Paradigma Struktural-Fungsional

blogger templates


Paradigma Struktural-Fungsional[1]

"Setiap adat istiadat dan keyakinan suatu masyarakat primitif memainkan bagian tertentu dalam kehidupan sosial masyarakat tersebut, persis seperti setiap organ suatu benda hidup yang memainkan bagian tertentu dalam kehidupan umum suatu organisme." Radcliffe Brown

Manusia pertama­-tama dan paling penting harus memenuhi semua kebutuhan organismenya." Namun, begitu manusia bertindak untuk memenuhi kebutuhan biologisnya, dia menciptakan pola-­pola organisasi sosial dan sistem simbol yang mewujudkan kebutuhan baru—“kebutuhan turunan (derived need)”. Bronislaw Malinowski

A.   Pendahuluan
Jika tidak ada serangkaian keadaan yang agak luar biasa, kemungkinan paham fungsionalisme akan tenggelam bersama dengan meninggalnya Durkheim. Harus kita ingat bahwa dalam peralihan menuju abad ke-20, Durkheim benar-benar tidak dikenal oleh khalayak Amerika. Karyanya tetap belum diterjemahkan hingga abad ke-20.  Meski secara umum karya Spencer dan Durkheim diabaikan, bagaimana dan mengapa fungsionalisme masih tetap bisa bertahan hidup? Bagaimana karya dari seorang sarjana di Prancis yang belum diterjemahkan itu sampai bisa memiliki dampak seperti itu bagi ilmu pengetahuan sosial di Inggris dan Amerika, terutama di bidang sosiologi dan antropologi? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut bermuara pada lingkungan intelektual di Inggris selama dasawarsa pertama abad ke-20 dan usaha yang di­lakukan oleh dua orang ilmuwan karismatik A.R. Radcliffe Brown dan Bronislaw Malinowski dalam menggiring kembali cara berpikir antropologis. Maka dari itu, fungsionalisme bisa tetap bertahan hidup tidak di bidang sosiologi melain­kan di bidang antropologi dan hanya belakangan ini sajalah fungsionalisme menjadi bagian dari tradisi sosiologis.[2]
Fungsionalisme merupakan reaksi terhadap dan jawaban atas persoalan-persoalan dan perdebatan-per­debatan intelektual yang terjadi dalam bidang antropologi awal. Untuk memahami persoalan-persoalan tersebut, kita hendaknya mencoba menggambarkan dunia yang dihuni para antropolog abad ke-19 dan 20 awal: para pelancong, misionaris, penjelajah, dan antropolog amatir telah mengumpulkan "data" tentang orang-orang "primitif" dan "liar" yang mereka temui. Bayangkan dampak yang ditimbulkan oleh cerita-cerita mengenai suku-suku aborigin di Australia, gerombolan orang dan suku di Afrika, dan budaya Indian Amerika bagi para ilmuwan di Inggris Victoria dan bagi benua Eropa.

 B.   Tiga Teori Pendahulu Struktrural-Fungsional
1.      Evolusionisme
Teori evolusi Darwinian merupakan bom intelek­tual, tidak hanya dalam bidang biologi namun juga dalam bidang ilmu-ilmu sosial. Memang ada kecenderungan intelektual yang alami untuk mengaplikasikan gagasan evolusi pada tumpukan data yang terkumpul. Tentu saja, banyak preseden intelektual atas pemberlakuan ide-ide evolusi ke dalam bidang sosial. Sebagaimana yang kita ketahui, Comte, Spencer, dan Durkheim semuanya memandang organisasi manusia itu bentuknya bergerak dari bentuk yang sederhana ke bentuk yang kompleks. Akan tetapi, gerakan masyarakat dari yang sederhana ke yang kompleks itu menggambarkan terjadinya distorsi yang besar teori Darwin. Sebagaimana yang dikemukakan secara gamblang oleh Robert Nisbet, [3]metafora kemajuan—yakni, kemajuan yang terus-menerus—telah merasuki pemikiran sosial di Barat dari masa kejayaan Yunani dan tidak ada yang lebih lebih nyata memperlihatkan metafora kemajuan ini daripada doktrin abad ke-19 tentang evolusi sosial.
Pada dasarnya, paham evolusionisme sosial meyakini bahwa umat manusia itu mengalami perkembangan di sepanjang jalur tunggal yang, bisa ditebak, mencapai titik kulminasi dalam peradaban Eropa Barat.[4] Semua masyarakat—dari masyarakat aborigin yang paling sederhana hingga masyarakat industri yang paling maju—dapat ditetapkan tempat ke dalam suatu tahap tertentu perkembangan evolusi. Oleh sebab itu, tugas yang harus diemban antropolog salah satunya adalah menggunakan tahap perkembangan suatu masyarakat dan kemudian dengan menggunakan metode komparatif, menempatkan posisi masya­rakat tersebut bersama masyarakat-masyarakat sejenisnya dalam titik yang tepat pada skala evolusi tersebut.
Bila ditinjau kembali, pemikiran semacam ini paling bagus bisa dibilang naif, dan paling jelek dipandang mendukung kolonialisme dan rasisme (karena, penduduk kulit hitam berada di tingkatan paling bawah dan tingkatan paling atas dalam skala evolusi itu diisi oleh penduduk kulit putih). Namun, evolusionisme menghasilkan satu pen­capaian penting: Dalam imajinasi antropologis, dia menancapkan gagasan bahwa keberlimpahan data yang terkumpul tentang "orang-orang primitif" itu bisa diorganisasikan dan dipahami oleh skema intelektual yang sangat luas.

2.      Difusionisme
Ketika kekurangan evolusionisme semakin menjadi jelas, doktrin difusionisme menggantikan evolusionisme.[5] Dalam doktrin ini ada keyakinan bahwa "pola-pola antropologis itu cenderung mengalami difusi ke segala arah dari pusat asal muasalnya."[6] Maka, argumen pun berlanjut, ada pusat-pusat kultural yang memancarkan pola-pola yang kemudian diadopsi oleh masyarakat yang berada jauh dari pusat kultural tersebut. Dalam bentuknya yang paling ekstrem, kaum difusionis menyatakan bahwa hanya ada  satu pusat kultural saja yang merupakan asal muasal penyebaran pola-pola antropologis itu ke seluruh dunia.
Kekurangan yang ada pada paham difusionisme ini segera tampak jelas, kendati terjadi dialog yang sangat alot selama beberapa dasawarsa antara Smith dengan para difusionis lain di satu sisi, dan dengan para fungsionalis, yakni Radcliffe-Brown dan Malinowski di sisi yang lain. Akan tetapi, adanya fakta yang jelas tentang penemuan dan pembaruan yang independen, dan fakta tentang ketersekatan antara satu budaya dengan budaya lain itu pada akhirnya membuat difusionisme jadi tidak menarik sebagaimana evolusionisme. Namun, difusionisme memiliki beberapa konsekuensi penting; para pendukung difusionisme telah membantu menghancurkan paham evolusionisme yang naif pada bidang antropologi yang dulu dan memusat­kan perhatian pada pola-pola budaya tertentu.

3.      Historisisme dan Rekonstruksi Historis
Di Amerika, Franz Boas melontarkan kritik yang sangat mematikan kepada evolusionisme, dan dalam kadar yang lebih kecil kepada difusionisme. Tentu saja dia tidak menolak gagasan umum bahwa masyarakat itu berkem­bang dan berubah atau bahwa masyarakat itu saling me­minjam sifat-sifat antara masyarakat satu dengan masyarakat yang lain. Namun, agaknya dia mendapati titik-titik ekstrem yang tidak dapat ditoleransi dari posisi kaum evolusionis dan difusionis.[7]
Boas mengajukan argumen bahwa masing-masing budaya hendaknya dipandang sebagai entitas tersendiri: Spekulasi yang sembrono tentang tempat suatu masyarakat tertentu dalam skala evolusi itu hanyalah membuang-buang energi intelektual, sama seperti pernyataan-pernyataan seenaknya tentang difusi ciri atau pola-pola tertentu dari pusat-pusat kultural. Sesungguhnyalah, para antropolog harus menelaah, menguraikan dan merekam karakteristik masing-masing masyarakat, sembari mencoba merekon­struksi peristiwa-peristiwa historis yang menggiring pada lahirnya karakteristik-karakteristik tersebut.
Boas mengakui bahwa masyarakat yang paling tradisio­nal di dunia ini akan cepat musnah, dan dia berpendapat bahwa sederet fakta rekaman historis masing-masing budaya yang unik sangatlah penting bagi pengembangan teori. Oleh karena itu, dia mengirimkan para mahasiswanya—generasi pertama antropolog Amerika yang tersohor­ Alfred Kroeber, Edward Sapir, Ruth Benedict, Alexander Lesser dan Robert Lowie, beberapa di antaranya—ke dalam bidang ini guna menguraikan dan merekonstruksi sejarah tenggelamnya masyarakat-masyarakat tradisional di dunia ini.
Metode rekonstruksi historis Boas ini ternyata sulit dilaksanakan, karena masyarakat tradisional tidak memiliki rekaman tulis atau rekaman verbal yang akurat masa lalunya. Namun, penekanan yang diberikan Boas kepada keunikan masing-masing masyarakat, yang harus dipahami dari sudut pandang masyarakat itu sendiri bukannya terkait dengan tahapan dalam hierarki evolusi atau pemerolehan pola-pola budaya dari suatu pusat kultural, menggambar­kan adanya perubahan yang penting dan memang diper­lukan dari mode-mode berpikir antropologis sebelumnya.

C.   Bangkitnya Paham Fungsionalisme Antropologis
Jika budaya tidak dipandang sebagai tahap-tahap evolusi atau sebagai penerima pola-pola budaya dari pusat kultural dan jika tugas antropolog adalah menguraikan karakter dan merekonstruksi sejarah unik masing-masing masyarakat, maka persoalan intelektual yang melahirkan evolusionisme dan difusionisme akan muncul kembali. Bagaimanakah seluruh data etnografis itu diinterpretasikan? Dan bagaimanakah peneliti lapangan individu yang berada di dunia yang aneh dan asing itu memahami tiap­-tiap pola budaya itu?
Pertanyaan-pertanyaan tersebut secara tersirat diaju­kan oleh Durkheim dalam karyanya yang berjudul The Elementary Forms of the Religious Life, menganalisis pola-pola budaya, terutama ritual agama, dari sudut pandang konsekuensi-konsekuensinya bagi integrasi sosial. Dengan demikian, konsep fungsi memberi Durkheim "pegangan" di atas kolase pola-pola budaya yang dimiliki oleh orang-orang aborigin Australia. Jika fungsi suatu pola budaya bisa ditemukan, maka tempatnya dalam masyarakat yang lebih luas juga bisa "dipahami". Dan jika pola-pola yang ada pada masyarakat lain ternyata juga bisa melaksanakan fungsi serupa, maka bisa dicapai pemahaman yang lebih besar mengenai pola-pola organisasi manusia.
Meningkatnya ketertarikan para antropolog terhadap fungsionalisme juga dikemukakan dalam tulisan karya besar pertama Malinowski yang berjudul The Family among the Australian Aborigines, yang diterbitkan pada 1913.[8] Sebagian besar buku tersebut membahas dasar otoritas dalam keluarga suku itu dan mengikuti pendekatan difusionis dan evolusi tradisional terutama karena buku itu ditulis di bawah pengaruh para sarjana Inggris seperti Frazer, Seligman, Riv­ers, dan Westermarck. Namun, buku tersebut sering mengacu pada Durkheim; dan dalam halaman penutup karya ini, kita bisa melihat cikal bakal komitmen yang nantinya diperlihatkan oleh Malinowski terhadap analisis lembaga berdasarkan fungsi-fungsinya:[9]

Lembaga sosial pertama-tama hendaknya didefinisikan oleh fungsi sosialnya; dari fungsi-fungsi ... yang dikenal dan diperbandingkan masing-masing lembaga tersebut akan tampak mendiami suatu tempat tertentu dalam organisasi sosial dan memainkan peran yang cukup penting dalam ke­hidupan masyarakat tersebut.[10]

Pengadopsian pendekatan fungsional Durkheim tentu juga harus dipandang dalam konteks intelektual masa Radcliffe-Brown dan Malinowski. Mereka telah dilatih oleh para difusionis Inggris dan, dengan demikian, tentu saja telah banyak dijejali informasi tentang kekurangan-keku­rangan yang terdapat dalam paham evolusionisme. Selain itu, mereka berada dalam jajaran antropolog pertama yang menunjukkan kerja lapangan yang terinci dan sistematis tentang masyarakat-masyarakat tradisional—Malinowski[11] di Kepulauan Trobriand (1915-1918) dan Radcliffe-Brown[12] di Kepulauan Andaman (1906-1908). Bahkan, etnografi ter­kenal karya Malinowski tentang para penduduk Pulau Trobriand masih dipergunakan sebagai model penelitian lapangan kontemporer.[13] Oleh sebab itu, merekalah yang pertama kali menemukan cara merekonstruksi keadaan masa silam di antara orang-orang yang tidak memiliki rekaman sejarah dan cara memvisualisasikan masyarakat­-masyarakat yang tinggal di pulau-pulau kecil sebagai pe­nerima pola-pola budaya dari Mesir atau pusat-pusat budaya lain.
Maka, dalam kefakuman intelektual ini, mereka meng­hadapi pertanyaan intelektual yang mencecar: Bagaimana­kah mereka, atau ahli lain, memahami sifat masyarakat tradisional? Jawaban Durkheim tentu menimbulkan daya tarik tersendiri bagi para pelopor peneliti lapangan tersebut: Perhitungkanlah fungsi suatu keping budaya. Dengan mengetahui fungsi suatu keping budaya—umpama saja suatu upacara keagamaan, sistem kekerabatan, atau bagian­bagian yang lain—maka tempatnya dalam keseluruhan skema segala unsurnya bisa diketahui. Itulah yang cukup menarik dalam pendekatan fungsional Durkheim. Dan daya tarik inilah yang membuat paham fungsionalisme tetap berjaya. Karena tanpa adanya gabungan berbagai hal yang baru saja kita eksplorasi tersebut, patut diragukan kalau teoretisasi fungsional itu akan tetap bisa lestari dalam ilmu-­ilmu sosial.

D.  Radcliffe Brown dan Pelestarlan Paham Fungsionalisme
A.R. Radcliffe-Brown (1881-1955) merupakan salah se­orang ilmuwan paling penting dan paling dihormati dalam bidang antropologi. Dia menikmati popularitas profesional yang tinggi selama perjalanan kariernya dan popularitas tersebut tetap gemilang hingga kini. Kebanyakan popularitas yang diraih A.R. Radcliffe-Brown berasal dari pikirannya yang tajam dan terbuka maupun dari perjalanannya keliling dunia melintasi lima benua.[14]
Kajian etnografi pertama A.R. Radcliffe-Brown tentang Kepulauan Andaman dilakukan dari tahun 1906 hingga tahun 1908. Akan tetapi, kajian awal ini tidak dipublikasikan hingga tahun 1922 dan hingga pada saat itu, ketertarikannya terhadap rekonstruksi sejarah, evolusionisme dan difusio­nisme membuatnya harus menggunakan fungsionalisme[15]. Tertundanya publikasi kajiannya yang berjudul The Andaman Islanders pada 1922 menandai suatu titik yang dramatis dalam sejarah fungsionalisme. Karena dalam studi etno­grafinya ini, Radcliffe-Brown telah mengadopsi banyak metode fungsional Durkheirn. Karya Radcliffe-Brown mengungkapkan adanya suatu dasar fungsional yang jelas, kendati tidak begitu tampak jelas terlihat dalam karya koleganya yang sekaligus, sering kali, penentangnya; Bronislaw Malinowski.
Tidak lama sesudah dipublikasikannya The Andaman Islanders, Radcliffe-Brown menerbitkan sebuah artikel klasik tentang 'saudara ibu' dalam suku-suku tertentu di Afrika Selatan.[16] Di sini, dia melakukan interpretasi evolusioner dan historis sebelumnya terhadap hubungan kekerabatan dan dalam interpretasi awal tersebut, dia menawarkan pen­jelasan fungsional yang sangat jelas dan tegas.

E.   Pandangan Radcliffe-Brown terhadap Ilmu Pengetahuan
Tidak seperti halnya kebanyakan ilmuwan sosial di masanya, atau bahkan sekarang ini, Radcliffe-Brown benar-­benar mengetahui filsafat dan cara ilmu pengetahuan dilaksanakan dalam disiplin-disiplin ilmu yang lain. Pernyataannya paling anggun tentang ilmu pengetahuan sosial dikemukakan pada 1937 di hadapan seminar yang dihadiri para dosen di University of Chicago (yang transkripnya kemudian diterbitkan pada 1957 dengan judul A Natural Science of Society)[17]. Dalam seminar ini, Radcliffe-Brown menjawab sanggahan Profesor Mortimer Adler bahwa satu­-satunya kemungkinan ilmu pengetahuan sosial adalah psikologi.
Radcliffe-Brown menyatakan bahwa masing­-masing ilmu itu berkaitan dengan realitasnya sendiri, yang memiliki "sistem alami"-nya sendiri. Jika unsur-unsur suatu sistem itu bersifat unik pada sistem itu, dan tidak ada sistem yang lain dalam ranah-semestanya, maka suatu sistem yang alami bisa dikatakan hadir dan membentuk dasar bagi suatu ilmu tersendiri. "Sistem sosial" merupakan suatu sistem alami yang lahir dan memperlihatkan unsur-unsur unik yang bukan merupakan bagian dari sistem lain mana pun yang terdapat dalam semesta ini. Unsur-unsur ini adalah hubungan sosial di antara individu-individu. Psikologi, menurut Radcliffe-Brown, mengkaji hubungan unsur­-unsur yang terdapat dalam individu, sementara sosiologi (dan antropologi sosial) mengkaji hubungan antara individu-individu.
Jadi, tugas yang dipikul oleh "ilmu alam masyarakat" adalah menemukan hukum yang mengatur hakikat hubungan sosial. Penemuan seperti itu diperkuat oleh analisis keseluruhan masyarakat dan oleh pembandingan temuan-temuan mengenai beroperasinya jenis-jenis masyarakat yang berbeda. Itulah asumsi-asumsi filsafat yang ada di balik fungsionalisme Radcliffe-Brown.

F.    Konsepsi Radcliffe-Brown Tentang Struktur Sosial
Bagi Radcliffe-Brown, "ilmu alam masyarakat" menelaah struktur sosial. Struktur sosial "terdiri atas jumlah keseluruhan hubungan sosial seluruh individu pada masa tertentu. Oleh sebab itu, ilmu masyarakat harus mengeksplorasi pola-pola konkret hubungan sosial di antara individu-indi­vidu. Dalam masyarakat yang dikaji oleh antropolog, hubungan seperti itu biasanya merupakan kekerabatan, kendatipun setiap hubungan yang relatif awet dalam suatu masyarakat tradisional itu mungkin menjadi topik peneliti­an yang sah. Karena alasan inilah Radcliffe-Brown meng­abdikan sebagian besar kariernya untuk mengembangkan konsep-konsep yang bisa menguraikan hubungan keke­rabatan dalam masyarakat primitif, dan konsep-konsep tersebut digunakan oleh para mahasiswa dan kolega Radcliffe-Brown dalam berbagai analisis sistem kekerabatan mereka. Tentang pemahaman mengenai kekerabatan, yang banyak dikenal adalah struktur sosial dan terkait dengan pengetahuan komparatif struktur sosial, hukum masyarakat bisa dirumuskan dan diperiksa.
Arti penting penekanan Radcliffe-Brown mengenai struktur sosial adalah bahwa penekanan tersebut membebaskan antropologi dari gagasan umum mengenai budaya sebagai seluruh artefak, keyakinan dan adat istiadat suatu masyarakat. Kita hanya perlu mengingat definisi budaya yang dikemukakan oleh Edward Taylor sebagai "keutuhan yang kompleks yang mencakup pengetahuan, keyakinan, seni, moral, hukum, adat kebiasaan dan setiap kemampuan yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat" guna menyadari arti penting penekanan yang diberikan Radcliffe-Brown mengenai struktur. Penekanan tersebut bertindak sebagai panduan bagi para peneliti lapangan; penekanan itu mengarahkan mereka agar memusatkan perhatian pada pola-pola nyata dalam hubungan di antara individu-individu. Bagi para peneliti yang memiliki data yang melimpah, nasihat seperti itu sering memungkinkan diri mereka bisa melihat "hutan belantara melalui pohon-pohonnya."

G.   Komitmen Radcliffe-Brown terhadap Analisis Sinkronik
Karena kritiknya terhadap metode evolusi dan historis, Radcliffe-Brown mengusulkan dua pembedaan untuk menghindari adanya analisis historis terhadap struktur sosial. Pertama, Radcliffe-Brown membedakan analisis "diakronik" dengan analisis "sinkronik". Penelitian diakronik adalah penelahaan struktur sosial sepanjang waktu, sedangkan analisis sin­kronik adalah pengamatan struktur sosial di satu penggalan waktu. Kedua, Radcliffe-Brown membedakan "etnologi" dengan "antropologi sosial". Etnologi adalah kajian sejarah suatu budaya, sementara antropologi sosial adalah me­rumuskan hukum umum sistem sosial.[18]
Argumen ini memungkinkan para peneliti lapangan memberikan justifikasi terhadap aktivitas mereka. Mereka bisa melaksanakan analisis sinkronik dan merasa bahwa diri mereka itu ilmuwan sosial yang sesungguhnya. Selain itu, Radcliffe-Brown berharap pembedaan tersebut bisa menyingkirkan sisa-sisa evolusionisme dan historisisme.

H.  Penggunaan Konsepsi Fungsi oleh Radcliffe-Brown
Radcliffe-Brown tahu bahwa analisis fungsional itu di­dasarkan pada analogi antara kehidupan sosial dan kehidup­an organik. Sepanjang pengetahuan saya, rumusan sistematik pertama konsep ini—sebagaimana yang diterapkan dalam kajian yang sangat ilmiah tentang masya­rakat—adalah rumusan dari Emile Durkheim." Radcliffe-Brown selanjutnya menekankan bahwa analisis fungsional terdiri atas upaya penetapan "kesesuaian antara (lembaga sosial) dengan kebutuhan organisme sosial."31 Tentu saja dia menyadari berbagai masalahnya dengan pernyataan seperti ini: bahaya suatu teleologi yang tidak sah berasal dari pernyataan bahwa kebutuhan suatu organisme sosial menyebabkan lahirnya lembaga yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.32 Untuk menghindari masalah ini, dia menyatakan bahwa istilah "kondisi mutlak bagi eksistensi" hendaknya menggantikan istilah "kebutuhan":

Saya akan mengganti istilah "kebutuhan" dengan "kondisi yang dibutuhkan bagi eksistensi" atau jika istilah "kebutuh­an" mau digunakan, istilah itu hendaknya hanya dipahami dalam pengertian ini saja. Sebagai patokan, perlu diingat bahwa usaha apa pun untuk menerapkan konsep fungsi dalam ilmu sosial itu melibatkan asumsi bahwa ada syarat‑perlu bagi eksistensi masyarakat manusia sama seperti bagi organisme binatang, dan bahwa persyaratan itu bisa ditemukan dengan menggunakan jenis penelitian ilmiah yang tepat.

Radcliffe-Brown yang sering membuat analogi antara kehidupan sosial dan kehidupan organik, menyadari bahwa "seperti halnya semua analogi, analogi ini hendaknya dipergunakan dengan berhati-hati." Namun, dalam pemban­dingannya antara organisme sosial dan organisme binatang, ada satu hal yang patut diingat dari usaha awal yang dilaku­kan Spencer. Satu perbedaan utama antara kehidupan sosial dan kehidupan organik adalah bahwa dalam kehidupan organik "ada kemungkinan mengamati struktur organik itu dalam derajat tertentu terlepas dari fungsinya. Oleh karena itu, ada kemungkinan juga untuk membuat suatu morfologi itu terlepas dari fisiologi." Tetapi dalam masya­rakat manusia, "struktur sosial secara keseluruhan hanya bisa diamati dalam fungsinya." (Cetak miring seperti asli­nya). Dengan kata lain, struktur sosial hanya bisa dilihat dan dipahami dengan mengacu pada proses interaksi nyata tempat individu-individu terlibat dan membentuk hubung­an sosial atau struktur sosial yang relatif langgeng.
Jadi, konsep "pemfungsian" di sini mengacu pada proses kehidupan sosial yang berlangsung guna mencipta­kan, mempertahankan dan mengubah struktur sosial. Konsep "fungsi" berkaitan dengan "kontribusi yang diberikan oleh suatu aktivitas parsial kepada keseluruhan aktivi­tas yang menjadi induk dari aktivitas parsial tersebut." Sekarang, apa yang menentukan "kontribusi" itu? Jawab yang diberikan oleh Radcliffe-Brown adalah: tingkat kebutuhan akan suatu kondisi penting bagi keberadaan keseluruhan sosial yang harus dipenuhi oleh suatu aktivitas (sosial). Radcliffe-Brown memandang kondisi penting ialah “integrasi sosial”. Terutama, dia memandang dua kondisi seperti:
(1) kebutuhan akan sistem sosial untuk membuktikan "konsistensi" struktur, dan yang dia maksudkan adalah penetapan hak dan kewajiban yang jelas atas segala sesuatu dan orang-orang guna menghindari timbulnya konflik.
(2) Kebutuhan akan sistem sosial untuk mengungkapkan "kontinuitas", yang dia maksudkan sebagai pemeliharaan hak dan kewajiban antara orang-orang sehingga interaksi yang ada bisa ber­langsung secara mulus dan teratur.

Kebanyakan analisis lembaga dan aktivitas sosial dalam masyarakat tradisional yang dilakukan Radcliffe-Brown ditujukan untuk memperlihatkan bagaimana aktivitas atau lembaga itu memenuhi satu atau kedua kondisi yang penting itu. Umpama saja, dalam karya etnografinya tentang penduduk Pulau Andaman, dia secara konsisten menganalisis peristiwa-peristiwa sosial berdasarkan kebutuhan integratif atau kebutuhan penting yang mereka hadapi. Misalnya, dalam analisisnya tentang upacara, Radcliffe-Brown sering mengemukakan dua jenis pernyata­an berikut:

Tujuan yang ingin dicapai dalam upacara (penciptaan perdamaian) jelas untuk menghasilkan perubahan perasaan pada kedua belah pihak yang saling berhadapan[19]
Ciri utama semua tarian adalah bahwa tarian itu berirama (ritmis) dan tampak jelas bahwa fungsi utama dari keber­iramaan tarian itu adalah memungkinkan sejumlah orang bisa bergabung dalam tindakan yang sama dan melaksana­kan tindakan-tindakan itu bagai satu tubuh.[20]
Oleh karena itu, fungsi pertemuan dalam tarian itu adalah membawa kedua kelompok itu agar saling kontak dan mem­perbarui hubungan sosial di antara mereka dan dengan cara itu mereka mempertahankan solidaritas di antara mereka.[21]
(Menggambari tubuh) merupakan suatu tindakan yang diharuskan oleh adat kebiasaan. Penampilan tersebut ber­fungsi menghidupkan dalam pikiran orang-orang itu suatu sistem sentimen tertentu yang sangat penting guna mengatur konformitas bagi kebutuhan masyarakat itu.[22]

Analisis seperti itu tentu saja mengingatkan kita tentang penyelidikan yang dilakukan Durkheim terhadap ritual dalam buku Elementary Forms. Analisis belakangan Radcliffe-Brown tentang fungsi kekerabatan jauh lebih canggih karena dia mencoba memperlihatkan bagaimana suatu struktur kekeluargaan tertentu itu, seperti sistem warisan patrilineal, berfungsi untuk memenuhi dua ke­butuhan penting bagi eksistensinya itu. Sangat me­ngesankan adalah analisis struktural kekerabatan yang dibuat oleh Radcliffe-Brown. Hal itu karena analisis fungsionalnya, seperti halnya analisis fungsional Durkheim, merupakan suatu kepastian: struktur tersebut akan memenuhi dua kondisi yang diajukan Radcliffe-Brown.
Sekarang kita mungkin bertanya: Mengapakah Radcliffe-Brown menggunakan konsep fungsi? Apa yang ditambahkan oleh fungsi itu kepada uraiannya mengenai penduduk Pulau Andaman atau analisis struktur kekerabat­annya? Bagi Radcliffe-Brown fungsi merupakan suatu konsep yang memungkinkan dirinya bisa menghindari keterperosokan dalam penyelidikan sejarah suatu masya­rakat; hal ini merupakan cara untuk memperlihatkan ana­lisis sinkronik dan meyakini bahwa penemuan fungsi itu bisa menghasilkan hukum sesungguhnya mengenai sistem sosial:

Sistem sosial apa pun agar bisa hidup harus menyesuaikan diri dengan kondisi-kondisi tertentu. Jika kita bisa menetap­kan dengan tepat salah satu dari kondisi universal tersebut, yakni kondisi yang harus diselarasi oleh seluruh masyarakat manusia, kita mendapatkan suatu hukum sosiologis. Dengan begitu, jika bisa diperlihatkan bahwa suatu lembaga tertentu yang terdapat dalam suatu masyarakat tertentu merupakan alat yang digunakan oleh masyarakat itu untuk menyesuai­kan diri dengan hukum sosiologis tersebut, yakni dengan kondisi yang penting itu, kita bisa mengatakan hal ini sebagai "asal muasal sosiologis" lembaga tersebut. Maka dari itu, suatu lembaga bisa dikatakan memiliki raison d'etre umumnya (asal muasal sosiologis) dan raison d'etre khususnya (asal muasal historis). Yang pertama menjadi tugas bagi sosiolog atau antropolog sosial untuk menemukannya. Adapun yang kedua diperuntukkan bagi sejarawan.

Pernyataan ini memperlihatkan daya tarik analisis fungsional dan segala permasalahan yang muncul. Intinya, Radcliffe-Brown menyatakan bahwa jika kita bisa menetap­kan kondisi universal bagi eksistensi sistem sosial, kita men­dapatkan suatu hukum sosiologis. Kemudian, jika kita mengetahui fungsi suatu struktur untuk memenuhi kon­disi-kondisi universal itu, kita telah menggunakan "hukum" kita untuk menjelaskan eksistensi ("asal muasal sosiologis") struktur ini.
Komitmennya pada analisis sinkronik telah menyodorkan pencarian akan sebab-musabab kepada sejarawan dan membuat dirinya, dan banyak antropolog dan sosiolog yang mengikutinya, merasa bahwa diri mereka telah menjelaskan suatu aktivitas sosial atau lembaga sosial dengan cara mengemukakan fungsinya. Taktik seperti itu membuat pekerjaan lapangan lebih mudah diinterpretasikan karena penjelasan ilmiah melibatkan "penemuan" fungsi suatu struktur yang terdapat dalam kesatuan sosial.

I.     Bronislaw Mallnowskl dan Pelestarlan Fungslonalisme
Bronislaw Malinowski (1884-1942) menggiring analisis fungsional ke arah yang sepenuhnya baru. Berlawanan dengan Radcliffe-Brown, yang fungsionalismenya terbatas pada analisis struktural budaya tertentu, Malinowski mengembangkan suatu skema fungsional yang luas dan abstrak, yang di satu sisi memukul mundur banyak antro­polog sementara di lain pihak merangsang berkembangnya sosiologi fungsional. Seandainya saja Malinowski tidak mencoba memperluas analisis fungsional, mustahil bahwa fungsionalisme dalam sosiologi menjadi paradigma yang dominan di akhir tahun 1940-an, 1950-an, dan di awal tahun 1960-an.
Malinowski, seperti halnya Radcliffe-Brown, berusaha menemukan alternatif intelektual untuk mengetahui perbedaan antara paham evolusionisme, difusionisme, dan rekonstruksi historis. Bagi Malinowski, paham fungsionalisme memberikan cara dalam memvisualisasikan masya­rakat tanpa mengacu kepada masa silamnya, sementara masih mempertahankan harapan akan kelahiran hukum sejati organisasi manusia.
Bagaimanakah hukum tersebut ditemukan? Malinowski menekankan bahwa ilmu budaya itu harus bersifat induktif; harus mencoba mendasarkan dirinya pada fakta-fakta empiris: "Setiap teori ilmiah harus mulai dari suatu petunjuk ke arah observasi." Dan Malinowski ternyata telah me­nanyakan, bagaimana mungkin mengamati budaya yang berbeda dengan menggunakan cara sedemikian rupa sehingga kita bisa menilai pengamatan kita dan menentukan apakah pengamatan tersebut menghasilkan wawasan tentang hukum-hukum yang ada pada budaya itu? Jawab­nya adalah bahwa suatu bentuk analisis fungsional itu bisa memberikan suatu ukuran umum, atau sistem kategori untuk membuat katalog dan perbandingan terhadap peng­amatan-pengamatan.
Oleh sebab itu, konsep tentang fungsi tidak memiliki daya eksplanatoris yang besar sebagai peranti heuristik. Dia menekankan bahwa "konsep tentang fungsi itu pada dasar­nya bersifat deskriptif."[23] Konsep tersebut memungkinkan peneliti bisa memandang ciri umum budaya dan meng­gunakan pengamatan mereka atas apa yang sama-sama ada dalam budaya sehingga dihasilkan hukum sosial. Hal ini seperti apa yang dia kemukakan berikut ini:[24] "Generalisasi yang bagus harus berasal dari pembandingan dan peng­gunaan metode induktif; dan induksi kita akan menemui kegagalan jika tidak ada beberapa ukuran umum teoretis pembandingan. Bagi Malinowski, "ukuran umum teoretis pembandingan" ini harus ditemukan dalam konsep terkait mengenai kebutuhan, lembaga, dan fungsi.

J.     Hierarki Kebutuhan
Malinowski menekankan pentingnya kebutuhan bio­logis dalam membentuk budaya, karena "manusia pertama-­tama dan paling penting harus memenuhi semua kebutuhan organismenya."[25] Namun, begitu manusia bertindak untuk memenuhi kebutuhan biologisnya, dia menciptakan pola­-pola organisasi sosial dan sistem simbol yang mewujudkan kebutuhan baru, atau apa yang oleh Malinowski diistilah­kan dengan "kebutuhan turunan" (derived need).[26]

Akan tetapi, jelas bahwa budaya memecahkan tidak sekadar masalah-masalah organik sederhana, tetapi juga mencipta­kan masalah-masalah baru, membangkitkan keinginan baru dan membangun suatu alam semesta baru, tempat manusia bergerak, mengikuti kebutuhan-kebutuhan baru dan di­rangsang oleh kepuasan baru meskipun tidak sepenuhnya bebas dari kebutuhan organiknya.

Maka demikianlah, berlawanan dengan banyak peng­kritiknya, Malinowski tidak pernah mencoba merijelaskan pola-pola budaya berdasarkan kebutuhan biologis. Dia hanya menekankan bahwa kebutuhan seperti itu meng­akibatkan adanya pengekangan atau batasan yang luas atas bentuk-bentuk penjabaran budaya yang mungkin timbul. Namun, dia nyaris memastikan bahwa struktur budaya yang timbul dan sistem simbol iniah yang menyokong kerangka utama penyelidikan antropologis. Bahkan, se­bagaimana yang dia katakan, "semakin sedikit kebutuhan organik langsung yang diacu oleh perilaku manusia, semakin besar kemungkinannya untuk memunculkan feno­mena yang menjadi santapan bagi spekulasi antropologis."
Skema Malinowski meliputi usaha untuk mengklasi­fikasikan jenis-jenis kebutuhan yang ada pada tiga tataran yang berbeda: tataran biologis, tataran struktural sosial dan tataran simbolis. Antropologi, menurut penekanannya, hendaknya memusatkan perhatiannya pada cara-cara pe­menuhan kebutuhan struktur sosial dan simbolis, karena kebutuhan tersebut tidak hanya menyediakan "santapan bagi spekulasi antropologis", tetapi juga merupakan peranti heuristik penting atau panduan komparatif guna meng­organisasikan data-data budaya manusia. Kita bisa memper­oleh gambaran terbaik mengenai penekanan ini dengan cara meninjau pembahasan Malinowski tentang kebutuhan biologis, struktural sosial, dan kebutuhan simbolis.
Kebutuhan Biologis. Di berbagai tempat, Malinowski menyebut kebutuhan biologis sebagai kebutuhan "primer'—suatu label yang bisa menimbulkan kesalahan inter­pretasi, karena kata "primer" bisa memiliki konotasi “paling penting”. Akan tetapi, apa yang ingin dilakukan Malinowski adalah membuat daftar kebutuhan biologis dasar khusus untuk organisme manusia per individu dan kemudian memperlihatkan bagaimana kebutuhan-kebutuhan tersebut menuntut tindakan pemenuhannya. Tindakan seperti itu menjadi terorganisasi secara kolektif dan terpadu secara simbolis, tetapi tanggapan-tanggapan budaya tersebut pastilah tergabung dengan "rangkaian tertentu yang sangat penting" yang terikat pada fakta-fakta biologi manusia. Jika hal-hal paling mendasar dari kebutuhan yang diderivasikan itu ternyata tak ter­penuhi, maka budaya, seperti halnya orang-orang, akan "mati" atau terhenti eksistensinya.
Kebutuhan Struktural Sosial atau "Kebutuhan Instrumen­tal". Ketika manusia telah menjadi terorganisasi dalam upaya memenuhi kebutuhan biologisnya, mereka mencipta­kan "lembaga sosial". Konsep lembaga merupakan sesuatu yang sangat mendasar dalam pandangan Malinowski tentang budaya, karena merupakan kategori struktur utama analisis­nya. Malinowski, lembaga merupakan aktivitas ter­organisasi di antara manusia yang mengungkapkan suatu struktur yang jelas. Dan analisis institusional merupakan kunci bagi penelitian antropologis:

Tidak ada unsur, pola-pola, adat kebiasaan, atau gagasan yang jelas atau bisa dijelaskan kecuali dengan cara menempat­kannya dalam latarnya yang relevan dan riil. Oleh sebab itu, kami ngotot bahwa analisis institusional seperti itu tidak hanya mungkin tetapi juga sangat penting untuk dilakukan. Di sini ditegaskan bahwa lembaga itu merupakan spesimen nyata analisis kultural.

Bagi Malinowski, semua lembaga memiliki unsur bersama tertentu:
1.       Memiliki "personil"—yakni, orang.
2.       Memiliki "anggaran dasar" atau alasan, tujuan, dan sasaran tertentu atas partisipasi para anggotanya.
3.       Memiliki seperangkat "norma" atau kaidah tentang bagaimana para personil itu harus berperilaku.
4.       Memiliki 'aktivitas' khas yang harus dilaksanakan oleh para anggotanya. Masing­-masing memperlihatkan "peranti material" atau mengguna­kan alat atau fasilitas seperti bangunan untuk melaksanakan aktivitas tersebut.
5.       Lembaga memiliki Fungsi memenuhi sebagian kebutuhan para anggotanya atau kebutuhan budayanya secara keseluruhan.
Kemudian Malinowski mencoba memperlihatkan bahwa ada lembaga-lembaga universal tertentu yang bisa ditemukan pada semua budaya. "Kendatipun lembaga­lembaga seperti keluarga, negara, kelompok umur atau jamaah agama itu sangat beragam antara satu budaya dengan budaya yang lain, dalam budaya yang sama, ada kemungkinan bisa dibuat suatu daftar jenis atau kelas yang mewakili segala dan setiap budaya."
Malinowski memandang lembaga sebagai alat untuk mencapai sesuatu oleh manusia. Hal ini tampak sangat jelas dalam gagasannya bahwa masing­-masing lembaga bersama dengan unsur personil, anggaran dasar, norma, aktivitas dan peranti materialnya, memiliki suatu fungsi. Pada satu tataran, lembaga menggabungkan "rangkaian penting" yang sangat diperlukan demi kelangsungan hidup organisme manusia. Akan tetapi, begitu orang-orang mengorganisasikan rangkaian biologisnya ke dalam lembaga, muncullah kebutuhan-kebutuhan baru. Itulah kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi agar memungkinkan lahirnya organisasi kolektif manusia. Oleh karena itu, begitu manusia menciptakan struktur sosial, atau lembaga, struktur yang lahir tersebut memiliki keharusan atau kebutuhan yang sangat penting dan riil seperti yang ada pada kebutuhan atau keharusan organisme individu yang harus dipenuhi jika "organisme sosial" itu ingin men­jaga kelangsungan hidupnya.
Akan tetapi, tidak seperti Radcliffe-Brown atau Durkheim, Malinowski tidak cukup puas dengan menyata­kan kebutuhan akan integrasi, dan kemudian secara rutin menganalisis lembaga terkait dengan bagaimana lembaga tersebut berfungsi guna mempertahankan integrasinya. Sebaliknya, Malinowski mengembangkan sebuah daftar empat "kebutuhan instrumental" dasar bagi pola kolektif organi­sasi sosial.
Masing-masing lembaga sosial, agar strukturnya masih tetap jelas, harus memenuhi empat kebutuhan atau pra­syarat tersebut. Lagi pula, struktur sosial suatu budaya secara keseluruhan—yaitu, kumpulan seluruh lembaganya­hendaknya juga dipandang harus memenuhi kebutuhan­kebutuhan tersebut. Fakta ini menciptakan suatu situasi di mana lembaga cenderung mengkhususkan atau mem­punyai fungsi memenuhi salah satu kebutuhan instrumental tersebut melebihi tiga kebutuhan yang lainnya cenderung memenuhi ke­butuhan organisasi politik suatu budaya dibandingkan kebutuhan ekonomi atau pendidikan. Akan tetapi, bahkan dengan jenis "spesialisasi" seperti ini, masing-masing lembaga sebagai suatu entitas harus memenuhi keempat kebutuhan instrumental itu agar bisa hidup sebagai struktur sosial, sembari memenuhi keempat kebutuhan keseluruhan budaya yang lebih luas jika keutuhan budaya itu ingin bisa bertahan.
Singkatnya, daftar lembaga universal Malinowski itu dimaksudkan bisa berfungsi sebagai alat bantu dalam me­lakukan analisis komparatif data-data etnografis. Dengan menganalisis unsur-unsur yang terdapat dalam masing­-masing lembaga—personil, anggaran dasar, norma, aktivitas, peranti material, dan fungsinya (apakah ekonomis, pendidikan, politik, atau kontrol sosial)—antropologi memiliki peranti heuristik yang khusus dipergunakan untuk melakukan analisis komparatif yang sesungguhnya. Dengan jalan menguraikan aspek; (a) siapa yang terlibat dalam suatu lembaga (yakni, personilnya), (b) apa tujuannya (yakni, anggaran dasarnya), (c) apa norma utamanya (unsur normatifnya), (d) apa hakikat peralatan dan fasilitasnya (peranti material), (e) apakah hakikat dan pembagian aktivitasnya (unsur aktivitasnya) (f) kebutuhan instrumen­tal apa yang paling banyak terlibat (unsur fungsinya); deskripsi antropologis menyediakan isi bersama bagi mereka yang ingin menggunakan isi ini untuk menggeneralisasikan dan menemukan hukum organisasi budaya.
Kebutuhan Simbolik atau Integratif. Ketika manusia secara kolektif berusaha mengatasi kebutuhan biologis dan instru­mentalnya, mereka juga telah menciptakan sistem lambang. Selama aktivitas mereka sehari-hari, mereka menghasilkan sistem gagasan yang mereka pakai untuk mengabsahkan, mengatur dan menuntun perilaku mereka. Oleh sebab itu, lambang-lambang digunakan untuk memadukan, merekat­kan bersama lembaga dan kumpulan lembaga ke dalam suatu keutuhan.
Pada dasarnya, Malinowski hadir untuk menekankan bahwa penciptaan dan pengguna­an lambang itu mengakibatkan timbulnya keharusan-ke­harusan baru. Dia memisahkan tiga jenis utama kebutuhan integratif yang telah diderivasikan tersebut:[27] Pertama, kebutuhan anggota suatu masyarakat untuk memiliki, menggunakan, dan meneruskan suatu sistem prinsip untuk menghadapi dunia sekitar mereka. Dia memandang "pengetahuan" dalam suatu budaya sebagai sistem lambang yang meme­nuhi kebutuhan ini. Kedua,  Kebutuhan anggota suatu masya­rakat untuk memiliki suatu rasa bahwa diri merekalah yang mengendalikan nasib mereka sendiri dan menciptakan peristiwa-peristiwa yang terjadi di dunia sekitar mereka. Malinowski memandang agama dan ilmu magis sebagai sistem lambang utama yang memenuhi kebutuhan ini. Ketiga,  kebutuhan anggota suatu masyarakat untuk sama-sama memiliki "ritme komunal" dalam kehidupan dan aktivitas mereka. Malinowski memandang kebutuhan ini dipenuhi oleh sistem pemikiran yang memandu seni, olahraga, per­mainan dan upacara.
Pemisahan jenis-jenis sistem pemikiran yang berbeda yang memenuhi masing-masing tiga kebutuhan integratif tersebut oleh Malinowski dipandang sebagai alat lain bagi analisis komparatif. Semua budaya, menurut Malinowski, akan mengungkapkan sistem lambang yang koheren dan jika kita bisa memisahkan jenis-jenis dasar sistem seperti itu, persis seperti yang diusulkan untuk lembaga sosial, maka kita akan mendapatkan peranti heuristik lain yang bisa digunakan untuk merekam dan membandingkan variasi-­variasi yang terdapat di antara budaya-budaya. Oleh sebab itu, intinya Malinowski menekankan bahwa kendati analisis kelembagaan mungkin merupakan hal yang paling utama, pemahaman terhadap suatu budaya memerlukan peng­amatan terhadap pengetahuan, magis, seni, olahraga dan lambang upacara yang digunakan oleh suatu masyarakat ketika mereka melaksanakan kegiatan kelembagaan mereka.

Daftar Pustaka
Turner H. Jonathan & Maryanski Alexandra. 1979. Fungsionalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


[1]  Muhammad Arsat (P1900215005). Makalah sebagai tugas matakuliah Paradigma Antropologi di Pasca Sarjana Jurusan Antropologi  UNHAS.  Makassar, 27 Desember 2015 
[2]     Simak: Jonathan H. Turner, The Structure of Sociological Theory (Hoewood, III.: Dorsey Press, 1974).
[3]  Robert A, Nisbet, Social Change and History (New York: Ox­ford University Press, 1969).
[4] Sebagian pelopor awal aliran evolusi meliputi: H.S. Maine, Ancient Law (London: J. Murray, 1861); H. Spencer, The Study of Sociology (New York: D. Appleton, 1873), dan Principles of Sociology (New York; A. Appleton, 1896, ash tahun 1876); L.H. Morgan, An­cient Society. E. Leacock, ed. (New York; Meridian Books: World Publishing, 1963, ash tahun 1877); Edward B. Taylor, Researches
[5] Difusionis terkemuka di aliran Jerman dan Inggris meliputi: di Jerman, F. Ratzel, The History of Mankind, A.j. Butler, terjemahan (London: MacMillan 1896-1898); Fritz Grabner, Methode der Ethnologie (Heidelberg: Universitasbuchhandlkung karya Carl Winter, 1911); W. Schmitt, The Culture Historical Method orang dezvasa Ethnology, A. A. Suber, terjemahan. (New York: Fortuny's, 1939); dan di Inggris, W.H. R. Rivers, The History of Melanesian Society (Cambridge: Cam­bridge University Press, 1914); G.E. Smith, In the Beginning: The Origin of Civilization (New York: Morrow, 1928).
[6] C. Wissler, The Relation of Nature to Man in Aboriginal America (New York; Oxford University Press, 1926), hlm. 183.

[7] Franz Boas, "The Limitation of the Comparative Method of Anthropology" dalam Race, Language and Culture (New York: Macmillan, 1940) hlm. 271-304. (Sering dikemukakan bahwa karya ini bertepatan dengan lenyapnya metode evolusioner di America). Nyatanya, Boas memulai kajiannya dengan menggunakan paradigma evolusioner, hanya belakangan saja dia menolak rasisme yang tersembuyi dari para praktisinya.
[8]     Malinowski, The Family among the Australian Aborigines (New York: Shocken, 1963, aslinya diterbitkan pada 1913).

[10]   Malinowski, The family .... op.cit., hlm. 303.
[11]    Etnografi Trobriand karya Malinowski terdapat dalam lima buah buku: The Sexual Life of Savages (Vol. I dan II, New York: Horace Liveright, 1929); Coral Gardens and Their Magic (New York: Ameri­can Book Company, 1935); Crime and Custom in Savage Society (New York: The Humanities Press, Inc.: 1951, aslinya tahun 1926); Argo­nauts of the Western Pacific (New York: E.P. Dulton, 1961, aslinya tahun 1922); dan The Language of Magic and Gardening (Bloomington: Indiana University Press, 1965, aslinya tahun 1935).
[12]    A.R. Radcliffe-Brown, The Andaman Islanders (Glencoe, III: Free Press, 1948, edisi pertama tahun 1922).
[13]    Hingga kini, etnografi Malinowski masih sering dikemuka­kan sebagai kajian yang paling lengkap dan bagus tentang masya­rakat pribumi. Bahkan, dialah yang merintis penelitian lapangan ini dan mencurahkan seluruh hidupnya terhadap orang-orang yang dikajinya.
[14]    A.R. Radcliffe-Brown menghabiskan waktu dari tahun 1906 hingga 1908 di Kepulauan Andaman, tahun 1910-1912 di Austra­lia, selama Perang Dunia I di Tongga, tahun 1922-1925 di Afrika Selatan, tahun 1926-1930 di Australia, tahun 1931-1937 di Amerika. Pada 1937, dia kembali ke Inggris, namun menghabiskan kebanyak­an waktu selama PD II di Brazil, Asia, dan Afrika. Sesudah pensiun, dia pergi ke Kairo, Mesir, dan kemudian ke Grahamstown, Afrika Selatan. Di semua tempat itu dan juga tempat-tempat lain, dia mem­bantu mendirikan dan membangun jurusan antropologi.
[15] Radcliffe-Brown tentu saja mengenal paham fungsionalisme yang baru jadi itu dari buku The Family among the Australian Ab­origines karya Malinoski, op.cit., melakukan tinjauan terhadap karya ini di buku Man, 14 (1914): 31.
[16]    The Mother's Brother in South Africa,' South African Journal of Science, XXI (1924).
[17]    A.R. Radcliffe-Brown, A Natural Science of Society (New York: Free Press, 1948).
[18]    Simak, misalnya, karyanya yang berjudul Structure and Func­tion in Primitive Societies (London; Cohen 6 West, 1952) dan Method in Social Anthropology (Chicago: University of Chicago Press, 1958).

[19]    Andaman Islanders, op.cit., hlm. 238-239.
[20]    Ibid., hlm. 247.
[21]    Ibid., hlm. 253.
[22]    Ibid., hlm. 275.
[23]    Bronislaw Malinowski, A Scientific Theory of Culture and Other Essays (Chapel Hill: University of North Carolina Press, 1944), him. 115.
[24]    Bronislaw Malinowski, 'Man's Culture and Man's Behav­ior', 'American Scientist 29 (Oktober, 1941): 198.
[25]    Malinowski, A Scientific Theory, op.cit., hlm. 37.
[26]    Malinowski, 'Man's Culture and Man's Behavior,' op.cit., hlm. 201.
[27]    Bronislaw Malinowski, "The group and the Individual in Functional Analysis", American Journal of Sociology, XLIV (6, 1939): 938-964.

0 Response to "Paradigma Struktural-Fungsional"

Posting Komentar