Sabtu, 07 Juni 2014

Transparansi : Bagaimana Pemimpin menciptakan Budaya Keterbukaan menurut Warren Bennis, James O’Toole dan Daniel Goleman*



A.   Pendahuluan

Berbagai isu tertentu mengemuka diseluruh organisasi dan  memamasuki hampir semua perbincangan mulai tentang: bisnis, kehidupan masyarakat sampai realitas pribadi.  Dari semua yang disebutkan tadi,  transparansi merupakan isu sentral—entah dalam bisnis global, otoritas korporat, politik nasional dan internasional, atau cara media menghadapi gelombang pasang-surut informasi. Sebagai kata yang umum dan menarik, transparansi mencakup: keterbukaan, integritas, kejujuran, etika, kejelasan, pengungkapan sepenuhnya, kesepakatan hukum, dan banyak hal lain yang mengarah kepada kemampuan untuk saling bertindak adil.  Daniel Goleman, James O’Toole, dan Ptricia Ward Biedermansetelah menggali  arti menjadi pemimpin yang transparan, menciptakan organisasi yang transparan dan hidup di budaya dunia yang lebih transparan—memberikan pandangan yang membantu para pemimpin untuk berpikir lebih jelas dan bertindak lebih bijaksana dalam hal berhubungan dengan transparansi sebagai: isu yang semakin penting dan membentang di zaman yang hebat dan sulit seperti sekarang. Menurut ketiganya, transparansi sangat penting karena  ia menempati porsi besar bersamaan kemunculan teknologi sebagai sesuatu yang tidak terelakkan.
Definisi transparan sebenarnya cukup sederhana dan untuk menambahkan makna harfiahnya “mampu di lihat secara tembus pandang“ atau “tanpa tipu muslihat ataupun menutup-nutupi; terbuka, jujur, dan terus terang”. Namun beberapa tahun terakhir, transparansi mendapat implikasi baru seperti  dikatakan penulis berita utama Fast Company secara bergurau, “transparansi: bukan  semata-mata untuk membongkar rahasia lagi”. transparansi sangat dibutuhkan dalam negosiasi perdagangan internasional, dan sejak itu popularitasnya semakin meningkat”. Kini, kelihatannya tidak ada yang bisa membuat pernyataan terbuka tanpa menggunakan kata itu. Biasanya dengan janji sepenuhnya bahwa pernyataanya benar dan motivasinya murni.
Sebagai suatu budaya, kita sudah tentu mengharapkan semua organisasi bersikap terbuka dan jujur dalam semua kegiatan.  Kita ingin memastikan bahwa para pemimpin mengungkapkan kebenaran sejati dalam berbaga hal.  Kita ingin yakin bahwa berbagai organisasi bersikap transparan dan terhormat, tanpa rahasia ataupun motivasi rahasia yang menunjukkan kepentingan khusus.
B.     Apakah Budaya Keterbukaan Itu?
Usaha untuk menahan informasi dari publik menjadi tugas yang sama sekali mustahil karena perubahan besar dalam budaya global.  Munculnya teknologi elektronik yang menfasilitasi  perkembangan dunia blog selama satu dekade terakhir—perkembangan yang membuat transparansi mejadi tidak terelakkan. Dalam budaya ‘ketahuan’ seperti sekarang, tidak satupun pertemuan bisa dipastikan tetap menjadi rahasia, tidak satupun penghinaan ras yang tidak terekam, tidak satupun kesalahan organisasi dapat dikubur selamanya di dalam lemari arsip  yang terkunci rapat.  Kita hidup dalam era di mana komunikasi semakin mudah dan tidak mengenal belas kasihan: semakin banyak pengalaman pribadi kita disimpan secara elektronik dan mesin-pencari-dahsyat mengizinkan arsip itu di lihat dalam hitungan detik oleh siapapun yang memiliki akses internet.
Teknologi baru di atas secara harfiah menciptakan emansipasi bagi jutaan orang yang tadinya tinggal terpencil, dan menawarkan banyak kemungkinan baru yang tidak terbatas bagi semua orang.  Daniel Goleman, James O’Toole dan Patricia Ward Biederman  yang mengamati transparansi dari tiga sudut pandang yang berbeda dengan menekankan pada bagaimana semua hal itu terhubung dengan para pemimpin dan kepemimpinan.  Daniel Goleman, Pat Ward Biederman dan James O’Toole  menggali dilema yang mendesak setiap pemimpin masa kini: cara menciptakan budaya keterbukaan.  Bahwa aliran informasi yang tidak terhalang sangat penting bagi kesehatan organisasi.  
Membicarakan transparansi dan menciptakan budaya keterbukaan, sebenarnya membicarakan aliran informasi yang bebas di dalam dan diantara organisasi  dan para anggotanya—termasuk masyarakat. Bagi berbagai organisasi, aliran informasi tersebut mirip sistem saraf pusat yang keefektifan organisasi sangat bergantung padanya. Kemampuan suatu organisasi untuk bersaing, menyelesaikan masalah, berinovasi, mengatasi berbagai tantangan, dan meraih tujuannya (kecerdasan) adalah berbeda-beda namun disatu titik  aliran informasi harus tetap sehat. Hal itu memang benar ketika informasi mengandung fakta penting. Akan tetapi menjadi sulit diterima apabila informasi tersebut membuat para pemimpin bergidik saat mendengarnya—dan para bawahan sering kali (dan bisa dimaklumi) pura-pura tidak tahu, menyamarkannya ataupun mengacuhkannya. Agar informasi bisa mengalir dengan bebas di dalam sebuah institusi, para pengikut harus merasa memiliki kebebasan untuk berbicara secara terbuka, sementara para pemimpin harus menerima keterbukaan tersebut.
Selain aliran komunikasi resmi di atas,  transparansi sebenarnya merupakan hal yang langka. Banyak organisasi biasanya mengataka mereka menghargai keterbukaan dan kejujuran, bahkan menuliskan komitmennya pada pernyataan visi dan misi organisasi. Sering kali semua itu hanya ucapan kosong semata—jika bukan bualan—yang gagal menjelaskan visi dan misi organisasi yang sebenarnya. Lalu hal ini menyebabkan frustasi bahkan sinisme terhadap para pengikut yang mengetahui kalau realitas organisasi tidak seperti yang diharapkan. Hal ini sangat berbeda dengan organisasi yang berorientasi pada ide.  Kerja sama yang tulus dan saling menghormati akan menghasilkan moral yang lebih baik. Kemungkinan yang lebih besar munculnya kreatifitas dan keterbukaan serta tranparansi yang lebih besar. Semakin orang mengetahui dan semakin setara semua orang diperlakukan, semakin besar kemungkinan bahwa semua orang akan berbagi kebenaran ketika mereka melihatnya. Kerja sama yang lebih besar melancarkan proses pembagian informasi.                                     
C.      Budaya Sehat bukan Budaya Beracun atau Sindrom Anak Emas
Dalam dunia rasional, organisasi dan para individu akan menerima transparansi—baik demi alasan etis maupun praktis—sebagai jalan termudah meraih tujuan sekalipun hal itu jarang terjadi. Bahkan ketika kekuasaan global menarik kita ke arah keterbukaan yang lebih besar, kekuatan pembalik yang dahsyat cenderung menghalangi keterbukaan dan transparansi.  Pertama, para pemimpin sering kali secara rutin salah menangani suatu informasi, memberikan contoh buruk bagi kelompok. Masalah yang umum terjadi di dalam organisasi menumpuknya informasi.  Hal itu dapat menahan informasi di dalam organisasi; tidak bisa mengalir kepada mereka yang membutuhkan untuk membuat keputusan penting.  Kedua, halangan struktural sering kali menghambat aliran informasi.  Salah satu rahasia kecil dan kotor dari banyak organisasi adalah sistem kasta yang melemahkan, yang menyebut sebagian sebagai bintang kemudian  diberikan beberapa hak istimewa dan mengutuk sisanya sebagai orang yang biasa-biasa saja yang diharapkan menjadi serdadu kecil yang baik, yang bekerja keras, dan tetap menutup mulut. Beberapa orang menyebutnya Sindrom Anak Emas. Bahkan banyak orang di posisi puncak mencari nasihat hanya dari orang-orang unggulannya.
Mengungkap kebenaran kepada orang yang berkuasa dianggap  sebagai  tantangan etis yang paling tua. Mengambil sikap tersebut merupakan keputusan paling menakutkan karena melibatkan sisi bahaya: mulai dari masa manusia pertama hingga saat ini. Mempertanyakan keputusan pimpinan bisa diartikan seperti cari mati.  Di NASA, misalnya, aturan dasar budaya menyebabkan bencana terhadap pesawat ulang alik columbia. Panel yang menyelidiki penyebab tragedi Columbia menemukan penyebabnya di luar masalah teknis—sepotong busa terbang yang merusak sebuah sayap—menyalahkan budaya organisasi di mana para insinyurnya takut mengungkap masalah keamanan kepada para manajer yang lebih mengkhawatirkan masalah memenuhi jadwal penerbangan ketimbang resiko.  Pada tahun 2002, Sherron Waltkins, Cynthia Cooper  dan Coleen Rowley  dinyatakan oleh majalah Times “Persons of the Year” karena  berani membawa kabar kepada  yang menduduki kursi puncak dalam organisasi mereka masing-masing tentang sesuatu yang tidak ingin mereka  dengar.  Trio terhormat tersebut tidak mencari sanjungan atau publisitas dan tidak ingin menjadi pembocor rahasia, namun ketiganya berisiko dalam  pekerjaan dan karier—bukan hanya peringatan tentang pelanggaran etis serius yang tidak di perhatikan oleh bos mereka, para wanita tersebut di pinggirkan, disisikan, di kecam bahkan di benci.
          Bagi organisasi yang mengembangkan  Budaya Sehat; bersedia terus menerus memikirkan kembali asumsi paling dasar mereka melalui proses pertentangan yang konstruktif. Bereaksi positif dan antisipatif pada bidang teknologi, sosial, politik, ekonomi, dan perubahan kompetitif. Dalam budaya sehat tersebut tidak  ada tanda-tanda  orang  mendapat atau kehilangan muka, kekuasaan atau status.  Keterbukaan dan kemauan untuk mengajukan pertanyaan sulit  dan menantang kebijaksanaan merupakan bagian budaya organisasi sejak awal.  Sebaliknya, organisasi yang menerapkan Budaya Beracun selalu menghindari pengungkapkan kebenaran kepada orang-orang yang berkuasa.      Organisasi  memasuki kesulitan moral dan kompetitif disebabkan pemimpinnya tidak mau menguji alasan dasar operasi mereka tentang masalah yang sering kali di anggap tabu—ciri kondisi kerja yang diberikan pada anggota, tujuan organisasi, dan tanggung jawab pada berbagai tugas pekerjaan. Kegagalan untuk menguji secara terbuka asumsi yang di dorong oleh perilaku tersebut menghasilkan hal yang biasa di sebut dengan pemikiran kelompok, keadaan untuk menyangkal ataupun menipu diri secara bersama-sama berakibat pada kehancuran tujuan dan etika.
D.     Transparansi: Siap atau Tidak
Revolusi digital membuat transparansi tidak terelakkan:  Internet, telepon genggam yang dilengkapi kamera dan munculnya blog  mendemokratisasi kekuatan dan tidak bisa di tawar dan telah mengalihkan kekuatan itu dari sedikit orang yang berkedudukan tinggi kebanyak orang yang diperlengkapi teknologi. Memo internal yang paling mencurigakan bisa di ungkap oleh seorang blogger tanpa nama, tanpa mengaitkannya dengan surat kabar atau stasiun televisi apapun, tetapi dengan pengetahuan internal yang bisa menjangkau ribuan bahkan jutaan pembaca. Pertumbuhan komputer jaringan akhirnya menciptakan Global village (desa global).  Kini siapa pun yang memiliki akses internet bisa menentang organisasi paling kuat di bumi  tanpa membuat investasi finansial penting dan sering kali dengan sedikit ataupun tanpa takut adanya hukuman.
Saat ini, ketika informasi mengalir secara global hanya dengan satu klik mouse, transparansi bukan hanya diinginkan tetapi juga tidak terhindarkan. Banyak pemimpim bertindak seolah-olah mereka dapat menahan kebenaran yang rumit sehingga dunia luar tidak  mengetahui. Cara-cara seperti itu telah usai. Kebangkitan blog telah menguba ide tentang transparansi. Lewat blog, pembocor rahasia yang sebelumnya rapuh dan terisolasi, sekarang punya akses langsung pada sekutu elektronik dan sekumpulan kekuatan super yang baru. Pembocor rahasia tidak lagi harus memberikan kasus mereka kepada seorang reporter atau membahayakan karir mereka dengan mengungkapkan rahasia  organisasi pada publik. Mereka kini bisa mengungkap secara diam-diam, tanpa nama. Ketika mereka melakukannya, blog memungkinkan seluruh informasi tersebar ke dunia maya dengan sangat cepat.
Blog bisa melakukan lebih banyak daripada sekedar mengungkapkan rahasia. Blog mampu menyebarkan informasi seperti virus berkecepatan luar biasa. Berbeda dengan kebanyakan media utama yang berusaha memperlihatkan topik dari dua sisi, blog secara terbuka mengungkapkan sudut pandang tertentu, termasuk paham liberal dan konserfatif. Mungkin karena keberpihakan yang terbuka, blog seringkali memicu dan mendorong respon kuat dan emosional dari pembaca. Blogger  memberi para pembaca cara untuk menyikapi perasaan mereka.   Satu alasan mengapa blog sangat efektif  ditulis dan dibaca di manapun dan oleh siapapun yang memiliki akses internet. Blog dan media elektronik lainnya memiliki jangkauan yang lebih luas ketimbang saingan tradisional mereka.  Menurut majalah fortune, 23.000 blog baru muncul secara online setiap hari pada awal tahun 2005 namun pada pertengahan tahun 2007, diperkirakan 70 juta blog  yang disebut blogosphere  yang terfokus pada industri, organisasi atau kelompok kepentingan tertentu dan memanfaatkan orang-dalam yang memiliki informasi berguna untuk dibocorkan tanpa mengungkapkan identitas dan membayangkan hubungan dan pekerjaan mereka.
Tulisan yang bernada mendesak di blog bisa mendapat banyak pembaca untuk melihat sudut pandangnya; setiap pembaca bisa mengirimkan pesan ke ribuan blog lain dan protes itu segera terdengar di seluruh dunia. Kemampuan ranah blog mengungkap rahasia kepada orang luar oleh Michael Cornfield dari George Washington University menggambarkannya sebagai “ setengah lab forensik dan setengah bar.” web log, sebutan yang tepat untuk blog, juga merupakan campuran aneh yang menggabungkan berbagai macam fungsi. Fasilitator web log paling terkenal saat ini, Google, memberikan nama dagang Blogger.com: “ Sebuah blog adalah buku harian pribadi. Panggung harian. Ruang kolaboratif. Kotak sabun politik. Tempat semua berita baru. Kumpulan link. Pemikiran pribadi anda sendiri. Pesan singkat  pada dunia.
Para pemimpin yang akan berhasil dengan organisasi yang berkembang di era elektronik ini adalah mereka yang berjuang membuat organisasi setransparan mungkin. Meskipun terdapat keabsahan moral dan batasan legal pada masalah keterbukaan, para pemimpin setidaknya harus mencita-citakan kebijaksanaan “tanpa rahasia”. Ahli waris pertama kebijakan tersebut adalah para anggota organisasi  yang berada dalam posisi memanfaatkan informasi yang maksimal ketimbang yang terbatas. Meskipun sulit dicapai, kebijakan “tanpa rahasia” itu layak diperjuangkan mengingat bahwa kerahasiaan dan privasi semakin tidak disukai. Lebih baik tidak melakukan atau mengatakan sesuatu yang akan disesali jika itu menjadi judul berita utama di blog.  Suka atau tidak, transparansi baru dan di luar kehendak ini membutuhkan aturan perilaku baru, perilaku yang diatur kenyataan bahwa kita tidak pernah bisa berasumsi bahwa kita ini sendirian atau tidak terlihat. Seberapapun tidak dinginkannya keterbuakkan ini, hal itu semakin menjadi kenyataan kehidupan. Anda tidak aman sekalipun berada di rumah sendiri.

 ------------------------
       *Muhammad Arsat; Disampaikan dalam Diskusi Ilmiah Organda Manggarai tanggal 15 Mei 2014 di IASPI Makassar

Catatan: Warren Bennis, James O’Toole dan Daniel Goleman. Transparansi; bagaimana Pemimpin Menciptakan Budaya Keterbukaan, Libri, Jakarta. 2009.


Sabtu, 24 Mei 2014

Dom Helder Camara; Spiral Kekerasan sebagai warisan aksi sosial untuk proses penyadaran mengenai Ketidak Adilan membebaskan dunia dari konsisi Sub-human.*



“Bumi dianugerahkan kepada semua orang, bukan hanya kepada yang kaya. ”Tak seorang pun berpikir itu komunisme: Kekayaan pribadi, ya, jika berlaku untuk semua. Tetapi bukan kekayaan pribadi yang mengorbankan…. (Paus Paulus VI)
Perdamaian adalah cita-cita kami. Bukan sembarang perdamaian. Bukan perdamaian palsu. Perdamaian murni yang diberikan Kristus kepada semua orang yang berkehendak baik.” (Dom Helder Camara)
“Saya menghormati mereka yang setelah mempertimbangkannya, telah memilih dan akan memilih kekerasan”. (Dom Helder Camara)

 A.   Riwayat Hidup
Dom Helder Camara lahir di wilayah timur laut (Nordeste) Februari 1909, di Fortalesa, ibukota Negara bagian Ceara. Setelah menempuh pendidikan di seminari, uskup agung masa depan itu ditasbihkan sebagai imam tahun 1931. Tahun 1934 ia sudah diangkat sebagai Menteri Pendidikan di negara bagian Ceara, dan pada tahun 1936 ia pindah ke Rio de Janeiro, tempat ia tinggal selama 28 tahun berikutnya sampai meninggal 27 agustus 1999.
Pengalaman mengorganisir konferensi uskup-uskup Brazil, ia diangkat menjadi uskup pembantu (auxiliaris) oleh Cardinal Jaime de Barros Camara dari Rio ---tak ada hubungan keluarga dan sebagai tambahan, ia mengorganisir kongres ekaristi internasional di Rio.
Di masa mudanya ia tergoda oleh fasisme gaya Brazil “integrisme”. Ia sempat bergabung dengan gerakan tersembunyi selama 2 tahun dan semua orang bicara tentang Tuhan, tanah air dan keluarga. Inspirasinya lebih pada Salazar dari pada Hitler atau Mussolini dan ide sederhana bahwa ketertiban lebih penting daripada keadilan.
Walaupun Dom Helder Camara seorang uskup yang energik di Nordeste serta sering berkunjung ke berbagai negara untuk menyuarakan permasalahan rakyat dunia ketiga, baru  1968 Ia benar-benar menjadi tokoh dunia dan simbol.  Dom Helder Camara lebih seorang nabi daripada seorang politisi atau teolog. Orangnya sederhana dalam cara hidupnya, cara bergaul---sederhana sebagaimana seharusnya seorang Nabi.

B.   Teori Spiral Kekerasan
Spiral Kekerasan  Dom Helder Camara bisa dikatakan sebagai sebuah karya  teoritis tentang kekerasan yang sangat berharga---teori ini bisa disejajarkan dengan teori kekerasan struktural (structural violence) yang lebih bersifat deduktif-analitik, sementara teori spiral kekerasan Dom Helder Cemara bersifat induktif-analitik---di angkat dari observasi dan pengalaman lansung di lapangan, sehingga lebih lugas dan mudah dipahami. Teori ini dapat dijelaskan dari bekerjanya tiga bentuk kekerasan bersifat personal, institusional, dan struktural, yaitu ketidakadilan, kekerasan pemberontakan sipil, dan represi Negara. Ketiganya saling berkaitan satu sama lain, kemunculan kekerasan satu  menyebabkan kekerasan lainnya. Dengan teori spiral kekerasan ini Dom Helder Cemara tampak sebagai seorang strukturalis yang menyadari sepenuhnya bahwa kekerasan merupakan realitas multidimensi, tidak bisa dipisahkan keterkaitannya antara kekerasan yang satu dengan kekerasan yang lainnya.
Dari ketiga bentuk kekerasan tersebut, Ketidak Adilan (Kekerasan Nomor 1) yang paling mendasar dan menjadi sumber utama. Kekerasan jenis ini sebagai gejala yang menimpa baik perseorangan, kelompok, maupun negara akibat  bekerjanya ketidakadilan sosial dan ketimpangan ekonomi internasional. Ketidakadilan terjadi  akibat upaya kelompok elit nasional mempertahankan kepentingan mereka sehingga terpelihara struktur yang mendorong terbentuknya kondisi “sub-human”---kondisi hidup di bawah standar layak untuk hidup sebagai manusia normal. Kondisi “sub-human” ini selanjutnya menciptakan ketegangan terus-menerus di masyarakat dan mendorong munculnya Pemberontakan (Kekerasan Nomor 2) di kalangan masyarakat sipil. Dalam kondisi “sub-human”itu manusia menderita tekanan, alienasi, dehumanisasi martabat, kemudian mendorong mereka yang menderita tekanan struktural melakukan pemberontakan dan protes.  Ketika komflik, protes dan pemberontakan menyembul kepermukaan, ketika Kekerasan Nomor 2 coba melawan Kekerasan Nomor 1, penguasa memandang dirinya berkewajiban memelihara ketertiban---meskipunn harus dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Dari sini kemudian muncul Represi Penguasa (Kekerasan Nomor 3) sebagai penggunaan kekuatan dan cara-cara kekerasan oleh lembaga Negara untuk menekan pemberontakan sipil.
            Bekerjanya tiga jenis kekerasan itu menyerupai spiral, karena itu camara menyebutnya dengan spiral kekerasan, Ketidak Adilan (kekerasan nomor 1)  mendorong Pemberontakan Sipil (kekerasan nomor 2) untuk, selanjutnya  mengundang hadirnya Represi Negara  (kekerasan nomor 3). Ketika Represi Negara diberlakukan, hal itu selanjutnya memperparah kondisi ketidakadilan (kekerasan nomor 1) sehingga terbentuklah Spiral kekerasan. Seperti dikatakan Camara, “ketika kekerasan disusul dengan kekerasan, dunia jatuh ke dalam spiral kekerasan”.

C.   Penutup  
Di tengah situasi kehidupan kita yang dikepung oleh kekerasan dari berbagai arah, ajaran para pejuang perdamaian dan kemanusian seperti sebuah “kilatan cahaya” yang bisa menerangi jalan gelap.  Warisan para pejuang perdamaian dan kemanusian berupa lembaran-lembaran tulisan dan catatan harian mereka ketika berjuang melawan ketidakadilan dan ke-zaliman struktural semuanya  bagaikan “sumber mata air“ di tengah padang pasir yang kering kerontang.
Spiral of Violence dari Dom Helder Camara didasarkan  pada pengalaman hidupnya sehari-hari sebagai tokoh agama, pekerja sosial dan pejuang perdamaian. dipadukan dengan peran keagamaan, politik dan sosialnya. Semuanya mencerminkan pribadinya yang jujur, apa adanya, lembut, sederhana, namun sangat keras ketika menyikapi ketidakadilan, kekerasan dan kesewenangan penguasa.
Dom Helder Camara sungguh seorang pejuang kemanusiaan dan perdamaian, bisa disejajarkan dengan  para pejuang perdamaian pendahulunya seperti Gandhi dan Martin Luther King, Jr. Di besarkan dalam lingkungan komunitas yang penuh ketidakadilan, represi dan kekerasan di sebuah kota ditimur laut  Brasil, fortalesa. Ditengah batu karang kehidupan tersebut, ia justru bangkit dan tumbuh menjadi tokoh gereja yang di hormati, seorang pekerja sosial yang tangguh dan pejuang anti-kekerasan yang tidak mengenal lelah. Ia  dengan langkah ringan dan hidup sederhana terjun dalam dunia pendidikan dan politik melakukan pemberdayaan politik warga Negara yang tidak berdaya menghadapi kesewenangan penguasa.


       * Arwan Nurdin: Disampaikan dalam diskusi Ilmiah, 23 Mei 2014, Kampus I UVRI Jl. Gunung Bawakaraeng No.72 Makassar.


        Sumber : Camara, Dom Helder. 2000. Sprila Kekerasan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.