Kita lebih
suka hancur dari pada berubah, Kita lebih suka mati ketakutan dari pada
menanggung derita saat ini dan membiarkan ilusi kita mati (W.H. Auden)
1. Riwayat
hidup dan Karya-karyanya (1844-1900)
Friedrich
Wilhelm Nietzsche Lahir 15 Oktober Tahun 1844 di Roecken di
wilayah Sachsen dari sebuah keluarga Protestan Lutheran yang sangat saleh.
Ayahnya seorang Pastor Lutheran dan berharap kelak menjadi seorang Pastor. Pada tahun 1854, Nietzsche masuk Gimnasium di
kota Naumburg namun empat tahun kemudian ibunya memintanya belajar di sekolah
asrama Lutheran yang sangat termasyhur di kota Pforta. Di sana dia membaca karya para sastrawan dan
pemikir besar, seperti: Schiller, Holderlin, dan Byron, meminati Plato dan Aeschylus karena kagum pada
kejeniusan kebudayaan Yunani kuno. Pada
tahun 1864, dia studi di Universitas Bonn tetapi setahun kemudian (tahun 1865)
dia belajar filologi di kota Leipzig di bawah bimbingan Profesor Ritschl---di
kota ini secara kebetulan di tukang loak dia menemukan buku Schopenhauer, Die Welt Als Wille Und Vorstellung. Studinya terputus tahun 1867 karena ikut
wajib militer namun karena terjatuh dari kudanya dan terluka dia kembali ke
Leipzig dan belajar. Pada masa ini dia berkenalan dengan musisi Richard Wagner
seorang komponis Jerman termasyhur yang kemudian menjadi sahabatnya. Persahabatan itu memengaruhi tulisannya periode
pertama riwayat intelektualnya, Die
Geburt Der Tragodie Aus dem Geister Der Musik (asal usul dari tragedi
semangat musik).
Dalam
periode pertamanya Nietzsche sangat mengagungkan kebudayaan Yunani kuno sebelum Sokrates, yakni periode sekitar
abad ke-6 SM. Periode awal kebudayaan Yunani
menurutnya zaman para genius Yunani sebagai “Republik para genius” yang memuncul
orang-orang hebat, seperti; Tales, Anaximandros, Heracleitos, Parmenides,
Empedokles, Demokritos. Mereka para
filsuf sejati, bukan hanya karena mereka pencari-pencari sejati, melainkan karena mereka tidak terperangkap dalam
kepercayaan transendental akan dewa-dewa, mereka berpikir merdeka dan kreatif, melihat dunia apa adanya, tanpa menoleh ke
dunia-sana.
Sekitar
tahun 1869, Ritschl memintanya menjadi dosen di Universitas Basel--- usianya
baru 24 tahun dan belum meraih gelar
doktor. Antara tahun 1873-1876, dia menerbitkan empat buah esai dengan satu
judul umum Unzeit Gemaesse Betractungen
(kontempalisi-kontemplasi tak aktual). Pada tahun 1876, terbit esai keempatnya
yang berjudul Richard Wagner In Bayreuth.
Patah arang dengan Wagner menandai
tahap kedua riwayat intelektual Nietzsche dan menjadi kurang meminati seni
kemudian meminati filsafat dan ilmu dan lebih menyukai Sokrates daripada para
filsuf pra-Sokrates. Periode kedua ini sering di sebut “periode positifistis”,
dan karyanya yang menandai periode ini adalah Menschliches, Allzumenschliches (manusiawi, terlalu manusiawi).
(1878-1879).
Periode
ketiga, suatu periode ketika Nietzsche menemukan kemandiriannya dalam
berfilsafat. Selama periode terakhir ini kesehatannya memburuk dan menjadi
sakit-sakitan dan merasa semakin kesepian---dia butuh teman yang bisa diajak
omong secara sejajar, tetapi banyak orang tak membantu pikiran-pikirannya.
Selama periode ini, dia berpindah-pindah dari Jerman, ke Itali, ke Swiss, dan
mengahasilkan karya-karya pokoknya seperti Also
Sprach Zarathustra (Demikianlah Sabda Zarathustra), Der Antichrist (Anti Kristus), Ecce
Homo (Itulah Manusia), dll. Ketegangan
mental yang hebat dan semangat yang mengebu-gebu dibulan januari 1889, Nietzsche menjadi gila. Pada masa
kegialaanya, karya-karyanya menjadi termasyhur, saudarinya, Elisabeth, dengan
setia merawatnya sampai dia meninggal dunia di Weimar tanggal 25 Agustus 1900
karena Pneumonia. Dalam bukunya Ecce Homo, Nietzsche menulis suatu
ramalan tentang dirinya sendiri: “Aku tahu nasibku. Suatu hari nanti namaku
akan mengingatkan sesuatu yang dahsyat-suatu krisis yang tak terperikan di
bumi, tabrakan hati nurani yang paling mendalam, suatu keputusan yang diambil melawan
segala sesuatu yang telah dipercayai, dituntut, dimulaikan selama ini. Aku
bukanlah seorang manusia, aku adalah dinamit.” Pengaruh Nietzsche dalam
berbagai bidang pengetahuan, seperti sastra, teologi, psikologi, sosiologi, dan
sebagainya. Di dalam filsafat barat abat kita, pengaruhnya sangat kental dalam
pemikiran Heidiger, Rischard Rorty, Jacques Derida. Pemikiran Nietzsche memegang peranan penting
dan dianggap sebagai seorang filsuf yang mengiring filsafat modern sampai pada
batas-batasnya, sehingga para filsuf sekarang tidak hanya bicara tentang
“kematian Tuhan”, tetapi juga “kematian manusia” dan “the end of philosophy”
2.
Berfilsafat
dengan Aforisme-aforisme
Hampir
semua karya Nietzsche tidak dituangkan dalam sebuah uraian sitematis, seperti sebagian
besar filsuf modern terkhusus Kant dan Hegel. Pikiran-pikirannya tertuang dalam
bentuk aforisme-aforisme sehingga Nietzsche sebagai filsuf yang paling sukar
dipahami sepanjang sejarah fisafat modern. Tulisan-tulisannya bukan hanya tidak
membentuk sistem melainkan juga mengandung pertentangan satu sama lain. Pemakaian aforisme terkait penolakan Nietzsche
terhadap sistem. Alasannya sebuah sistem berpikir harus didasarkan pada
premis-premis, namun dalam rangka sistem itu, premis-premis tersebut tak bisa
di persoalkan lagi. Dengan begitu asumsi-asumsi filosofis sang filsuf
diandaikan begitu saja seolah-olah benar pada dirinya. Cara berfilsafat macam
ini, menurutnya bukan hanya memperlihatkan sang filsuf tidak serius atau
bermain-main dengan filsafatnya---Nietzsche menyebutnya
kenak-kanakan---melainkan juga menunjukan kemerosotan moralnya.
3.
Mentalitas
Dionysian dan Mentalitas Apollonian
Nietzsche
banyak menerima inspirasi dari Schopenhauer. Artinya, dia menganut pandangan
bahwa hidup ini tragis, berbahaya, dan mengerikan, dan keadaan ini harus di atasi
dengan kreasi estetis. Perbedaannya, sementara Schopenhauer menolak kehidupan
atau melarikan diri darinya, sikap Nietzsche sejak awal sudah tegas, yaitu
menerima kehidupan ini. Nietzsche termasyhur
sebagai seorang filsuf “Ja-sagen’ (menyatakan ‘ya’ terhadap
kehidupan ini). Dalam Die Geburt Der Tragodie, Nietzsche
menjelaskan bahwa orang-orang Yunani
kuno sudah memahami, bahwa hidup ini berbahaya, mengerikan, sulit, dan tak
terperikan. Meski demikian, mereka tidak
menyerah atau lari dari kehidupan ini. Mereka
berkata ”ya” terhadap kehidupan ini, dan ini kelihatan dalam estetika mereka.
Menurut Nietzsche, dari estetika Yunani kuno dapat dibedakan adanya dua macam
mentalitas. Pertama disebutnya, “Mentalitas
Dionysian” sedang lawannya “Mentalitas
Apollonian”.
Dionysos
adalah dewa anggur dan kemabukan. Buat Nietzsche, dia menjadi lambang pengakuan
terhadap kehidupan sekarang dan di sini (Diesseitikeit)
yang selalu mengalir. Dia adalah simbol pendobrakan dari segala batas-batas
dan kekangan-kekangan. Dalam ritus misteri yang memuja dewa ini, para pemujanya
mabuk, tetapi kemabukan itu justru menyatukan mereka dengan kehidupan, dengan
“ketunggalan primordial” yang bersifat estetis. Dalam ekstasis itu, individuasi dan
perbedaan-perbedaan menjadi kabur, laki-laki dan perempuan lebur dalam
“ketunggalan primordial”. Mentalitas Dionysian adalah mentalitas kebudayaan
Yunani yang melampaui segala aturan atau
norma, mentalitas yang bebas mengikuti dorongan-dorongan hidup tanpa kenal
batas. Sikap Dionysian adalah” Mengiyakan ”hidup ini apa adanya, suatu
Ja-sagen (=berkata-ya), sikap penuh vitalitas dan gairah untuk tidak menolak
apapun yang di berikan hidup ini, entah itu menyenangkan atau menyakitkan. Ini menuntut keberanian untuk hidup tanpa
menoleh pada dunia seberang. Sementara
itu, Apollo adalah dewa matahari dan ilmu kedokteran, putra Jupiter. Buat
Nitzsche, dia menjadi lambang pencerahan, lambang keugaharian, dan pengendalian
diri. Dia juga melukiskan asas
individuasi. Mentalitas Apollonian adalah mentalitas kebudayaan Yunani kuno
yang cenderung pada keseimbangan, tertib, cinta pada bentuk-bentuk, dan
pengendalian diri. Mentalitas ini
terlukis dalam tata cara yang berlaku di antara dewa-dewi olimpus, dalam
arsitektur dan arca-arca. Dalam
kebudayaan Yunani, mentalitas Apollonian berfungsi mengendalikan mentalitas
Dionysian.
4.
Kritik atas Moralitas
Nietzsche,
berfilsafat dengan aforisme-aforisme disamping dengan perumpamaan-perumpamaan
atau cerita-cerita. Distingsi yang terus
di peratahankan para filsuf sebelumnya antara mitos dan logos, antara cerita
dan sejarah sungguhan, dikaburkan olehnya.
Dia juga tidak berpusing-pusing dengan konsistensi ceritanya, dan tak
sabar dengan detail. Meski demikian, target
filsafatnya tetap tegas; membuka kedok
dari segala yang diagungkan dalam Kebudayaan Barat sebagai suatu dekadensi. Berfilsafat macam itu ditemukan dalam kritik-kritiknya
atas moralitas Kebudayaan Barat (Kristen) yang diperkenalkan sebagai ”Genealogi moral” atau silsilah moral. Dalam Jenseits vom Guten und Boesen (Melampaui Baik dan Buruk). Apa yang terang benderang, yaitu moralitas, harus
di anggap sebagai semacam hiroglif atau tanda-tanda yang menyembunyikan sebuah
rahasia kegelapan. Rahasia ini bisa
dibuka dengan penafsiran yang disebutnya sebagai “genealogi”itu. Genealogi adalah penyingkapan kedok nafsu-nafsu,
kebutuhan-kebutuhan, ketakutan-ketakutan dan harapan-harapan yang terungkap
dalam sebuah pandangan tertentu mengenai dunia. Jadi moralitas ditangani Nietzsche sebagai semacam bahasa isyarat dan
emosi-emosi. Kedok atau bahasa isyarat itu adalah rasionalitas, objektifitas,
atau universalitas pandangan tertentu, padahal menurut Nietzsche semua itu
hanya membunyikan sudut pandang terbatas dari penganutannya.
Dalam
Jenseits
vom Guten und Boesen, Nietzsche menghadirkan dua macam moralitas manusia; Moralitas Tuan (Herrenmoral) dan Moralitas Budak (Herdenmoral).
Pertama, bagi para tuan, moralitas adalah ungkapan hormat dan penghargaan
terhadap diri mereka sendiri. Mereka
sungguh yakin, bahwa segala tindakannya adalah baik. Meski demikian, mereka tidak mengkelaim, bahwa
moralitasnya universal. Moralitas tuan itu tidak menunjukkan bagaimana
seharusnya orang bertindak, melainkan baagaimana tuan itu nyatanya bertindak. Jadi, dari tindakan-tindakanya sendiri lahir
nilai-nilai autentik. Baik dan buruk
sama nilainya dengan”ningrat” dan ”rendah”, dan soal baik dan buruk itu bukan
ditunjukan pada tindakan, melainkan pada pribadi yang melakukannya.
Kedua,
berbeda dari manusia tuan, para budak tidak pernah bertindak dari diri mereka
sendiri, sebab tergantung pada perintah tuannya. Bertindak sendiri justru akan
menyangkal kodratnya. Yang dianggap baik
bukanlah kedaulatan diri, kekuasaan dan keningratan, melainkan simpati, kelemahlembutan, kerendahan hati dalam
hubungannya dengan kasta rendah mereka. Karena
itu kaum budak memandang para individu yang independen, unggul, kuat dan
jenius, sebagai orang yang berbahaya dan jahat untuk kelompoknya. Di sini sebenarnya, moralitas budak
membalikkan moralitas tuan. Apa saja yang dinilai baik oleh tuannya dinilai
buruk olah budak. Moralitas budak ini bersifat reaktif, yakni: bersumber dari
ketakutan pada tuannnya, melainkan dalam dunia fiktif nilai-nilai dengan
menilainnya sebagai ‘jahat’ (boese).
5.
Kehendak-untuk-Berkuasa,
Manusia–Atas dan Kembalinya Yang Sama Secara Abadi
a.
Kehendak-untuk-Berkuasa
Dalam
Der Wille zur Macht (“Kehendak-untuk-Berkuasa”), Nietzsche memberi sebuah
pernyataan ”dunia ini adalah Kehendak-untuk-Berkuasa, dan tak lebih dari itu!”
Sebagai kenyataan primordial yang mendasari segala proses dunia ini adalah
Kehendak-untuk-Berkuasa. Tidak ada distingsi antara dunia fenomenal dan
numenal, seperti yang di yakini Schopenhauer. Daya primordial itu bukan sebuah
daya tunggal, melainkan energi-energi vital yang sangat heterogen, mencakup
suasana psikis, metabolisme fisiologis, pertukaran zat, gerak fisis, dan
seluruh proses menjadi dari kosmos ini. Untuk
mendekatkan pengertian itu pada kenyataan manusiawi, kita bisa memperhatikan
penampilan daya primordial itu pada “pengetahuan”. Menurut Nietzsche,
pengetahuan bekerja sebagai instrument kekuasaan. Ini berarti, bahwa kehendak untuk mengetahui
sesuatu tergantung pada kehendak untuk menguasai. Jadi tujuan pengetahuan bukan
untuk menangkap kebenaran absolute pada dirinya, melainkan menundukan sesuatu.
Dengan pengetahuan kita menciptakan tatanan, merumuskan konsep-konsep, memasang
skema-skema pada kenyataan yang sebenarnya senantiasa berubah-ubah. Pengetahuan
mengubah Werden (menjadi) yang
dinamis menjadi Sein (ada) yang
statis, dan usaha ini tidak kurang dari penaklukan. Karena itu tidak
mengherankan kalau pengetahuan tumbuh bersama dengan kekuasaan. Kita mungkin
menyangkal dengan pendapat, pengetahuan adalah sebuah interpretasi objektif
yang bersih dari keinginan-keinginan subjek kita. Namun Nietzsche akan menunjukkan,
bahwa setiap interpretasi terkait dengan kebutuhan kita, termasuk kebutuhan
akan objektifitas. Oleh sebab itu, Nietzsche tidak meyakini adanya kebenaran
absolut. Kebenaran macam itu hanya fiksi yang kita buat. Karena interpretasi
terkait dengan kebutuhan terbatas, interpretasi bersudut pandang. Karena itu
juga, kebenaran tentunya bersifat perspektifitival, tergantung pespektif
penafsir. Dan pada analisis terakhir,
perspektif ini adalah Kehendak-untuk-Berkuasa. Inilah yang kemudaian dikenal
sebagai Perspektivisme Nietzsche.
b.
Ajaran
tentang Ubermensch
Salah
satau pokok gagasan Nietzsche yang penting dalam periode ketiganya adalah
pandangannya mengenai Ubermensch. Kata ini bisa diterjemahkan ke dalam bahasa
inggris menjadi Superman, tetapi Walter Kaufmann, menerjemahkan menjadi Overman. Terjemahan itu lebih dekat
dengan maksud Nietzsche. Over sejajar
dengan Uber, yaitu ‘di atas’, dengan
pengertian yang diberikan dalam Also
Sprach Zarathustra. Dalam buku ini, Nietzsche bercerita tentang
Zarathustra---seorang tokoh pembaru agama Zoroastrianisme. Dengan cerita itu
Nietzsche berfilsafat. Melalui mulut
tokoh ini, Nietzsche mengucapkan isi pandangannya yang termasshur: “Ich lehre euch den Ubermenchen. Der Mensch
ist etwas, das uberwunden warden soll”. (Aku mengajarkan kepada kalian
mengenai Manusia-manusia atas. Manusia adalah sesuatu yang seharusnya
dilampaui). Kata “dilampaui” disini dimengerti seperti seperti kalau kita
memahami, bahwa kera telah ‘dilampaui’ oleh manusia.
Manusia
bukanlah orang Barbar atau liar tak tahu aturan. Dia bukan seorang immoral,
melainkan menciptakan nilai-nilainya sendiri (bandingkan dengan moralitas
tuan). Karena itu, manusia-atas harus di
dahului dengan kemampuan mengadakan transvaluasi nilai-nilainya, manusia-atas
tidak sekedar memiliki daya-daya mental yang lebih tinggi daripada manusia,
melainkan juga memiliki kekuatan fisik, sangat berbudi bahasa, terampil,
sanggup memeriksa diri, hormat kepada diri sendiri, toleran bukan karena
dirinya durchschnittlich, melainkan karena tahu bagaimana memanfaatkan
toleransi itu bagi dirinya. Akhirnya
manusia-atas inilah yang dibayangkan Nietzsche sebagai teladan ja-sagen (berkata ya) terhadap kehidupan
ini dengan segala isinya. Dia mengakui dirinya sebagai der Wille-zur-macht dan tidak menutupinya dengan kedok. Dalam arti
ini, manusia-atas dekat dengan gambaran “Dionysos” yang dipujinya sejak awal.
c.
Kembalinya Yang
Sama Secara Abadi
Dalam Also Spracht Zarathustra, sang nabi
tidak hanya dilukiskan sebagai seorang pengajar tentang manusia-atas.
Zarathustra juga adalah guru yang mengajarkan tentang “kembalinya yang sama
secara abadi” (die ewige Widerkehr des
Gleichen). Teori kembalinya yang sama secara abadi
terkait dengan penolakan Nietzsche terhadap kenyataan transenden yang melampaui
dunia ini, misalnya ide Tuhan dalam monoteisme dunia ini senantiasa menjadi (Werden), dan tak ada suatu ada (Sein)
yang berada di luar prose situ sebagai tujuannya. Yang secara abadi kembali
adalah “yang sama” dan hal ini sekurangnya memilki dua arti. Pertama, tidak ada Tuhan pencipta, tak ada sein yang kreatif di luar dunia ini
karena itulah segalanya “kembali” secara “sama”. Ide tentang peristiwa unik tak
terulang lagi, dihadapan Nietzsche, tak kurang dari pengakuan diam-diam
terhadap ide Tuhan pencipta. Kedua, tidak ada kebakaan pribadi melampaui dunia
ini, misalnya dalam bentuk dunia akhirat (surga atau neraka). Meski demikian,
mereka abadi dalam kembalinya secara terus menerus. Segala sesuatu adalah
imanisme belaka, dan manusia-atas adalah “pengata-ya” (Ja-sagen) yang berani dengan suka cita menerima dunia ini apa
adanya, tanpa melarikan diri pada dunia transenden.
6.
Kematian
Tuhan dan Nihilisme
a.
Kematian
Tuhan
Nietzsche pemikir paling ekstrim mengajarkan dan
menghayati ateisme. Kritik atas teisme
menjadi nafas hampir seluruh karyanya dan memuncak dalam Antichrist. Pengumuman terang-terangan untuk ateismenya terbaca
dalam aforisme 125 buku Die Frohliche
Wissenschaft (pengetahuan ceria). Di situ Nietzsche melukiskan dirinya
sebagai orang gila yang bukan hanya mengumumkan ateisme melainkan meramalkan datangnya ateistis. Kegilaan di
sini adalah kehilangan Tuhan, dan orang-orang jaman itu tidak memahaminya,
sampai datang zaman kegilaan universal, yakni penemuan kesadaran bahwa manusia
telah kehilangan Tuhan. Nietzsche menyambut datangnya zaman itu sebagai zaman
kreatifitas dan kemerdekaan, sebab dengan “kematian Tuhan” terbukalah horizon
seluas-luasnya bagi segala energi kreatif untuk berkembang penuh. Tidak ada
lagi larangan atau perintah, dan kita tidak lagi menoleh ke dunia transenden. Dengan “kematian Tuhan”, manusia tidak lagi
dibatasi atau diarahkan oleh dunia transenden. Dia tidak lagi berlindung di
bawah naungan Tuhan karena sikap pengecut dan penolakannya terhadap dunia ini.
b.
Nihilisme
Keadaan
manusia tanpa Tuhan adalah kemerdekaan mutlak, meskipun demikian, dengan “kematian
Tuhan” membuat manusia kehilangan arah, sendirian, kesepian lalu sebuah lautan
luas dan kosong terbentang di hadapannya. Istilah keadaan itu disebut “Nihilisme”---
suatu keadaan tanpa makna, hilangnya kepercayaan akan nilai-nilai yang berlaku.
Hilangnya kepercayaan itu akhirnya juga meghilangkan kepercayaan manusia pada
segala nilai. Ada sekurangnya dua macam
nihilisme. Pertama; Nihilisme Pasif adalah persetujuan yang
bersifat pesimistis, bahwa nilai-nilai itu tidak ada dan hidup ini tanpa
tujuan. Mereka menganutnya sebenarnya merindukan makna dan moralitas, tetapi
tak sangggup menemukannya, atau lebih tepat, mengalami kehilangan. Nietzsche menganggap nihilisme semacam ini
sebagai resesi daya mental. Kedua; Nihilisme
Aktif sebagai sikap setuju akan
hilangnya nilai-nilai dan makna. Raibnya makna dan moralitas dialami sebagai
kemenangan dan pembebasan, maka sikap yang dianggap tepat untuk itu bukanlah sikap
pesimis, melainkan sikap suka cita. Disini orang tidak mencari atau menyuguhkan
nilai-nilai lama, melainkan melahirkan nilai-nilai baru yang diciptakannya
sendiri. Nilai-nilai itu bukanlah sebuah pengingkaran akan dunia, melainkan
suatu Ja-sagen. Jadi, seorang Nihilis
Aktif akan mengatakan “ya” terhadap kehidupan dan dunia dengan segala isinya,
yaitu: kefanaan, kepedulian, kebahagian, ketakutan, penyakit, kemuliaan,
perubahan, dan seterusnya, meskipun semua itu tidak memiliki makna yang
melampaui dirinya. Tindakannya tidak diabaikan demi pengetahuan nilai-nilai,
sebab tindakannya itulah nilainya.
* Muhammad Arsyad; Disampaikan dalam Lidership
Training AKBID Amirullah (02 November
2013) Di Tanjung Bayang Makassar.
Sosialisme...
BalasHapus