dan kembali lagi merumuskan ulang teori namun pada tingkat yang berbeda.  Karya-karyanya lahir dari pengamatan empiris, berpijak pada kehidupan sehari-hari dan dapat dilihat sebagai sosiologi budaya atau teori praktik.  Istilah kunci dalam pemikirannya adalah habitus dan ranah (field).   Bourdieu memperluas gagasannya tentang modal ke dalam beberapa kategori, seperti modal sosial dan modal budaya. Bagi Bourdieu, posisi individu terletak di ruang sosial  (social space) yang tidak didefenisikan oleh kelas, tetapi oleh jumlah modal dengan berbagai jenisnya dan oleh jumlah relatif modal sosial, ekonomi, dan budaya yang dipertanggungjawabkan.

Bagaimana sebuah masyarakat dengan segala seluk-beluknya---mencakup interaksi antar unsur serta struktur objektif dan subjektifnya---terbentuk? Pertanyaan besar bagi Pierre Bourdieu sehingga layak  disebut filsuf.  Dalam pemikirannya, ia bukan hanya menjawab pertanyaan  tentang asal-usul dan seluk-beluk masyarakat, tetapi sekaligus menjawab persoalan-persoalan baru yang diturunkan dari pemikiran-pemikiran sebelumnya; Pertentangan struktur vs agensi, faktor objektif vs faktor subjektif, objektifisme vs subjektifisme, nature vs histori, doxa vs episteme, material vs simbolik, kesadaran vs ketidaksadaran, kebebasan manusia vs keterikatan oleh struktur, serta ekonomi versus budaya semuanya terjelaskan dan teratasi dengan pemikirannya. Semua dijelaskan secara unik dengan konsep-konsep khusus yang memilki daya penjelas teoritis dan secara operasional membantu mengarahkannya kepada analisis terhadap praktik kehidupan sehari-hari dalam masyarakat. Melalui konsep tersebut, Bourdieu bukan hanya  mengatasi persoalan kesenjangan antara teori dengan konsep-konsep sekaligus juga mengatasi persoalan kesenjangan antara antara teori dan praktik, pikiran dan tindakan, serta ide dan realitas konkret.

Persoalan yang di garap Bourdieu  tentang bagaimana suatu pengetahuan dan unsur-unsur budaya lainnya disebarkan serta berpengaruh dalam masyarakat. Ia  juga ingin melampaui dikotomi agensi vs struktur dan menjelaskan secara lebih komperhensif dinamika kehidupan masyarakat dengan membedakan struktur objektif yang terpampang dalam ruang sosial dari struktur subjektif berupa disposisi yang ada dalam diri individu. Tujuan yang ingin dicapai; ”…mewujudkan suatu ilmu tentang hubungan-hubungan dialektis antara struktur-struktur objektif…dengan berbagai disposisi terstruktur yang menjadi wahana teraktualisasikannya struktur-struktur tersebut dan yang cenderung mereproduksi berbagai disposisi tersebut”.  Menurut Bordieu; konsep oposisi agensi vs struktur tidak memadai untuk menjelaskan realitas sosial. Praktik sosial tidak dapat begitu saja di jelaskan sebagai produk dari struktur atau agensi sebagai subjek. Penjelasan relasional yang menunjukan dinamika hubungan antara agensi dan struktur diperlukan untuk menemukan hubungan saling mempengaruhi yang tidak linear diantara keduanya.

3.      Metode; Strukturalisme Generatif
Seluruh tindakan manusia terjadi dalam ranah sosial yang merupakan arena bagi perjuangan sumber daya.  Individu, institusi dan agen lainnya mencoba untuk membedakan dirinya dari yang lain dan mendapatkan modal yang berguna atau berharga di arena tersebut. Dalam masyarakat modern, terdapat dua sistem hierarkisasi yang berebeda. Pertama adalah sistem ekonomi, di mana posisi dan kuasa ditentukan oleh uang dan harta—modal  yang dimilki seseorang. Sistem kedua adalah budaya dan simbolik. Dalam sistem ini, status seseorang di tentukan oleh seberapa banyak ‘modal simbolik’ atau modal budaya. Dalam Distinction—penelitian empirik di tahun 1960-an— Bourdieu berpendapat bahwa selera, sebuah perolehan ‘kompetensi kultural’, digunakan untuk melegitimasi perbedaan-perbedaan sosial. Habitus dari kelas dominan dapat dilihat dalam gagasan bahwa selera merupakan anugrah dari alam.  Selera berfungsi untuk membuat ‘distingsi’ sosial.

Kontribusi Bourdieu terhadap ilmu-iilmu sosial menyangkut upayanya  membangun sebuah teori umum tentang praktik.     Bourdieu bermaksud mengatasi oposisi antara dua konsepsi pengetahuan ilmiah— perspektif objektivisme dan subjektivisme yang tidak bisa didamaikan—dan mengubahnya menjadi sebuah hubungan dialektis antara struktur dan agensi.  Dengan menggunakan pendekatan Strukturalisme Generatif  sebagai kerangka teori dan metode, Bourdieu mendeskripsikan suatu cara berpikir dan cara mengajukan pertanyaan.  Melalui teori dan metode tersebut, Bourdieu  mendeskripsikan, menganalisis dan memperhitungkan asal-usul seseorang, asal-usul berbagai struktur serta kelompok sosial—sebagai relasi dialektis antara struktur dan agensi—sebagai  teori analisis dialektis atas kehidupan praktis.  Perspektif ini menawarkan kesanggupan untuk menunjukan hubungan saling mempengaruhi antara praktik ekonomi personal  dengan dunia sejarah kelas dan praktik sosial yang’eksternal’. Tugas disamping menginginkan cara berpikir relasional dan melampaui apa yang dideskripsikan Bourdieu sebagai oposisi artifisial antara struktur objektif dan representasi subjektif.  Tugas ini juga tidak dapat direduksi menjadi suatu pemeriksaan atas interaksi-interaksi kongkret diantara masyarakat.  Dengan pendekatan Strukturalisme Generatif, Bourdieu  berargumen bahwa realitas sosial itu sendiri bersifat kompleks dan bahwa ilmu sosial (antropologi, sosiologi, ilmu pendidikan dan sejarah)  harus menciptakan konsep dan metode untuk merefleksikan dan memahami realitas semacam itu.  Strukturalisme Generatif dirancang sebagai kerangka teori dan metode untuk memahami asal-asul struktur sosial maupun disposisi (disposition) habitus para agen yang tinggal di dalam struktur-struktur ini.

Berseberangan dengan Cartesian—pandangan Cartesian membedakan secara jelas dan terpilah antara subjek dengan dunia luar—Bourdieu  menganggap bahwa subjek dan dunia luar begitu juga agensi dan struktur bukan dua substansi yang dapat dipilah begitu saja tetapi keduanya saling terkait dan saling mempengaruhi dalam satu proses untuk menghasilkan praktik sosial. Struktur Objektif merupakan jejak pengaruh Marxisme sebagai dasar keterputusan Bourdieu dengan fenomenologi sedang Struktur Subjektif merupakan jejak-jejak fenomenologi sebagai dasar keterputusan Bourdieu dengan Marxisme.  Bourdieu melakukan keterputusan dengan Marxisme moderen karena terlalu menekankan faktor ekonomi sebagai struktur yang membentuk manusia dan mengabaikan subjektifitas `manusia sebagai agen.  Keterputusannya dengan fenomenomlogi karena kecenderungan fenomenologi menempatkan manusia  sebagai subjek penentu dengan kesadarannya dan menganggap sepi pengaruh realitas sosial yang tampil sebagai struktur objektif.  Keterputusan dengan Marxisme dan Keterputusan dengan Fenomenologi akhirnya Bourdieu menegaskan bahwa; cara berpikir linear dan oposisi biner yang mempertentangkan agen dan struktur tidak memadai untuk menjelaskan seluk beluk masyarakat.

Menjelaskan hubungan  agensi dan struktur yang tidak linear tersebut, Bourdieu lalu mengajukan konsep khasnya; Habitus dan Ranah (Field). Habitus sebagai “….suatu sistem oposisi yang berlangsung lama dan berubah-ubah (durable, transposible disposition) yang berfungsi sebagai basis generatif bagi praktik-praktik yang terstruktur dan terpadu secara objektif.”  Sedang Ranah  merupakan jaringan relasi antara posisi-posisi objektif dalam suatu tatanan sosial yang hadir terpisah dari kesadaran dan kehendak individual.  Habitus dan ranah merupakan perangkap konseptual utama karya Bourdieu ditopang oleh sejumlah ide lain, seperti kekuasaan simbolik, strategi, dan perebutan (kekuasaan simbolik dan material), beserta beragam jenis modal (modal ekonomi, budaya dan simbolik).  Didalam ranah menurut Bourdieu; pertaruhan sosial selalu terjadi.   Mereka yang memiliki modal dan habitus yang sama dengan kebanyakan individu akan lebih mampu melakukan tindakan mempertahankan atau mengubah struktur dibanding mereka yang tidak memiliki modal.  Secara ringkas, Bourdieu menyatakan rumus generatif yang menerangkan praktik sosial dengan persamaan : (Habitus X Modal) + Ranah = Praktik.  Rumus ini mengganti setiap relasi sederhana antara individu dan struktur dengan relasi antara habitus dan ranah yang melibatkan modal.

4.     Habitus
Habitus adalah suatu sistem disposisi yang berlangsung lama dan berubah-ubah (durable, transposible dispotition) yang berfungsi sebagai basis generatif bagi praktik-praktik yang terstruktur dan terpadu secara objektif.   Habitus mengacu pada sekumpulan disposisi yang tercipta terformulasi melalui kombinasi struktur objektif dan sejarah personal. Disposisi diperoleh dalam berbagai posisi sosial yang berada di dalam suatu ranah, dan mengimplikasikan suatu penyesuaian subjektif terhadap posisi tersebut.

Habitus sebagai struktur kognitif yang memperantarai individu dan realitas sosial.  Individu menggunakan habitus dalam berurusan dengan realitas sosial.  Habitus merupakan  struktur subjektif yang terbentuk dari pengalaman individu berhubungan dengan individu lain   dalam jaringan struktur objektif yang ada dalam ruang sosial.  Habitus diindikasikan oleh skema-skema yang merupakan perwakilan konseptual dari benda-benda dalam realitas sosial.  Manusia memiliki sekumpulan skema yang terinternalisasi dan melalui skema-skema itu mereka mempersepsi, memahami, menghargai serta mengevaluasi realitas sosial.  Berbagai macam skema tercakup dalam habitus; konsep ruang, waktu, baik-buruk, sakit-sehat, untung-rugi, berguna-tidak berguna, benar-salah, atas-bawah, depan-belakang, kiri-kanan, indah-jelek, dan terhormat-terhina.  Skema tersebut diungkapkan dalam wujud istilah sebagai hasil penamaan.  Skema-skema dimaksud berhubungan sedemikian rupa membentuk struktur kognitif yang memberi kerangka tindakan kepada individu dalam hidup kesehariannya bersama orang-orang lain.

Habitus juga mencakup pengetahuan dan pemahaman seseorang tentang dunia, yang memberikan kontribusi tersendiri pada realitas dunia tersebut. Oleh sebab itu, pengetahuan seseorang memilki kekuasaan konstitutif (kemampuan menciptakan bentuk realitas dunia) yang genuin dan bukan semata-mata refleksi dunia ‘riil’.  Karena cara perkembangan ini, habitus tak pernak ‘tak berubah  (fixed)’—baik  melalui waktu untuk seorang individu, maupun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Sebagaimana posisi yang terdapat di dalam berbagai ranah berubah-ubah, demikian juga berbagai disposisi yang membentuk habitus.

5.     Modal
Bagi Bourdieu defenisi modal sangat luas dan mencakup hal-hal material (yang dapat memiliki nilai simbolik) dan berbagai atribut yang tersentuh, namun memiliki signifikansi secara kultural, misalnya prestise, status dan otoritas (yang dirujuk sebagai modal simbolik), serta modal budaya (yang didefenisikan sebagai selera bernilai budaya dan pola-pola konsumsi).  Modal budaya dapat mencakup rentangan luas properti seperti seni, pendidikan dan bentuk-bentuk bahasa.  Modal berperan sebagai sebuah relasi sosial yang terdapat didalam suatu sistem pertukaran dan istilah ini diperluas pada segala bentuk barang—baik materil maupun simbol, tanpa perbedaan—yang mempresentasikan dirinya sebagai sesuatu yang jarang dan layak untuk dicari dalam sebuah formasi sosial tertentu.

Keterkaitan antara ranah, habitus dan modal bersifat langsung.  Nilai yang diberikan modal dihubungkan dengan berbagai karakteristik sosial dan kultural habitus.  Ranah dikitari oleh relasi kekuasaan objektif yang memiliki basis material.  Jenis-jenis modal yang dikenal dalam ranah-ranah tertentu dan yang digabungkan ke dalam habitus, sebagian juga dihasilkan oleh basis material tersebut.  Lazimnya, jumlah (volume) modal, sebagaimana struktur modal tambahan juga merupkan suatu dimensi penting di dalam ranah.

Beragam jenis modal dapat ditukar dengan jenis-jenis modal lainnya—yang artinya  modal bersifat dapat ditukar.  Penukaran paling hebat yang telah dibuat adalah penukaran pada modal simbolik, sebab dalam bentuk inilah bentuk-bentuk modal yang berbeda dipersepsi dan dikenali sebagai sesuatu yang legitimit.  Agar dapat dipandang sebagai seseorang atau kelas yang berstatus dan mempunyai prestise, berarti ia harus diterima sebagai sesuatu yang legitimit dan terkadang sebagai otoritas yang juga legitimit.  Posisi semacam itu membawa serta kekuasaan untuk memberi nama (aktivitas, kelompok), kekuasaan untuk mewakili pendapat umum (common sense) dan yang terpenting kekuasaan untuk menciptakan versi dunia sosial yang resmi.  Kekuasaan untuk merepresentasikan seperti ini berakar dalam dunia simbolik.

6.     Ranah
Habitus mendasari ranah yang merupakan jaringan relasi antara posisi-posisi objektif dalam suatu tatanan sosial yang hadir terpisah dari kesadaran individuial.  Ranah bukan ikatan intersubjektif antar individu, namun semacam hubungan yang terstruktur dan tanpa disadari mengatur posisi-posisi individu dan kelompok dalam tatanan masyarakat yang terbentuk secara spontan.  Habitus memungkinkan manusia hidup dalam keseharian  secara spontan dan melakukan hubungan dengan pihak-pihak di luar dirinya.  Dalam proses interaksi dengan pihak luar  terbentuklah ranah, jaringan relasi posisi-posisi objektif.  Ranah merupakan metafora yang digunakan Bourdieu untuk menggambarkan kondisi masyarakat yang terstruktur dan dinamis dengan daya-daya yang dikandungnya. 

Ranah mengisi ruang sosial—mengacu pada keseluruhan konsepsi tentang dunia sosial.  Konsep ini menganalogikan realitas sosial sebagai sebuah ruang dan pemahamannya menggunakan pendekanan topologi.  Ruang sosial dapat dikonsepsi sebagai terdiri dari beragam ranah yang memiliki sejumlah hubungan terhadap satu sama lain serta sejumlah titik kontak.  Ruang sosial individu dikaitkan melalui waktu (trajektori kehidupan) dengan serangkaian ranah tempat orang-orang berebut berbagai bentuk modal.  Dalam ruang sosial, individu dengan habitus-nya berhubungan dengan individu lain dan berbagai realitas sosial yang menghasilkan  tindakan-tindakan sesuai dengan ranah dan modal yang dimilikinya.


7.     Praktik
Praktik merupakan suatu produk dari relasi antara habitus sebagai produk sejarah dan ranah yang juga merupakan produk sejarah.  Pada saat bersamaan habitus dan ranah juga merupakan produk dari medan daya-daya yang ada di masyarakat.  Dalam suatu ranah ada pertaruhan, kekuatan-kekuatan serta orang yang memiliki banyak modal dan orang yang tidak memiliki modal.  Modal merupakan sebuah konsentrasi kekuatan, suatu kekuatan spesifik yang beroperasi di dalam ranah.  Setiap ranah menuntut individu untuk memiliki modal-modal khusus agar dapat hidup secara baik dan bertahan didalamnya.

8.     Penutup
Bourdieu mengatasi persoalan pertentangan antara struktur vs agensi.  Ia memandang kehidupan sosial sebagai relasi dialektis antara struktur dan agensi.  Pandangan ini membuat kehidupan sosial menjadi sangat kompleks.  Bourdieu mengembangkan pendekatan strukturalisme generatif sebagai kerangka teori dan metode untuk memahami kompleksitas realitas sosial.  Pendekatan ini menggunakan cara berpikir relasional, melampaui oposisi artifisial antara struktur objektif dan representasi subjektif,  serta menghindari reduksi sekadar pemeriksaan atas interaksi-interaksi kongkret diantara masyarakat.

Bourdieu dinilai banyak kritikus berhasil menjelaskan secara komprehensif bagaimana terjadinya prakltik sosial.  Ia berhasil merumuskan sebuah teori tentang praktik sosial yang memberi kerangka bagi analisis terhadap kehidupan sosial secara indegenous.  Dengan konsep-konsep dalam teorinya, penelitian sosial dimungkinkan untuk menggali ciri khas dan keunikan sebuah masyarakat, mulai dari karakteristik subjektif dari  individu hinga karakteristik dari struktur objektifnya.  Konsep-konsep itu juga memungkinkan peneliti sosial memahami dinamika hubungan antara agensi dan struktur yang tidak linear dan khas untuk setiap masyarakat.

Teori Bourdieu memberi kerangka yang lebih jelas, praktis dan komprehensif dalam menjawab berbagai masalah sosial yang belum terselesaikan oleh pemikir-pemikir sosial sebelumnya,  terutama persoalan-persoalan dikotomis dalam teori sosial.  Pertentangan subjek-objek, struktur-agensi, pikiran-tindakan, teori-praktik dan dikotomi lain yang mengikuti pola oposisi biner terlampaui dalam pemikiran Bourdieu. Ia bukan hanya berhasil menjelaskan asal-usul masyarakat, tetapi juga berhasil melampaui oposisi biner dalam ilmu sosial.
          
Makassar, 24 Februari 2014
Catatan:  Richard Harker, Cheelen Mahar dan Chris Wilkes. (Habitus X Modal) + Ranah = Praktik; Pengantar Paling Komprehensif kepada Pemikiran Pierre Bourdieu, Jalasutra, Yogjakarta, 2009.

Kamis, 13 Februari 2014

Filsafat Nietzsche: Perjalanan Menuju Kesempurnaan*



                                                                                                                                                                


     Kita lebih suka hancur dari pada berubah, Kita lebih suka mati ketakutan dari pada menanggung derita saat ini dan membiarkan ilusi kita mati (W.H. Auden)   

Jika anda tidak suka dengan dunia ini, ubahlah.  Anda punya kewajiban untuk mengubahnya.  Lakukan satu langkah pada setiap kesempatan (Marian Wright Edelman)

Apa yang kita perhatikan, dan cara kita memerhatikan, menentukan makna dan mutu kehidupan (Mihaly Csikszentmihalyi)


  1. Riwayat hidup dan Karya-karyanya  (1844-1900)

Friedrich Wilhelm Nietzsche Lahir 15 Oktober Tahun 1844 di Roecken di wilayah Sachsen dari sebuah keluarga Protestan Lutheran yang sangat saleh. Ayahnya  seorang Pastor Lutheran dan berharap kelak menjadi seorang Pastor.   Pada tahun 1854, Nietzsche masuk Gimnasium di kota Naumburg namun empat tahun kemudian ibunya memintanya belajar di sekolah asrama Lutheran yang sangat termasyhur di kota Pforta.   Di sana dia membaca karya para sastrawan dan pemikir besar, seperti: Schiller, Holderlin, dan Byron, meminati  Plato dan Aeschylus karena kagum pada kejeniusan kebudayaan Yunani kuno.   Pada tahun 1864, dia studi di Universitas Bonn tetapi setahun kemudian (tahun 1865) dia belajar filologi di kota Leipzig di bawah bimbingan Profesor Ritschl---di kota ini secara kebetulan di tukang loak dia menemukan buku Schopenhauer, Die Welt Als Wille Und Vorstellung.   Studinya terputus tahun 1867 karena ikut wajib militer namun karena terjatuh dari kudanya dan terluka dia kembali ke Leipzig dan belajar. Pada masa ini dia berkenalan dengan musisi Richard Wagner seorang komponis Jerman termasyhur yang kemudian menjadi sahabatnya.  Persahabatan itu memengaruhi tulisannya periode pertama riwayat intelektualnya, Die Geburt Der Tragodie Aus dem Geister Der Musik (asal usul dari tragedi semangat musik).  
  
Dalam periode pertamanya Nietzsche sangat mengagungkan kebudayaan  Yunani kuno sebelum Sokrates, yakni periode sekitar abad ke-6 SM.  Periode awal kebudayaan Yunani menurutnya zaman para genius Yunani sebagai “Republik para genius” yang memuncul orang-orang hebat, seperti; Tales, Anaximandros, Heracleitos, Parmenides, Empedokles, Demokritos.  Mereka para filsuf sejati, bukan hanya karena mereka  pencari-pencari sejati, melainkan  karena mereka tidak terperangkap dalam kepercayaan transendental akan dewa-dewa, mereka berpikir merdeka dan kreatif,  melihat dunia apa adanya, tanpa menoleh ke dunia-sana.
Sekitar tahun 1869, Ritschl memintanya menjadi dosen di Universitas Basel--- usianya baru 24 tahun dan  belum meraih gelar doktor. Antara tahun 1873-1876, dia menerbitkan empat buah esai dengan satu judul umum Unzeit Gemaesse Betractungen (kontempalisi-kontemplasi tak aktual). Pada tahun 1876, terbit esai keempatnya yang berjudul Richard Wagner In Bayreuth.   Patah arang dengan Wagner menandai tahap kedua riwayat intelektual Nietzsche dan menjadi kurang meminati seni kemudian meminati filsafat dan ilmu dan lebih menyukai Sokrates daripada para filsuf pra-Sokrates. Periode kedua ini sering di sebut “periode positifistis”, dan karyanya yang menandai periode ini adalah Menschliches, Allzumenschliches (manusiawi, terlalu manusiawi). (1878-1879).
Periode ketiga, suatu periode ketika Nietzsche menemukan kemandiriannya dalam berfilsafat. Selama periode terakhir ini kesehatannya memburuk dan menjadi sakit-sakitan dan merasa semakin kesepian---dia butuh teman yang bisa diajak omong secara sejajar, tetapi banyak orang tak membantu pikiran-pikirannya. Selama periode ini, dia berpindah-pindah dari Jerman, ke Itali, ke Swiss, dan mengahasilkan karya-karya pokoknya seperti Also Sprach Zarathustra (Demikianlah Sabda Zarathustra), Der Antichrist (Anti Kristus), Ecce Homo (Itulah Manusia), dll.  Ketegangan mental yang hebat dan semangat yang mengebu-gebu dibulan januari 1889,  Nietzsche menjadi gila. Pada masa kegialaanya, karya-karyanya menjadi termasyhur, saudarinya, Elisabeth, dengan setia merawatnya sampai dia meninggal dunia di Weimar tanggal 25 Agustus 1900 karena Pneumonia.  Dalam bukunya Ecce Homo, Nietzsche menulis suatu ramalan tentang dirinya sendiri: “Aku tahu nasibku. Suatu hari nanti namaku akan mengingatkan sesuatu yang dahsyat-suatu krisis yang tak terperikan di bumi, tabrakan hati nurani yang paling mendalam, suatu keputusan yang diambil melawan segala sesuatu yang telah dipercayai, dituntut, dimulaikan selama ini. Aku bukanlah seorang manusia, aku adalah dinamit.” Pengaruh Nietzsche dalam berbagai bidang pengetahuan, seperti sastra, teologi, psikologi, sosiologi, dan sebagainya. Di dalam filsafat barat abat kita, pengaruhnya sangat kental dalam pemikiran Heidiger, Rischard Rorty, Jacques Derida.  Pemikiran Nietzsche memegang peranan penting dan dianggap sebagai seorang filsuf yang mengiring filsafat modern sampai pada batas-batasnya, sehingga para filsuf sekarang tidak hanya bicara tentang “kematian Tuhan”, tetapi juga “kematian manusia” dan “the end of philosophy”                  
2.     Berfilsafat dengan Aforisme-aforisme
Hampir semua karya Nietzsche tidak dituangkan dalam sebuah uraian sitematis, seperti sebagian besar filsuf modern terkhusus Kant dan Hegel. Pikiran-pikirannya tertuang dalam bentuk aforisme-aforisme sehingga Nietzsche sebagai filsuf yang paling sukar dipahami sepanjang sejarah fisafat modern. Tulisan-tulisannya bukan hanya tidak membentuk sistem melainkan juga mengandung pertentangan satu sama lain.   Pemakaian aforisme terkait penolakan Nietzsche terhadap sistem. Alasannya sebuah sistem berpikir harus didasarkan pada premis-premis, namun dalam rangka sistem itu, premis-premis tersebut tak bisa di persoalkan lagi. Dengan begitu asumsi-asumsi filosofis sang filsuf diandaikan begitu saja seolah-olah benar pada dirinya. Cara berfilsafat macam ini, menurutnya bukan hanya memperlihatkan sang filsuf tidak serius atau bermain-main dengan filsafatnya---Nietzsche menyebutnya kenak-kanakan---melainkan juga menunjukan kemerosotan moralnya.
3.   Mentalitas Dionysian dan Mentalitas Apollonian
Nietzsche banyak menerima inspirasi dari Schopenhauer. Artinya, dia menganut pandangan bahwa hidup ini tragis, berbahaya, dan mengerikan, dan keadaan ini harus di atasi dengan kreasi estetis. Perbedaannya, sementara Schopenhauer menolak kehidupan atau melarikan diri darinya, sikap Nietzsche sejak awal sudah tegas, yaitu menerima kehidupan ini.  Nietzsche termasyhur sebagai seorang filsuf  “Ja-sagen’ (menyatakan ‘ya’ terhadap kehidupan ini).   Dalam Die Geburt Der Tragodie, Nietzsche menjelaskan bahwa orang-orang  Yunani kuno sudah memahami, bahwa hidup ini berbahaya, mengerikan, sulit, dan tak terperikan.  Meski demikian, mereka tidak menyerah atau lari dari kehidupan ini.  Mereka berkata ”ya” terhadap kehidupan ini, dan ini kelihatan dalam estetika mereka. Menurut Nietzsche, dari estetika Yunani kuno dapat dibedakan adanya dua macam mentalitas. Pertama disebutnya, “Mentalitas Dionysian” sedang lawannya “Mentalitas Apollonian”.
Dionysos adalah dewa anggur dan kemabukan. Buat Nietzsche, dia menjadi lambang pengakuan terhadap kehidupan sekarang dan di sini (Diesseitikeit) yang selalu mengalir. Dia adalah simbol pendobrakan dari segala batas-batas dan kekangan-kekangan. Dalam ritus misteri yang memuja dewa ini, para pemujanya mabuk, tetapi kemabukan itu justru menyatukan mereka dengan kehidupan, dengan “ketunggalan primordial” yang bersifat estetis.  Dalam ekstasis itu, individuasi dan perbedaan-perbedaan menjadi kabur, laki-laki dan perempuan lebur dalam “ketunggalan primordial”. Mentalitas Dionysian adalah mentalitas kebudayaan Yunani yang  melampaui segala aturan atau norma, mentalitas yang bebas mengikuti dorongan-dorongan hidup tanpa kenal batas. Sikap Dionysian adalah” Mengiyakan ”hidup ini apa adanya, suatu Ja-sagen (=berkata-ya), sikap penuh vitalitas dan gairah untuk tidak menolak apapun yang di berikan hidup ini, entah itu menyenangkan atau menyakitkan.  Ini menuntut keberanian untuk hidup tanpa menoleh pada dunia seberang.  Sementara itu, Apollo adalah dewa matahari dan ilmu kedokteran, putra Jupiter. Buat Nitzsche, dia menjadi lambang pencerahan, lambang keugaharian, dan pengendalian diri.  Dia juga melukiskan asas individuasi. Mentalitas Apollonian adalah mentalitas kebudayaan Yunani kuno yang cenderung pada keseimbangan, tertib, cinta pada bentuk-bentuk, dan pengendalian diri.  Mentalitas ini terlukis dalam tata cara yang berlaku di antara dewa-dewi olimpus, dalam arsitektur dan arca-arca.  Dalam kebudayaan Yunani, mentalitas Apollonian berfungsi mengendalikan mentalitas Dionysian.
4.   Kritik atas Moralitas
Nietzsche, berfilsafat dengan aforisme-aforisme disamping dengan perumpamaan-perumpamaan atau cerita-cerita.  Distingsi yang terus di peratahankan para filsuf sebelumnya antara mitos dan logos, antara cerita dan sejarah sungguhan, dikaburkan olehnya.  Dia juga tidak berpusing-pusing dengan konsistensi ceritanya, dan tak sabar dengan detail.  Meski demikian, target filsafatnya tetap tegas;  membuka kedok dari segala yang diagungkan dalam Kebudayaan Barat sebagai suatu dekadensi.  Berfilsafat macam itu ditemukan dalam kritik-kritiknya atas moralitas Kebudayaan Barat (Kristen) yang diperkenalkan sebagai ”Genealogi moral” atau silsilah moral.  Dalam  Jenseits vom Guten und Boesen (Melampaui Baik dan Buruk).  Apa yang terang benderang, yaitu moralitas, harus di anggap sebagai semacam hiroglif atau tanda-tanda yang menyembunyikan sebuah rahasia kegelapan.  Rahasia ini bisa dibuka dengan penafsiran yang disebutnya sebagai “genealogi”itu.  Genealogi adalah penyingkapan kedok nafsu-nafsu, kebutuhan-kebutuhan, ketakutan-ketakutan dan harapan-harapan yang terungkap dalam sebuah pandangan tertentu mengenai dunia. Jadi moralitas ditangani   Nietzsche sebagai semacam bahasa isyarat dan emosi-emosi. Kedok atau bahasa isyarat itu adalah rasionalitas, objektifitas, atau universalitas pandangan tertentu, padahal menurut Nietzsche semua itu hanya membunyikan sudut pandang terbatas dari penganutannya.
Dalam  Jenseits vom Guten und Boesen, Nietzsche menghadirkan dua macam moralitas manusia; Moralitas Tuan (Herrenmoral) dan Moralitas Budak  (Herdenmoral). Pertama, bagi para tuan, moralitas adalah ungkapan hormat dan penghargaan terhadap diri mereka sendiri.  Mereka sungguh yakin, bahwa segala tindakannya adalah baik.  Meski demikian, mereka tidak mengkelaim, bahwa moralitasnya universal. Moralitas tuan itu tidak menunjukkan bagaimana seharusnya orang bertindak, melainkan baagaimana tuan itu nyatanya bertindak.  Jadi, dari tindakan-tindakanya sendiri lahir nilai-nilai autentik.  Baik dan buruk sama nilainya dengan”ningrat” dan ”rendah”, dan soal baik dan buruk itu bukan ditunjukan pada tindakan, melainkan pada pribadi yang melakukannya.
Kedua, berbeda dari manusia tuan, para budak tidak pernah bertindak dari diri mereka sendiri, sebab tergantung pada perintah tuannya. Bertindak sendiri justru akan menyangkal kodratnya.  Yang dianggap baik bukanlah kedaulatan diri, kekuasaan dan keningratan, melainkan simpati,  kelemahlembutan, kerendahan hati dalam hubungannya dengan kasta rendah mereka.  Karena itu kaum budak memandang para individu yang independen, unggul, kuat dan jenius, sebagai orang yang berbahaya dan jahat untuk kelompoknya.   Di sini sebenarnya, moralitas budak membalikkan moralitas tuan. Apa saja yang dinilai baik oleh tuannya dinilai buruk olah budak. Moralitas budak ini bersifat reaktif, yakni: bersumber dari ketakutan pada tuannnya, melainkan dalam dunia fiktif nilai-nilai dengan menilainnya sebagai ‘jahat’ (boese).
5.   Kehendak-untuk-Berkuasa, Manusia–Atas dan Kembalinya Yang Sama Secara Abadi
a.   Kehendak-untuk-Berkuasa
Dalam Der Wille zur Macht (“Kehendak-untuk-Berkuasa”), Nietzsche memberi sebuah pernyataan ”dunia ini adalah Kehendak-untuk-Berkuasa, dan tak lebih dari itu!” Sebagai kenyataan primordial yang mendasari segala proses dunia ini adalah Kehendak-untuk-Berkuasa. Tidak ada distingsi antara dunia fenomenal dan numenal, seperti yang di yakini Schopenhauer. Daya primordial itu bukan sebuah daya tunggal, melainkan energi-energi vital yang sangat heterogen, mencakup suasana psikis, metabolisme fisiologis, pertukaran zat, gerak fisis, dan seluruh proses menjadi dari kosmos ini.  Untuk mendekatkan pengertian itu pada kenyataan manusiawi, kita bisa memperhatikan penampilan daya primordial itu pada “pengetahuan”. Menurut Nietzsche, pengetahuan bekerja sebagai instrument kekuasaan.   Ini berarti, bahwa kehendak untuk mengetahui sesuatu tergantung pada kehendak untuk menguasai. Jadi tujuan pengetahuan bukan untuk menangkap kebenaran absolute pada dirinya, melainkan menundukan sesuatu. Dengan pengetahuan kita menciptakan tatanan, merumuskan konsep-konsep, memasang skema-skema pada kenyataan yang sebenarnya senantiasa berubah-ubah. Pengetahuan mengubah Werden (menjadi) yang dinamis menjadi Sein (ada) yang statis, dan usaha ini tidak kurang dari penaklukan. Karena itu tidak mengherankan kalau pengetahuan tumbuh bersama dengan kekuasaan. Kita mungkin menyangkal dengan pendapat, pengetahuan adalah sebuah interpretasi objektif yang bersih dari keinginan-keinginan subjek kita. Namun Nietzsche akan menunjukkan, bahwa setiap interpretasi terkait dengan kebutuhan kita, termasuk kebutuhan akan objektifitas. Oleh sebab itu, Nietzsche tidak meyakini adanya kebenaran absolut. Kebenaran macam itu hanya fiksi yang kita buat. Karena interpretasi terkait dengan kebutuhan terbatas, interpretasi bersudut pandang. Karena itu juga, kebenaran tentunya bersifat perspektifitival, tergantung pespektif penafsir.  Dan pada analisis terakhir, perspektif ini adalah Kehendak-untuk-Berkuasa. Inilah yang kemudaian dikenal sebagai Perspektivisme Nietzsche.
b.   Ajaran tentang Ubermensch
Salah satau pokok gagasan Nietzsche yang penting dalam periode ketiganya adalah pandangannya mengenai Ubermensch.   Kata ini bisa diterjemahkan ke dalam bahasa inggris menjadi Superman, tetapi  Walter Kaufmann, menerjemahkan menjadi Overman. Terjemahan itu lebih dekat dengan maksud Nietzsche. Over sejajar dengan Uber, yaitu ‘di atas’, dengan pengertian yang diberikan dalam Also Sprach Zarathustra.   Dalam buku ini, Nietzsche bercerita tentang Zarathustra---seorang tokoh pembaru agama Zoroastrianisme. Dengan cerita itu Nietzsche berfilsafat.   Melalui mulut tokoh ini, Nietzsche mengucapkan isi pandangannya yang termasshur: “Ich lehre euch den Ubermenchen. Der Mensch ist etwas, das uberwunden warden soll”. (Aku mengajarkan kepada kalian mengenai Manusia-manusia atas. Manusia adalah sesuatu yang seharusnya dilampaui). Kata “dilampaui” disini dimengerti seperti seperti kalau kita memahami, bahwa kera telah ‘dilampaui’ oleh manusia.
Manusia bukanlah orang Barbar atau liar tak tahu aturan. Dia bukan seorang immoral, melainkan menciptakan nilai-nilainya sendiri (bandingkan dengan moralitas tuan). Karena itu, manusia-atas harus  di dahului dengan kemampuan mengadakan transvaluasi nilai-nilainya, manusia-atas tidak sekedar memiliki daya-daya mental yang lebih tinggi daripada manusia, melainkan juga memiliki kekuatan fisik, sangat berbudi bahasa, terampil, sanggup memeriksa diri, hormat kepada diri sendiri, toleran bukan karena dirinya durchschnittlich,  melainkan karena tahu bagaimana memanfaatkan toleransi itu bagi dirinya.  Akhirnya manusia-atas inilah yang dibayangkan Nietzsche sebagai teladan ja-sagen (berkata ya) terhadap kehidupan ini dengan segala isinya. Dia mengakui dirinya sebagai der Wille-zur-macht dan tidak menutupinya dengan kedok. Dalam arti ini, manusia-atas dekat dengan gambaran “Dionysos” yang dipujinya sejak awal.     
c.    Kembalinya Yang Sama Secara Abadi
Dalam Also Spracht Zarathustra, sang nabi tidak hanya dilukiskan sebagai seorang pengajar tentang manusia-atas. Zarathustra juga adalah guru yang mengajarkan tentang “kembalinya yang sama secara abadi” (die ewige Widerkehr des Gleichen).  Teori kembalinya yang sama secara abadi terkait dengan penolakan Nietzsche terhadap kenyataan transenden yang melampaui dunia ini, misalnya ide Tuhan dalam monoteisme dunia ini senantiasa menjadi (Werden), dan tak ada suatu ada (Sein) yang berada di luar prose situ sebagai tujuannya. Yang secara abadi kembali adalah “yang sama” dan hal ini sekurangnya memilki dua arti.  Pertama, tidak ada Tuhan pencipta, tak ada sein yang kreatif di luar dunia ini karena itulah segalanya “kembali” secara “sama”. Ide tentang peristiwa unik tak terulang lagi, dihadapan Nietzsche, tak kurang dari pengakuan diam-diam terhadap ide Tuhan pencipta. Kedua, tidak ada kebakaan pribadi melampaui dunia ini, misalnya dalam bentuk dunia akhirat (surga atau neraka). Meski demikian, mereka abadi dalam kembalinya secara terus menerus. Segala sesuatu adalah imanisme belaka, dan manusia-atas adalah “pengata-ya” (Ja-sagen) yang berani dengan suka cita menerima dunia ini apa adanya, tanpa melarikan diri pada dunia transenden. 

6.   Kematian Tuhan dan Nihilisme
a.   Kematian Tuhan
Nietzsche  pemikir paling ekstrim mengajarkan dan menghayati ateisme.  Kritik atas teisme menjadi nafas hampir seluruh karyanya dan memuncak dalam Antichrist. Pengumuman terang-terangan untuk ateismenya terbaca dalam aforisme 125 buku Die Frohliche Wissenschaft (pengetahuan ceria). Di situ Nietzsche melukiskan dirinya sebagai orang gila yang bukan hanya mengumumkan ateisme melainkan  meramalkan datangnya ateistis. Kegilaan di sini adalah kehilangan Tuhan, dan orang-orang jaman itu tidak memahaminya, sampai datang zaman kegilaan universal, yakni penemuan kesadaran bahwa manusia telah kehilangan Tuhan. Nietzsche menyambut datangnya zaman itu sebagai zaman kreatifitas dan kemerdekaan, sebab dengan “kematian Tuhan” terbukalah horizon seluas-luasnya bagi segala energi kreatif untuk berkembang penuh. Tidak ada lagi larangan atau perintah, dan kita tidak lagi menoleh ke dunia transenden.  Dengan “kematian Tuhan”, manusia tidak lagi dibatasi atau diarahkan oleh dunia transenden. Dia tidak lagi berlindung di bawah naungan Tuhan karena sikap pengecut dan penolakannya terhadap dunia ini.

b.   Nihilisme
Keadaan manusia tanpa Tuhan adalah kemerdekaan mutlak, meskipun demikian, dengan “kematian Tuhan” membuat manusia kehilangan arah, sendirian, kesepian lalu sebuah lautan luas dan kosong terbentang di hadapannya. Istilah keadaan itu disebut “Nihilisme”--- suatu keadaan tanpa makna, hilangnya kepercayaan akan nilai-nilai yang berlaku. Hilangnya kepercayaan itu akhirnya juga meghilangkan kepercayaan manusia pada segala nilai.   Ada sekurangnya dua macam nihilisme. Pertama; Nihilisme Pasif  adalah persetujuan yang bersifat pesimistis, bahwa nilai-nilai itu tidak ada dan hidup ini tanpa tujuan. Mereka menganutnya sebenarnya merindukan makna dan moralitas, tetapi tak sangggup menemukannya, atau lebih tepat, mengalami kehilangan.  Nietzsche menganggap nihilisme semacam ini sebagai resesi daya mental. Kedua; Nihilisme Aktif sebagai sikap setuju akan hilangnya nilai-nilai dan makna. Raibnya makna dan moralitas dialami sebagai kemenangan dan pembebasan, maka sikap yang dianggap tepat untuk itu bukanlah sikap pesimis, melainkan sikap suka cita. Disini orang tidak mencari atau menyuguhkan nilai-nilai lama, melainkan melahirkan nilai-nilai baru yang diciptakannya sendiri. Nilai-nilai itu bukanlah sebuah pengingkaran akan dunia, melainkan suatu Ja-sagen. Jadi, seorang Nihilis Aktif akan mengatakan “ya” terhadap kehidupan dan dunia dengan segala isinya, yaitu: kefanaan, kepedulian, kebahagian, ketakutan, penyakit, kemuliaan, perubahan, dan seterusnya, meskipun semua itu tidak memiliki makna yang melampaui dirinya. Tindakannya tidak diabaikan demi pengetahuan nilai-nilai, sebab tindakannya itulah nilainya.

 *  Muhammad Arsyad; Disampaikan dalam Lidership Training AKBID Amirullah (02 November 2013) Di Tanjung Bayang Makassar.