REPRODUKSI; UPAYA MEMAHAMI DUNIA SOSIAL

blogger templates
REPRODUKSI; UPAYA MEMAHAMI DUNIA SOSIAL[1]
Pierre-Felix Bourdieu

1.        Riwayat Hidup dan Karyanya
Pierre-Felix Bourdieu, lahir 1 Agustus 1930 di Desa Denguin, di Distrik Pyrenees-Atlantiques Barat Daya Prancis dan diakui sebagai sosiolog, antropolog, dan jawara pergerakan anti globalisasi. Karyanya memiliki bahasan luas mulai dari etnografi hingga seni, sastra, pendidikan, bahasa, selera kultural, dan televisi. Pendidikan licee (SMA)-nya di Pau kemudian pindah ke licee louis-le Grand di Paris; dari sini dia diterima masuk Ecole Normale Superieure—salah seorang temannya adalah Jacques Derrida dan  belajar filsafat pada Louis Althusser. Bourdieu tertarik pada pemikiran Marleau-Ponty, Husserl—karya Heidegger Being and Time sudah lebih dulu dibaca—dan  tulisan-tulisan Marx. Tesisnya tahun 1953 merupakan terjemahan dan ulasan Animadversiones karya Leibnis. Setelah diterima di Agregation dan mendapat Agrege dia menjadi pengajar lycee di Moulins pada tahun 1955 kemudian bergabung dengan ketentaraan dan dikirim ke Aljazair selama dua tahun. Pada tahun 1958  mengajar di Universitas Aljazair dan melahirkan buku pertamanya, Sociologie de I’Algerie (diterbitkan dalam bahasa Inggris dengan judul The Algerian). Pengaruh-pengaruh yang membentuk pemikiran Bourdieu sangat beragam karena  menggabungkan sosiologi, antroplogi, dan filsafat.
Pada tahun 1960, Bourdieu kembali ke Paris sebagai  antropolog autodidak dan mengajar di Universitas Paris (1962-1964) dan di Universitas Lille (1962-1964). Pada tahun 1964 bergabung dengan Ecoles des Hautes Etudes en Science Sociales dan mendirikan pusat sosiologi pendidikan dan budaya. Pada tahun 1968 menjadi Direktur Centre de Sociologie Europeenne kemudian bersama koleganya mempelopori riset kolektif tentang permasalahan pelestarian sistem kuasa dengan menggunakan transmisi dari budaya dominan. Pada tahun  1981, Bourdieu terpilih  memegang jabatan di bidang sosiologi di College  de France dan pada tahun 1993 di anugrahi penghargaan ‘Medaille d’or du Centre Nasional de la Recherche Scientifique (CNRS)’. Dari tahun 1962 sampai 1983 hidup berumahtangga dengan Marie-Claire Brizard.
Bourdieu menulis karya klasik dalam tiap bidang keilmuan  mulai dari pembedahan brilian tentang budaya selera dalam Distinction hingga kajian yang menyempal tentang social suffering dalam The Weigh of The World; mulai dari laporan tajam tentang gender dan kuasa dalam Masculine Domination hingga analisisnya yang benar-benar orisinal tentang relasi pasar dalam The Social Struktures of the Economiy. Pada tahun 1975 Bourdieu meluncurkan jurnal Actes de la Recherche en Sciences [2]Sociales. Di akhir 1980-an Bourdieu telah menjadi  ilmuan sosial Prancis yang paling sering dikutip di Amerika Serikat. Pada tahun 1996, menjadi pendiri perusahaan penerbitan Liber/Raison d’Agir. Buku Bourdieu paling terkenal adalah Distinction: A Social Critique of the Judgmen of Taste (1984) oleh International Sociological Assotiation  menganggap sebagai salah satu dari 10 buku sosiologi paling penting di abad 20. Pada tahun 1998, dia menerbitkan sebuah artikel di surat kabar Le Mond.  Bourdieu meninggal 23 Januari 2002 karena kanker di rumah sakit Saint-Antoine Paris.
Dalam perkembangan pemikirannya, Bourdieu mengkombinasikan analisis empiris yang ketat dengan pengelaborasian kerangka teoritis tingkat tinggi. Perhatiannya adalah peran budaya dalam mereproduksi struktur-struktur sosial atau cara hubungan kekuasaan yang tidak setara diterima sebagai sesuatu yang sah. Menurut Bourdieu, dua hal ini tertanam dalam sistem klasifikasi yang digunakan untuk melukiskan dan membahas kehidupan sehari-hari—dengan praktik-praktik kulturalnya. Sedangkan sistem klasifikasi tersebut tidak lain merupakan suatu cara untuk memahami realitas yang diterima begitu saja oleh anggota-anggota masyarakat dan kebudayaan tersebut[3].

A.   Produksi
Bourdieu pertama kali mengarahkan perhatian pada arena produksi kultural diserangkaian seminar yang diselenggarakan di Ecole Normale Superiore, dan kemudian di Ecole Pratique des Hautes Etudes, tahun 1960-an[4]. Pada saat itu masih sebagai seorang trukturalis yang sedang terlibat dalam studi etnografis tentang kominitas-komunitas petani Aljazair[5]. Melalui studi inilah ia mulai melihat ketebatasan struktulisme dan terdorong untuk merumuskan teori dan metodologinya untuk mengatasi dikotomi yang sulit; individu vs masyarakat, kebebasan vs tanggung jawab dan sebaginya yang menurutnya mengalami perkembangan ilmiah terhadap praktik sehari-hari yang dilakukan manusia, entah ditatataran komunikasi praktis maupun produksi dan konsumsi budaya secara keseluruhan. Ia memasukan dikotomi-dikotomi tersebut kedalam epstemologi besar; subjektifisme dan objektifisme atau yang dipertegasnya sebagai fenomenologi sosial dan fisika sosial.
-         Subjektifisme mewakili bentuk pengetahuan tentang dunia sosial yang didasarkan pada pengalaman utama dan persepsi-persepsi individu. Ia meliputi aliran pemikiran seprti fenomenologi, teori tindakan rasional dan bentuk-bentuk tertentu teori interpretatif, antroplogi dan analisis bahasa (yang disebut Volosinov ‘subjektifisme indifidualistik) mencakup teori idealistik dan esensialis yang berbasis idielogi karismatik tentang penulis sevagai pencipta (kreator).
-         Objektifisme, yaitu berusaha menjelaskan dunia sosial dengan menempatkan pengalaman individual dan subjektivitas dan memfokuskan diri pada kondisi-kondisi objektif yang menstrukturkan kebebasan praktis kesadaran manusia. Subjektivisme maupun objektivisme gagal memahami apa yang disebut Bourdieu 'objektivitas subjektif' (the objectivity of the subjec­tive)." Subjektivisme gagal memahami landasan sosial yang mem­bentuk kesadaran, sedangkan objektivisme melakukan yang seba­liknya, gagal mengenali realitas sosial di tataran tertentu yang di­bentuk oleh konsepsi dan representasi yang dilakukan individu­individu terhadap dunia sosial.
Di dalam kritiknya terhadap objektivisme, Bourdieu menulis, di bagian kesimpulan Distinction, bahwa "representasi yang dipro­yeksikan individu maupun kelompok melalui praktik dan properti properti mereka adalah bagian integral dari realitas sosial. Sebuah kelas ditentukan oleh bagaimana ia dipersepsi dan bagaimana dia mempersepsi, oleh apa yang dikonsumsinya—yang tidak selalu harus terlihat simbolis —maupun oleh posisinya di dalam relasi-relasi pro­duksi."[6] Namun pandangannya tentang objektivisme ini (yang menurut Bourdieu lebih bisa diterima ketimbang subjektivisme, sehingga mau tak mau objektivisme menjadi langkah pertama di dalam analisis sosial apapun) malah menunjukkan penerimaan ter­hadap teori-teori yang mengusung kehendak bebas, kemampuan mengonstitusi makna, di mana tindakan dan karya seni bisa dire­duksi menjadi intensi-intensi sadar pengarangnya.[7] Di dalam teori Bourdieu, aspek-aspek simbolis kehidupan sosial ini terkait erat dengan kondisi-kondisi material eksistensi (penghidupan ekono­mi), namun yang satu tidak bisa direduksi menjadi yang lain.
Menurut Bourdieu dalam Distinction, bahwa sistem dominasi tersebut menemukan ekspresinya disemua wilayah praktik kultural dan pertukaran simbolis, mencakup hal-hal seperti cara memilih pakaian, cara memilih olahraga, cara memilih makanan, cara memilih musik, cara memilih sastra, cara memilih seni dan lain sebagainya. Singkatnya cara memilih, membentuk dan menetapkan selera[8]. “selera mengklasifikasikan objek yang hendak dipilih sehingga subjek-subjek sosial, yang diklasifikasi oleh klasisfikasi-klasifikasi mereka sendiri, membedakan diri berdasarkan pemilahan yang mereka buat sendiri seperti antara yang cantik dan yang jelek, yang yang tertutupo dan yang vulgar, merujuk kepada apakah posisi mereka di dalam klasifikasi-klasifikasi objektif tersebut terekspresikan atau terkhianati.        

B.   Reproduksi Budaya
Proses reproduksi kebudayaan merupakan proses aktif yang menegaskan keberadaannya dalam kehidupan sosial sehingga mengharuskan adanya adaptasi bagi kelompok yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda. Proses semacam ini merupakan proses sosial budaya yang penting karena menyangkut dua hal. Pertama, pada tataran masyarakat akan terlihat proses dominasi dan subordinasi budaya terjadi secara dinamis yang memungkinkan kita menjelaskan dinamika kebudayaan secara mendalam. Kedua, pada tataran individual akan dapat diamati proses resistensi di dalam reproduksi identitas budaya sekelompok orang di dalam konteks sosial budaya tertentu. Proses adaptasi ini berkaitan dengan dua aspek, yakni ekspresi kebudayaan dan pemberian makna akan tindakan-tindakan individual. Dengan kata lain, hal ini menyangkut dengan cara sekelompok orang dapat mempertahankan identitasnya sebagai suatu etnis di dalam lingkungan sosial budaya yang berbeda.
Agar bisa memahami hal semacam ini, Bourdieu lalu mengembangkan sebuah konsep tentang agen yang bebas dari voluntarisme dan idealisme pemahaman subjek­tivistik yang disebut sosiologi genetik atau strukturalisme genetik. Bourdieu kemudian mengembangkan konsepnya yang terkenal yaitu habitus dan arena.

Habitus
Adalah “struktur mental atau kognitif” yang dengannya orang berhubungan dengan dunia sosial. Orang dibekali dengan skema yang terinternalisasi yang mereka gunakan untuk mempersepsi, memahami, mengapresiasi, dan mengevaluasi dunia sosial. Melalui skema inilah orang menghasilkan praktik mereka, mempersepsi dan mengevaluasinya (Bourdieu, 1998: 18). Sebenarnya, kita dapat menganggap habitus sebagai “akal sehat” (common sense) (Holton, 2000). Habitus diperoleh sebagai akibat dari ditempatinya posisi di dunia sosial dalam waktu yang panjang. Habitus bervariasi tergantung pada sifat posisi seseorang di dunia sosial, tidak semua orang memiliki habitus yang sama. Namun, mereka yang menempati posisi sama di dunia sosial cenderung memiliki habitus yang sama (Bourdieu, 1990: 13).
Konsep habitus dimaksudkan Bourdieu sebagai alternatif bagi solusi yang ditawarkan subjektivisme (kesadaran, subjek, dan lain sebagainya), dan reaksi terhadap 'filsafat tindakan ganjil' pandangan strukturalisme yang mereduksi agen menjadi sekadar 'pengemban' (Trager menurut Althusser) atau ekspresi 'bawah sadar' (bagi Levi Strauss) 'struktur'. Konsep habitus Bourdieu mirip dengan gramatika generatif Chomsky, karena konsep ini berusaha memahami ke­mampuan kreatif, aktif dan inventif agen-agen manusia. Namun di sisi lain berbeda dari Chomsky, karena konsep ini tidak melekatkan kemampuan tersebut kepada pikiran individu secara universal.
Singkat kata,  konsep habitus merepresentasikan sebuah "niat teoretis untuk keluar dari filsafat kesadaran tanpa membuang agen, dalam hakikatnya sebagai operator praktis bagi pengonstruk­sian objek."[9]
Bourdieu sendifi secara formal mendefinisikan habitus sebagai:
"sistem disposisi yang bertahan lama dan bisa dialihpindahkan (transposable), struktur yang distrukturkan yang diasumsikan ber­fungsi sebagai penstruktur struktur-struktur (structured structures predisposed to function as structuring structures), yaitu sebagai prinsip-prinsip yang melahirkan dan mengorganisasikan praktik­praktik dan representasi-representasi yang bisa diadaptasikan secara objektif kepada hasil-hasilnya tanpa mengandaikan suatu upaya sadar mencapai tujuan-tujuan tertentu atau penguasaan cepat atas cara dan operasi yang diperlukan untuk mencapainya. Karena sifatnya 'teratur' dan 'berkala' secara objektif, tapi bukan produk kepatuhan terhadap aturan-aturan, prinsip-prinsip ini bisa disatupadukan secara kolektif tanpa harus menjadi produk tin­dakan pengorganisasian seorang pelaku."[10]
Habitus kadang kala digambarkan sebagai 'logika permainan' (feel for the game), sebuah 'rasa praktis' (Inggris: practical sense; Pran­cis: sens pratique) yang mendorong agen-agen bertindak dan be­reaksi dalam situasi-situasi spesifik dengan suatu cara yang tidak selalu bisa dikalkulasikan sebelumnya, dan bukan sekadar kepa­tuhan sadar pada aturan-aturan. Ia lebih mirip seperangkat dispo­sisi yang melahirkan praktik dan persepsi.
Habitus sendiri merupakan hasil dari proses panjang pence­kokan individu (process of inculcation), dimulai sejak masa kanak­-kanak, yang kemudian menjadi semacam 'pengindraan kedua' (sec­ond sense) atau hakikat alamiah kedua (second nature). Menurut de­finisi Bourdieu di atas, disposisi-disposisi yang direpresentasikan oleh habitus bersifat:
a.     Bertahan lama' dalam artian bertahan di sepanjang rentang wak­tu tertentu dari kehidupan seorang agen,
b.    Bisa dialihpindahkan dalam arti sanggup melahirkan praktik­-praktik di berbagai arena aktivitas yang beragam,
c.     Merupakan 'struktur yang distrukturkan' dalam arti mengikut­sertakan kondisi-kondisi sosial objektif pembentukannya; inilah yang menyebabkan terjadinya kemiripan habitus pada diri agen-­agen yang berasal dan kelas sosial yang sama dan menjadi justi­fikasi bagi pembicaraan tentang habitus sebuah kelas.
d.    merupakan 'struktur-struktur yang menstrukturkan', artinya mampu melahirkan praktik-praktik yang sesuai dengan situasi­-situasi khusus dan tertentu.
Kendati demikian, habitus tidak menutup kemungkinan bagi para agen untuk melakukan kalkulasi strategis, hanya saja caranya berfungsi agak beda. Meminjam kata-kata Bourdieu sendiri:
"Sistem disposisi ini—sebuah masa lalu yang ada sekarang (a pre­sent past) yang cenderung menghadirkan lagi dirinya di masa depan dengan mengaktifkan kembali dalam praktik-praktik yang distrukturkan secara sama suatu kaidah internal yang melaluinya keniscayaan ekstemal yang tidak bisa direduksi menjadi pengha­lang langsung didorong mundur terus-menerus—adalah prinsip utama bagi kelangsungan dan keteraturan yang sudah bisa ditang­kap objektivisme di dalam praktik-praktik sosial namun tidak per­nah bisa dipahaminva. Sistem disposisi ini jugs sanggup menjelaskan sebab-musabab terjadinya transformasi-transformasi ter­atur yang tidak bisa dijelaskan entah melalui determinisme eks­trinsik dan instan dari sosiologisme mekanistik, maupun lewat determinasi murni internal yang tak kalah instannya dari sub­jektivisme spontanistik."[11]

Arena 
Adalah sejenis pasar kompetitif yang di dalamnya terdapat berbagai jenis modal (ekonomi, sosial, budaya, simbolis) yang digunakan dan dimanfaatkan. Ada sejumlah arena semi otonom di dunia sosial (misalnya, artistik, religius, perguruan tinggi), yang kesemuanya memiliki logika spesifik tersendiri dan semuanya membangun keyakinan di kalangan aktor tentang hal-hal yang mereka pertaruhkan di suatu arena. Bourdieu melihat arena sebagai tempat pertempuran” (Bourdieu dan Wacquant, 1992: 101). Kalau habitus ada di dalam pikiran aktor, maka arena berada di luar pikiran mereka.
Agen-agen tidak bertindak dalam ruang hampa, melainkan di dalam situasi-situasi sosial konkret yang diatur oleh seperangkat relasi sosial yang objektif. Agar bisa memahami sebuah situasi atau suatu konteks tanpa kembali jatuh ke dalam determinisme analisis objektivistik inilah Bourdieu mengembangkan konsep arena (Fran­cis: champ). Menurut model teoretis Bourdieu, pembentukan sosial apapun distrukturkan melalui serangkaian arena yang terorganisasi secara hierarkis (arena ekonomi, arena pendidikan, arena politik, arena kultural dan lain sebagainya). Arena-arena didefinisikan se­bagai ruang yang terstruktur dengan kaidah-kaidah keberfungsian­nya sendiri, dengan relasi-relasi kekuasaannya sendiri, yang terlepas dari kaidah politik dan kaidah ekonomi. Kendati setiap arena relatif otonom, namun secara struktural mereka tetap homolog satu sama lain. Strukturnya, di momen apapun, ditentukan oleh relasi­relasi di antara posisi-posisi yang ditempati agen-agen di arena tersebut. Arena adalah suatu konsep dinamis perubahan posisi-posisi agen mau tak mau menyebabkan perubahan struktur arena.
Rumusan tentang arena ini menunjukkan suatu usaha mene­rapkan apa yang disebut Bourdieu, meminjam istilah Cassirer, cara berpikir relasional tentang produksi kultural. Cara berpikir ini men­syaratkan pemisahan diri dari persepsi umum atau substansialistik mengenai dunia sosial, karena dia melihat setiap elemen berdasar­kan relasinya dengan semua elemen lain di dalam sebuah sistem yang darinya elemen tersebut mendapatkan makna dan fungsinya.
Di dalam arena apapun, agen-agen yang menempati berbagai macam posisi yang tersedia (atau yang menciptakan posisi-posisi baru) terlibat di dalam kompetisi memperebutkan kontrol kepen­tingan atau sumber daya yang khas dalam arena bersangkutan. Di arena ekonomi misalnya, agen-agen saling bersaing demi modal ekonomi melalui berbagai strategi investasi dengan menggunakan akumulasi modal ekonomi. Namun kepentingan dan sumber daya yang dipertaruhkan di dalam arena tidak selalu berbentuk materi, dan kompetisi di antara agen-agen—yang dilihat Bourdieu sebagai salah satu ciri umum arena—tidak selalu didasarkan pada kalkulasi secara sadar. Di dalam arena kultural (contohnya sastra), kompetisi seringkali berkaitan dengan otoritas yang inheren di dalam peng­akuan, konsekrasi dan prestise. lni terutama terjadi pada apa yang disebut Bourdieu sebagai sub-arena produksi-terbatas (the sub-field of restricted production), yaitu produksi yang tidak dimaksudkan untuk mencapai pasar skala-besar.
Otoritas berbasis konsekrasi atau prestise adalah murni sim­bolis dan bisa melahirkan kepemilikan atau peningkatan modal ekonomi. Sebagai bagian integral dari teori praktiknya, Bourdieu lalu mengembangkan konsep kekuasaan simbolis berdasarkan ben­tuk-bentuk modal yang tidak bisa direduksi menjadi sekadar modal ekonomi. Modal akademis contohnya, berasal dan pendidikan formal dan bisa diukur melalui gelar atau diploma yang dimiliki. Se­dangkan modal linguistik menyoroti kompetensi linguistik agen yang diukur dalam relasinya dengan pasar linguistik spesifik tempat relasi-relasi kuasa yang seringkali dipertaruhkan secara tidak disadari.[12]
Ada dua bentuk modal yang sangat penting di dalam arena produksi kultural, yaitu:
1.    modal simbolis yang mengacu kepada derajat akumulasi pres­tise, ketersohoran, konsekrasi atau kehormatan, dan dibangun di atas dialektika pengetahuan (connaissance) dan pengenalan (reconnaissance).'
2.    modal kultural menyoroti bentuk-bentuk pengetahuan kultural, kompetensi-kompetensi atau disposisi-disposisi tertentu. Di dalam Distinction, tempat konsep ini diulas dengan rinci, Bourdieu mendefinisikan modal kultural sebagai suatu bentuk pengetahu­an, suatu kode internal atau suatu akuisisi kognitif yang melengkapi agen sosial dengan empati, apresiasi terhadap diri dan orang lain, atau kompetensi di dalam, pemilah-milahan relasi-relasi.
Layaknya modal ekonomi, bentuk-bentuk lain modal tersebar tidak setara di antara kelas-kelas sosial dan fraksi-fraksi kelas. Mes­kipun bentuk-bentuk modal itu sama-sama bisa diubah dalam kon­disi tertentu (contohnya, jenis dan jumlah modal akademis yang tepat bisa diubah menjadi modal ekonomi melalui penempatan yang menguntungkan di dalam pasar kerja), mereka tidak bisa direduksi satu sama lain. Kepemilikan modal ekonomi tidak serta-merit meng­implikasikan kepemilikan modal kultural atau simbolis, dan seba­liknya. Bourdieu bahkan menganalisis arena produksi kultural sebagai 'dunia ekonomi yang terbalik' berdasarkan logika 'pecun­danglah yang menang', karena kesuksesan ekonomi (dari sudut pandang sastra contohnya: menulis buku-buku laris) bisa menjadi tanda penghalang diperolehnya konsekrasi dan kekuasaan simbolis tertentu.
Lewat salah satu karyanya yang berjudul Distinction, Bourdieu menerangkan penerapan habitus dengan arena. Dalam karyanya tersebut, ia mencoba menunjukkan bahwa kebudayaan dapat menjadi objek sah dari study ilmiah, hal yang lebih spesifik lagi dari kebudayaan, dia menganalisis selera akan masakan yang dimasak khusus dan berselera tinggi dengan makanan yang hanya terbuat dari bahan-bahan pokok. Selera, menurut Bourdieu merupakan praktik yang di antaranya memberi individu, maupun orang lain, pemahaman akan statusnya di masyarakat. Selera menyatukan mereka yang berada pada posisi yang sama dan membedakannya dari mereka yang memiliki selera berbeda. Secara langsung maupun tidak, dengan selera maka orang akan mengklasifikasikan dirinya sendiri pada tataran kelas-kelas sosial tertentu. Selera adalah kesempatan baik untuk menyatakan posisi seseorang dalam arena dan membawa dampak bagi kemampuan seseorang yang berada kelas yang tinggi untuk lebih mampu membuat selera mereka diterima dan menentang selera mereka yang berada pada kelas yang lebih rendah.
Bourdieu menghubungkan selera dengan salah satu konsep utamanya yaitu habitus. Selera lebih banyak dibentuk oleh penempatan-penempatan yang membentuk kesatuan tak sadar suatu kelas dan mengakar kuat serta bertahan lama, habitus memberikan kita akan pemahaman makna akan bentuk dari hasil kebudayaan seperti perabot, pakaian, dan masakan. Bourdieu selanjutnya mengemukakannya dengan lebih menarik: “selera adalah pengatur pertandingan……yang didalamnya habitus menegaskan kedekatannya dengan habitus lain” (1984a: 243). Kendati arena dan habitus adalah dua hal penting bagi Bourdieu, namun yang paling penting adalah hubungan dialektis diantara keduanya; bahwa arena dan habitus saling memberi arti satu sama lain. Dalam bentuk yang lebih umum, Bourdieu menjelaskan: “terdapat hubungan erat antara posisi sosial dan disposisi agen yang mendudukinya” (1984a: 110). Dalam kehidupan masyarakat, suatu tindakan yang sama dapat memperoleh suatu makna dan nilai yang berbeda atau bahkan bertolak belakang jika dilakukan di arena yang berbeda, di konfigurasi yang berbeda, atau di sektor yang saling bertolak belakang di  arena yang sama.
Bourdieu melihat kebudayaan sebagai semacam ekonomi, atau pasar. Di dalam pasar ini orang lebih memanfaatkan modal budaya ketimbang ekonomi. Modal budaya ini sebagian besar diperoleh dari latar belakang daerah asal dan pendidikannya. Di pasar inilah orang yang memiliki modal menggunakannya sehingga mampu meningkatkan posisi atau malah mengalami kerugian, yang pada gilirannya menyebabkan merosotnya posisi dirinya di dalam ekonomi.
Bourdieu (1998a: 9) berusaha keras menjelaskan bahwa ia tidak sekedar berargumen. Namun, ia menjelaskan bahwa tujuan utamanya adalah: “bahwa hadir dalam ruang sosial, menduduki suatu posisi atau menjadi individu dalam suatu ruangan sosial, berarti membedakan, menjadi berbeda…..ditempatkan di suatu ruangan tertentu, seseorang…dibekali dengan kategori persepsi, dengan skema klasifikasi, dengan selera tertentu, yang memungkinkannya menciptaan perbedaan, membedakan, dan memilah-milah” (Bourdieu, 1998a: 9)
Pemahaman tentang proses reproduksi budaya yang menyangkut bagaimana “kebudayaan asal” direpresentasikan dalam lingkungan baru, namun hal ini masih sangat terbatas. Penelitian kesukubangsaan umumnya menitik beratkan kebudayaan sebagai “pedoman” dalam adaptasi dan kelangsungan hidup (Barth, 1988) sehingga lebih melihat aspek produktif dari sebuah kebudayaan. Sementara itu, aspek reproduktif yang menjadi kecenderungan baru di dalam menjelaskan perubahan-perubahan kontemporer (Appandurai, 1994; Hannerz, 1996; Olwig & Hastrup, 1997; Strathern, 1995), masih kurang diperhatikan. Dalam konteks Indonesia, diskusi yang mengarah pada proses pemaknaan kembali kultur daerah asal ini masih bersifat baru, khususnya dalam memberikan pemahaman baru tentang konteks sosial budaya yang berubah-ubah.
Perubahan ruang sosial telah menyebabkan perubahan pada kebudayaan. Mobilitas yang terjadi telah mempengaruhi identitas kelompok melalui penggunaan simbol-simbol baru. Kecenderungan ini didorong juga oleh media massa yang kemudian menyebabkan kebudayaan bersifat rerpoduktif.

C.   Proses Reproduksi Budaya
Reproduksi kebudayaan adalah proses penegasan identitas kebudayaan yang dilakukan oleh pendatang, yang dalam hal ini menegaskan kebudayaan asalnya. Sedangkan proses reproduksi budaya merupakan proses aktif yang menegaskan keberadaannya dalam kehidupan sosial sehingga mengharuskan adanya adaptasi bagi kelompok yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda.
Reproduksi kebudayaan dilatarbelakangi oleh perubahan wilayah tempat tinggal, latar belakang sosial, latar belakang kebudayaan, yang pada akhirnya akan memberikan warna bagi identitas kelompok dan identitas kesukubangsaan (Abdullah, 2001; Anderson, 1991; Barth, 1998). Perubahan tersebut sejalan dengan mobilitas yang dilakukan manusia yang kini kian mencolok sejak abad ke 20.
Mobilitas sosial membuat lingkungan sosial budaya setiap orang berubah-ubah sehingga setiap orang sering kali dihadapkan pada nilai-nilai baru yang mengharuskan setiap orang menyesuaikan diri secara terus menerus. Dengan demikian terdapat dua kemungkinan yang akan terjadi. Pertama, terjadi adaptasi cultural para pendatang dengan kebudayaan tempat ia bermukim, yang menyangkut adapatasi nilai dan praktik kehidupan secara umum. Kebuadayaan lokal menjadi kekuatan baru yang memperkenalkan nilai-nilai kepada pendatang, meskipun tak sepenuhnya memiliki daya paksa. Namun, proses reproduksi kebudayaan local, menjadi pusat orientasi nilai suatu masyarakat dan mempengaruhi mode ekspresi diri setiap orang. Kedua, proses pembentukan identitas individual yang dapat mengacu kepada nilai-nilai kebudayaan asalnya. Bahkan mampu ikut memproduksi kebudayaan asalnya di tempat yang baru. Sehingga dalam hal ini kebudayaan disebut sebagai imagined values yang berfungsi dalam fikiran setiap orang sebagi pendukung dan yang mempertahankan kebudayaan itu meskipun seseorang berada diluar lingkungan kebudayaannya.
Kini di era globalisasi pengaruih media dalam mendistribusikan kebudayaan global yang secara langsung dapat mempengaruhi gaya hidup. Iklan sebagai salah satu media yang  turut bekontribusi dalam mendiostribusikan kebudayaan global telah mampu membentuk pasar baru dan mendidik pemuda untuk menjadi konsumen. Kehidupan sehari-hari yang menjadi basis pembentukan imagine telah didikte oleh pasar dan institusi terkait. Hal tersebut dapat terlihat jelas pada masyarakat kota, dimana ruang-ruang konsumsi telah terbentuk akibat dari ekspansi pasar yang di dukung oleh revolusi teknologi elektronik dan revolusi teknologi komunikasi.
Tentu saja hal tersebut menciptakan kelas-kelas tertentu dimana setiap kelas mempunyai habitus yang berbeda-beda dalam hal ini adalah selera. Dimana simbol-simbol baru pada tiap kelas mempengaruhi pembentukan identitas. Pada titik ini ketika setiap lingkungan sosial budaya tiap kelas berubah maka akan terjadi penyesuaian dan adaptasi. Sehingga dapat dikatakan bahwa ketika konteks sosial berubah maka makna sosial dan individual suatu kebudayaan juga berubah. Karena konteks sosial memberikan makna pada tindakan-tindakan individual.
Faktor Pendorong Terjadinya Reproduksi Budaya
1.      Intern
§  Bertambah atau berkurangnya penduduk
Masyarakat kota dan masyarakat desa pada dasarnya memiliki budaya yang berbeda. Dalam kaitannya dengan pertambahan dan berkurangnnya penduduk, masyarakat desa melakukan urbanisasi ke kota yang notabene memiliki budaya yang lebih beragam. Salah satu sebab urbanisasi (Soerjono Soekanto, 1982) adalah pull factor atau faktor kota yang menarik penduduk desa untuk pindah dan menetap di kota-kota. Faktor tersebut antara lain adalah kota dianggap mempunyai tingkat kebudayaan yang lebih tinggi dan merupakan tempat pergaulan dengan segala macam orang dan dari segala macam lapisan, faktor dari kebudayaan ini juga disertai dengan faktor  lain seperti anggapan bahwa di kota lebih mudah untuk mencari uang karena banyaknya pekerjaan, kemudahan untuk berniaga dan mendirikan tempat usaha, pendidikan yang lebih maju, serta tempat yang bagus untuk pengembangan  jiwa yang seluas-luasnya.
Proses reproduksi kebudayaan terjadi ketika masyarakat desa yang bekerja di kota kembali lagi ke desa yang dari hal ini, baik sadar maupun tidak akan turut serta membawa budaya yang ada di kota yang ia dapatkan dari proses adaptasinya dengan kebudayaan yang ada di kota. Hal ini akan menimbulkan suatu keanehan bagi masyarakat desa, namun ada kecenderungan untuk menjadi suatu kekaguman yang akan menciptakan suatu bentuk kebudayaan baru dengan kelompok yang baru dalam masyarakat desa yang mayoritas cenderung homogen dari sifat kebudayaannya.
Perpindahan penduduk dari daerah satu ke daerah lainnya dapat mengakibatkan terjadinya reproduksi budaya. Dengan adanya perbedaan budaya dari daerah asal dan derah tujuan maka dapat mengakibatkan 2 pilihan. Pertama, kebudayaan lokal dapat tetap dipertahan oleh setiap individu yang merupakan bagian terintegrasi dari kebudayaan lokal tersebut walaupun berada di linkungan yang berbeda. Bahkan dalam konteks ini seseorang dapat saja ikut memproduksi kebudayaan asalnya di tempat yang baru (Foster, 1973). Kedua, kebudayaan lokal mengalami tranformasi yang disebabkan karena proses adaptasi dengan kebudayaan lain, adaptasi ini menyangkut nilai serta praktik-praktik kehidupan, dalam hal ini keberagaman kebudayaan akan terlihat sebagai suatu kekayaan dan bukan sebagai suatu ancaman bagi kebudayaan lain karena dalam contoh nyata seperti di lingkungan transmigrasi, adanya adaptasi kebudayaan dari masyarakat pendatang menjadi penambah keberagaman dalam hal pengenalan nilai-nilai baru kepada masyarakat lokal.
§  Penemuan baru
Jalannya unsur kebudayaan baru yang tersebar ke lain bagian masyarakat, dan cara-cara unsur kebudayaan tadi diterima, dipelajari, dan akhirnya dipakai dalam masyarakat yang bersangkutan. Penemuan-penemuan baru sebagai salah satu sebab terjadinya reproduksi budaya dapat melalui dua cara, yaitu melalui discovery dan invention (Soerjono Soekanto, 1982). Discovery adalah penemuan unsur kebudayaan yang baru, baik berupa alat, ataupun yang berupa gagasan yang diciptakan oleh seorang individu atau serangkaian ciptaan para individu. Discovery baru menjadi invention kalau masyarakat sudah mengakui, menerima, serta menerapkan penemuan baru itu (Koentjaraningrat, 1965).
Di dalam setiap masyarakat tentu ada individu yang sadar akan adanya kekurangan dalam kebudayaan masyarakatnya. Di antara orang-orang tersebut banyak yang menerima kekurangan-kekurangan tersebut sebagai sesuatu hal yang harus diterima saja. Orang lain mungkin tidak puas dengan keadaan, tetapi tidak mampu memperbaiki keadaan tersebut. Mereka inilah yang kemudian menjadi pencipta-pencipta baru tersebut.
Keinginan akan kualitas juga merupakan pendorong bagi terciptanya penemuan-penemuan baru. Keinginan mempertinggi kualitas suatu karya merupakan pendorong untuk meneliti kemungkinan-kemungkinan ciptaan baru. Penemuan baru dalam kebudayaan rohaniah dapat pula menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan.
§  Konflik
Pertentangan (conflict) masyarakat bisa menjadi penyebab perubahan pada tataran sosial maupun kebudayaan. Pertentangan mungkin terjadi antara individu dengan kelompok atau perantara kelompok dengan kelompok. Lewis Coser salah satu tokoh sosiologi kontemporer, menekankan pada konsekuensi-konsekuensi terjadinya konflik pada sebuah sistem sosial secara keseluruhan. Teorinya menunjukkan kekeliruan jika memandang konflik sebagai hal yang selalu merusak sistem sosial, karena konflik juga dapat memberikan keuntungan pada masyarakat luas di mana konflik tersebut terjadi. Konflik justru dapat membuka peluang integrasi antar kelompok.
Adanya konflik dapat mengakibatkan adanya reproduksi budaya, hal ini dapat dicontohkan dengan gerakan-gerakan masyarakat yang menentang suatu kebijakan sehingga dapat membuat suatu budaya yang baru. Misalnya saat adanya pergolakan masyarakat pada pemerintah Indonesia semasa orde baru yang diakhiri dengan lengsernya Presiden Soeharto yang setelahnya tercipta reformasi pemerintahan dan secara tidak langsung membentuk suatu kebudayaan baru, yakni budaya kebebasan dalam berbagai bidang seperti berorganisasi serta mengungkapkan pendapat melalui lisan maupun media massa. Hal ini senada dengan apa yang disampaikan dalam teori Lewis Coser bahwa adannya konlik tidak selalu merusak sistem sosial, karena konflik juga dapat memberikan keuntungan pada masyarakat luas di mana konflik tersebut terjadi. Konflik justru dapat membuka peluang integrasi antar kelompok. Konflik masyarakat, dan jika dikaitkan dengan kebudayaan maka perubahan pada struktur sosial yang membawa perubahan pada kelompok sosial juga akan membawa perubahan pada kebudayaan.
Ekstern
§  Media Massa
Media massa merupakan salah satu agen sosialisasi masyarakat dan merupakan saluran yang berpengaruh dalam distribusi kebudayaan global yang secara langsung mempengaruhi gaya hidup. Sifat-sifat lokal mulai mengabur dan digantikan dengan warnaa-warni pemandangan pusat-pusat perbelanjaan yang serba canggih dan modern dan juga skema penyeragaman masyarakat dunia lewat produk-produk kapitalis bertaraf trans nasional seperti Pepsi, Coca-Cola, KFC, Pizza Hut, Mc Donald serta gemerlap serta hingar-bingarnya pub, cafe, diskotik, dan restoran. Cepatnya arus mobilitas masyarakat yang terjadi telah mempengaruhi identitas kelompok melalui pergeseran pemahaman nilai serta penggunaan simbol-simbol baru. Kecenderungan ini dipengaruhi oleh media massa yang tumbuh kemudian menyebabkan kebudayaan bersifat reproduktif.
Kehidupan sehari-hari yang menjadi basis di dalam pembentukan kesan/imagetelah didekte oleh pasar dan instutusi terkait (seperti iklan). Iklan cenderung membentuk pasar atau trend baru sehingga mendidik masyarakat untuk menjadi konsumen, hal ini akan lebih terlihat pada pesona iklan yang sangat mempengaruhi anak muda, khususnya wanita (lewat budaya telenovelaisme dan sinetronisme).

§  Globalisasi
Globalisasi merupakan masuknya budaya asing ke suatu negara sehingga menyebabkan batas suatu negara menjadi kabur. Segala macam hal yang berada diluar negara bisa dengan sekejap mata disatukan dengan globalisasi. Globalisasi bagaikan 2 sisi mata uang, di sisi lain menyebabkan sifat-sifat lokal mengabur di sisi lain negara lain dapat mengikuti perkembangan zaman sehingga tidak ketinggalan.
Integrasi ekonomi ke tatanan ekonomi global telah terbukti juga merupakan integrasi sosial budaya ke dalam suatu tatanan dunia, yang kehadirannya dapat dilihat di kalangan penduduk kota. Revolusi teknologi elektronik dan teknologi komunikasi/ transportasi telah menjadi jembatan yang menghubungkan berbagai tempat dengan berbagai belahan dunia lain. Hal yang mencolok terjadi dalam kecenderungan ini adalah tumbuhnya budaya konsumen/ konsumerisme (consumer culture) di kota-kota (Featherstone, 1991) yang merupakan bagian dari ekspansi pasar (Evers, 1991). Dalam proses ini konsumsi merupakan faktor penting di dalam mengubah tatanan nilai dan subjektivitas mengalami transformasi, baik menyangkut masalah integrasi maupun nasionalisme (Featherstone, 1990).
Basis material yang tampak dalam proses konsumsi penduduk kota menunjukkan suatu usaha aktif penduduk dalam membangun identitas baru mereka. Konteks ruang tersebut telah mengubah kota menjadi suatu ruang konsumsi yang membentuk suatu gaya hidup kota. Ada dua proses yang menandai transformasi sosial perkotaan semacam ini, yaitu proses konsumsi simbolis dan transformasi sosial.
Proses konsumsi simbolis merupaka tanda penting dari pembentukan gaya hidupnilai-nilai simbolis dari suatu produk dan praktik telah mendapat penekanan yang besar dibandingkan dengan nilai kegunaan dan fungsional. Hal ini paling tidak dapat dijelaskan dengan tiga cara. Pertama, masing-masing kelas sosial telah membedakan proses konsumsi dimana setiap kelas menunjukkan proses identifikasi yang bebeda. Nilai simbolis dalam konsumsi tampak diinterpretasikan secara berbeda oleh kelompok yang berbeda. Pasar dalam masyarakat seperti ini lebih berfungsi sebagai pembatas dan penegas batas-batas kelompok. Kedua, barang/produk yang dipakai kemudian menjadi wakil dari kehadiran. Hal ini berhubungan dengan aspek-aspek psikologis di mana konsumsi suatu produk berkaitan dengan perasaan atau rasa percaya diri yang menunjukkan bahwa itu bukan hanya sekedar pelengkap/assesoris, tetapi produk tersebut merupakan isi dari kehadiran seseorang karena dengan cara itu ia berkomunikasi (Goffman, 1951). Hal ini menunjukkan bahwa proses konsumsi itu juga bersifat fungsional karena melayani atau disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing kelompok. Ketiga, berdasarkan proses konsumsi tersebut dapat dilihat bahwa citra/image di satu pihak telah turut juga menjadi bagian dari proses konsumsi yang penting dimana citra yang dipancarkan oleh suatu produk dan praktik (seperti makanan atau pakaian) merupakan alat ekspresi diri bagi kelompok. Bagi kelas menengah, citra yang melekat pada suatu produk secara keseluruhan merupakan instrumen modernitas yang mampu menegaskan keberadaan dan identitasnya. Rumah, misalnya, dikonsumsi karena gaya arsitekturnya yang khas dan berkelas, dengan sifat yang modern atau karena keunikannya yang menegaskan keberadaan pemiliknya dengan orang lain.
Perubahan konteks sosial semacam ini di Indonesia tidak terlepas dari sejumlah kebijakan yang berkaitan dengan deregulasi ekonomi yang dikeluarkan oleh pemerintah sejak 1980-an. Telah dijelaskan bahwa Indonesia tidak dapat mengisolasikan dirinya dengan kecenderungan arus global yang semakin kuat. Dalam proses ini, integrasi Indonesia kedalam pasar internasional tidak dapat ditolak. Indonesia dianggap sebagai salah satu pasar yang potensial bagi produk global. Perbaikan telekomunikasi dan transportasi, sebagai salah satu faktor terpenting, telah memungkinkan mengalirnya barang-barang global yang dengan mudah diperoleh di berbagai tempat yang pada giirannya mengubah mode konsumsi berbagai suku bangsa. Namun demikian, globalisasi juga harus dilihat sebagai tekanan terhadap kehidupan sosial secara umum karena hal itu merupakan faktor mendasar dalam transformasi masyarakat.
Dari sini kita dapat menjelaskan bahwa globalisasi bukan merupakan proses satu arah karena adannya kecenderungan untuk terjadi dialog dengan sifat-sifat lokal yang menentukan penerimaan atau penolakan unsur-unsur dan barang baru dalam berbagai bentuk. Penduduk kota mulai membutuhkan produk global sebagai instrumen untuk mengartikulasikan kelas dan identitas kelompok untuk membedakan dirinya dengan orang lain. Hal ini terutama sejalan dengan tumbuhnya kelas menengah yang begitu pesat sejak tahun 1980-an di Indonesia (Kuntowijoyo, 1991), yang merupakan kelompok yang paling berpengaruh dalam reproduksi gaya hidup. Label “produk luar negeri” merupakan semacam fasilitas bagi ekspresi diri kelas menengah kota.


Daftar Pustaka:
Bourdieu. Piere. 1993. Arena Produksi Kultural; Sebuah Kajian Sosiologi Budaya. Bantul: Kreasi Wacana.

------------1984. Distinction; A. Social Critique of the Judgemen of Taste. Cambridge MA: Harvard University Pres
                        



[1] Muhammad Arsat (P1900215005). Makalah sebagai Tugas Matakuliah Paradigma Antropologi Pasca Sarjana Antroplogi UNHAS Makassar tahun 2015

[3] Mengenai keragaman praktik kultural yang dianalisis, Bourdieu mirip Rolan Bartes di dalam Mythologies.   
[4] Untuk kajian tentang karya Bourdieu, lihat Rogers Brubaker, Rethinking Clasificak Theory: The Sociologikal Vision of Piere Bourdieu’, Theory and Society 14 (1985), hlm. 723-744; Paul DiMaggio, Review Essay: On Piere Bourdieu’, American Journal of Sociology 84:6 (Mei 1979), hlm. 1460-1474; Nicholas Garnham dan Raymond Williams, Piere Bourdieu and the Sociology of Culture: An Introduction’, di dalam Media, Culture and Society: A Critical Reader (London, Beverly Hills: Sage, 1986), hlm. 116-130; Axel Honnet, The Fragmented World of Simbolic Forms: Reflection on Piere Bourdieu Sociology of Culture’, Theory and Society 3:3 (1986), hlm. 55-66; dan Pekka Sulkunen, ‘Society Made Visible-On the Cultural Sociology of Piere Bourdieu’, Acta Sociologica 25:2 (1982), hlm. 103-115.                
[5] Lihat pendahuluan The Logic of Practice (hlm.1-21) untuk pemahaman tentang pengaruh intelektual awal Bourdieu, studi-studi etnografisnya dan perceraiannya dengan strukturalisme. Untuk sampai ke titik ini, salah satu dianatara sekian banyak cara yang dia tempuh adalah dengan melalui fenomenologi dan berbagai bentuk pendekatan objektifistik terhadap masyarakat, mulai dari marxisme hingga strukturalisme, yang menyingkapkan pada kita karya dari seluruh generasi intelektual Prancis seperti Roland Barthes, Michel Foucault dan Jacqus Derida.
       
[6] Distinction, hlm. 483.
[7] " Outline of a Theo°, of Practice, him. 73.

[9] The Genesis of the Concepts of Habitus and Field', hlm. 12-14.
[10] The Logic of  Prather, him. 53; Oaths, of a Theory of  Practice, him. 72.
[11] " The Logic of Practice, him. 54.

[12] Esai-esai Bourdieu, Language and Symbolic Power (Cambridge: Polity, 1991) memuat analisis yang ketat tentang berbagai penggunaan modal bahasa di dalam berbagai bentuk pasar lingistik.

1 Response to "REPRODUKSI; UPAYA MEMAHAMI DUNIA SOSIAL"