Cara untuk meraih reputasi yang baik adalah
berusaha menjadi seperti apa yang Anda inginkan —Socrates
Pikiran tidak kreatif dapat
menunjukkan jawaban salah, tetapi untuk menunjukkan pertanyaan salah diperlukan
pikiran yang sangat kreatif—Anthony Jay
Standar kejelasan kelas satu
adalah kemampuan untuk memikirkan dua gagasan bertolak belakang secara
bersamaan dan mempertahankan kemampuan menjalankan fungsinya—F. Scoot Fitzgerald
1. Riwayat Hidup dan Karyanya
Platon lahir tahun 428/7 dalam
suatu keluarga terkemuka di Athena.
Sejak muda ia sudah bergaul
dengan tokoh-tokoh yang memainkan peranan penting dalam politik—boleh
diandaikan Platon sudah mengenal Sokrates sejak anak-anak. Dalam Surat
VII Platon mencita-citakan suatu karir politik namun ketidak adilan di
Athena dan tuduhan terhadap Sokrates yang menyebabkan kematiannya memadamkan
ambisi politiknya. Kesadarannya timbul
bahwa semua rezim politik tidak beres dan ia mendapat keyakinan bahwa
satu-satunya pemecahan ialah
mempercayakan kuasa negara kepada para filsuf yang sejati atau menjadikan
penguasa-penguasa sebagai filsuf yang sejati.
Sesudah Sokrates
meninggal, Platon bersama temannya untuk
beberapa waktu menetap di Megara pada murid Sokrates yang bernama
Eukleides. Ia tidak lama tinggal disitu
lalu kembali ke Athena. Pada usia 40
tahun ia mengunjungi Italia dan Sisilia dan setelah kembali dari italia Platon
mendirikan sekolah ”Akademia” sebagai pusat penyelidikan ilmiah untuk
merealisasikan cita-citanya, yaitu memberikan pendidikan intensif dalam bidang
ilmu pengetahuan dan filsafat kepada orang-orang muda yang akan menjadi
pemimpin-pemimpin politik. Jasa Platon
terbesar ialah membuka sekolah bertujuan Ilmiah—mendirikan perguruan tinggi pertama dan sebagai pelopor
universitas-universitas abad pertengahan
dan moderen.
Platon tidak hanya membatasi perhatiannya pada persoalan etis
saja—seperti dilakukan Sokrates—ia juga
mencurahkan minatnya kepada suatu lapangan yang mecakup seluruh ilmu
pengetahuan. Matapelajaran yang menjadi
perhatian terutama matematika atau ilmu pasti. Semua ilmu itu dan semua ilmu
lain yang di praktekkan di Yunani dipelajari
di Akademia di bawah nama”Filsafat”.
Tidak ada
informasi yang jelas tentang tahun terakhir hidupnya. Platon mengepalai
Akademia sampai kematiannya pada tahun 348/7—empat puluh tahun Platon mengepalai Akademia di
Athena. Pada saat meninggal, karangan
Platon Nomoi belum selesai dan seorang murid mempersiapkan manuskrip defenitif
supaya dapat beredar. Oleh sebab itu, Cicero mengatakan “Platon Scriben Est Mortuus” (Platon meninggal sedang menulis). Dengan
menggunakan data yang ada kita dapat membagi dialog-dialog Platon atas tiga
periode.
I. Apologia, Criton, Eutyphron,
Lakhes, Kharmides, Lysis, Hippias Minor, Menon, Gorgias, Protagoras,
Euthydemos, Kratylos, Phaidon, Symposion.
(Beberapa
ahli berpendapat bahwa salah satu dari dialog-dialog ini sudah ditulis sebelum kematian
Socrates, tetapi kebanyakan berpikir bahwa dialog pertama ditulis tidak lama
sesudah kematian Socrates).
II. Politeia, Phaidros, Parmenides,
Theaitetos (Theaitetos
dan Parmenides ditulis sebelum perjalanan kedua ke Sisilia tahun 367 SM).
III. Sophistes, Politikos, Philebos,
Timaios, Kritias, Nomoi (Dialog-dialog ini ditulis sesudah perjalanan ketiga ke Sisilia,
ketika urusannya dengan berbagai kesulitan politik di Sisilia sudah selesai).
2. Filsafat Platon
Platon sejak masa mudanya hidup
dalam lingkungan yang berhubungn erat dengan politik Athena, perhatiannya
sebagai filsuf terutama pada negara.
Bagaimanakah seharusnya susunan Negara yang ideal? Pertanyaan yang dijawab dalam dialog Politeia—oleh banyak ahli sejarah
filsafat dianggap sebagai karya sentral seluruh pemikiran Platon—sedang dialog panjang Nomoi—karya
terakhir yang ditulis Platon dan baru diedarkan sesudah
meninggalnya—membicarakan juga soal negara. Keyakinan Platon bahwa filsuf harus
dijadikan penguasa Negara, boleh dipandang sebagai refleksi Platon atas kematian Socrates.
a. Ajaran tentang ide-ide
Ajaran tentang ide-ide merupakan
inti dan dasar seluruh filsafat Platon.
Kalau Socrates berusaha menentukan hakikat atau esensi keadilan dan
keutamaan-keutamaan lain. Platon melangkah lebih jauh bahwa esensi itu
mempunyai realitas, terlepas dari segala perbuatan konkret. Ide keadilan, ide
keberanian dan ide lain memang ada. Menurut
Platon realitas terdiri dari dua “dunia”; Pertama, dunia mencakup benda-benda
jasmani yang disajikan kepada panca indra yang pada taraf ini ditandai dengan;
tetap berada dalam perubahan, pluralitas dan ketidaksempurnaan. Kedua, dunia ideal atau dunia yang
terdiri atas ide-ide. Dunia ideal ini sama sekali tidak ada perubahan, semua ide bersifat abadi dan tidak
terubahkan, dan tiap-tiap ide bersifat sama sekali sempurna. Anggapan Platon tentang dua “dunia” membawa
pendiriannya tentang pengenalan. Menurut
Platon ada dua jenis pengenalan. Pertama,
pengenalan tentang ide-ide sebagai pengenalan dalam arti yang sebenarnya. Platon
menamakannya dengan kata Episteme (pengetahuan, knowledge).
Pengenalan ini mempunyai sifat-sifat yang sama seperti objek-objek yang
ditujui olehnya; teguh, jelas, dan tidak berubah. Rasio adalah alat untuk
mencapai pengenalan dan ilmu pengetahuan adalah lapangan istimewa dimana
pengenalan dipraktekkan. Dengan menerima
pengenalan yang bersifat teguh, jelas dan tidak berubah, Platon serentak
menolak relativisme kaum sofis. Bagi
Protagoras dan pengikut-pengikutnya manusia adalah ukuran dalam bidang
pengenalan sedang bagi Platon ukuran itu ialah ide-ide. Berdasarkan ide-ide itu, menjadi mungkin
kebenaran yang mutlak. Kedua,
pengenalan tentang benda-benda jasmani.
Pengenalan ini mempunyai juga sifat-sifat yang sama seperti objeknya;
tidak tetap, selalu berubah. Dibanding
dengan pengenalan episteme, pengenalan jenis kedua ini tidak bernilai banyak,
karena tidak menghasilkan kepastian.
Platon menamakannya doxa (pendapat, opinion). Sudah nyata bahwa pengenalan yang kedua ini
dicapai dengan panca indra.
Melalui ide tentang dua “dunia”
dan pendiriannya tentang pengenalan, Platon berhasil memecahkan suatu persoalan
besar dalam filsafat pra-Sokratik, yaitu mendamaikan ajaran Herakleitos dengan
ajaran Parmenides. Menurut Herakleitos
semuanya senantiasa dalam keadaan perubahan; tidak ada sesuatupun yang tetap
atau mantap. Kratylos bahkan melangkah
lebih jauh dengan mengatakan bahwa pengenalan tidak mungkin karena perubahan
yang tiada henti, bahkan tidak dapat diberikan nama kepada benda-benda. Menurut Platon, pendapat Herakleitos dan
Kratylos memang benar tetapi hanya berlaku bagi dunia indrawi saja. Disini semuanya betul-betul berada dalam
perubahan, dan pengenalan yang sejati tidak mungkin. Pendapat Parmenides benar juga, tetapi hanya
berlaku bagi ide-ide. Dalam dunia ideal
ini tidak ada perubahan, karena ide-ide bersifat abadi. Lagi pula, ide-ide merupakan fundamen bagi
pengenalan yang sejati. b. Mitos tentang Gua
Teori mengenai ide-idenya
dilukiskan dalam mitos yang masyhur tentang penunggu-penunggu gua dalam
dialog Politeia. Manusia dapat dibandingkan—demikian
katanya—dengan orang-orang tahanan yang sejak lahir terbelenggu dalam gua;
mukanya tidak dapat bergerak dan selalu terarah ke dinding gua. Dibelakang
mereka ada api menyala dan beberapa orang budak belian mondar mandir didepan
api sambil memikul bermacam-macam benda. Hal itu mengakibatkan rupa-rupa
bayangan yang dipantulkan pada dinding gua.
Karenanya orang-orang tahanan itu menyangka bahwa bayangan itu merupakan
realitas yang sebenarnya dan bahwa tidak ada realitas yang lain. Namun, sesudah
beberapa waktu satu orang tahanan dilepaskan.
Ia melihat sebelah belakang gua dan api yang ada disitu. Ia sudah mulai memperkirakan bahwa
bayangan-bayangan tidak merupakan realitas yang sebenarnya. Lalu ia dihantar keluar gua dan melihat
matahari yang menyilaukan matanya.
Mula-mula ia berpikir bahwa ia sudah meningggalkan realitas. Tetapi berangsur-angsur ia menyadari bahwa
itulah realitas yang sebenarnya dan bahwa dahulu ia belum pernah memandangnya. Pada akhirnya, ia kembali ke dalam gua dan
bercerita kepada teman-temannya bahwa apa yang mereka lihat bukan realitas yang
sebenarnya melainkan hanya bayangan.
Namun mereka tidak percaya dan seandainya mereka tidak terbelenggu,
mereka pasti akan membunuh tiap orang yang mau melepaskan mereka dari gua.
c. Ajaran tentang Jiwa
Platon memandang manusia sebagai
mahluk terpenting diatas segala mahluk di dunia dan menganggap jiwa sebagai
pusat atau intisari kepribadian. Platon menciptakan suatu ajaran tentang jiwa
yang berhubungan erat dengan pendiriannya mengenai ide-ide. Platon berkeyakinan teguh bahwa jiwa manusia
bersifat baka. Salah satu argumen yang
penting ialah kesamaan yang terdapat antara jiwa dan ide-ide. Dengan itu ia menuruti prinsip yang berperan
besar dalam filsafat Yunani sejak Empedokles yakni “yang sama mengenal yang
sama”. Sudah nyata bahwa jiwalah
yang mengenal ide-ide bukan badan. Dan
jika jiwa memang mengenal ide-ide maka atas dasar prinsip tadi jiwapun
mempunyai sifat-sifat yang sama seperti terdapat pada ide-ide. Ide bersifat
abadi dan tidak berubah dengan demikian jiwa—bertentangan dengan
badan—merupakan mahluk yang tidak berubah dan tidak akan mati.
Bagi Platon jiwa itu bukan saja
bersifat baka—dalam arti bahwa jiwa tidak akan mati pada saat kematian badan
(immortal)—melainkan juga bersifat
kekal, karena sudah ada sebelum hidup dibumi.
Sebelum bersatu dengan badan, jiwa sudah mengalami suatu pra-eksistensi, dimana ia
memandang ide-ide. Platon berpendapat
bahwa pada ketika itu tidak semua jiwa melihat hal yang sama. Ada jiwa-jiwa yang melihat lebih banyak dari
pada jiwa-jiwa lain tetapi biarpun hanya sedikit saja, tiap-tiap jiwa mesti
telah melihat sesuatu dalam “kerajaan ide”.
Berdasarkan pra-eksistensi jiwa, Platon
merancang suatu teori tentang pengenalan.
Menurut Platon, pengenalan pada pokoknya tidak lain dari pada pengingatan (anamesis) akan ide-ide yang telah
dilihat pada waktu pra-eksistensi. Bila
manusia lahir di bumi, pengetahuan tentang ide-ide tersebut—pra-eksistensi—sudah
menjadi kabur. Tetapi biarpun
tersembunyi saja, pengetahuan itu tetap tinggal dalam jiwa manusia dan dapat
diingatkan kembali. Lewat teorinya
mengenai pengetahuan sebagai pengingatan, Platon mendamaikan pengenalan indrawi dengan pengenalan
akal budi. Kita sudah melihat bahwa
pengenalan indrawi (doxa) mencakup
benda-benda konkret yang senantiasa dalam keadaan perubahan, sedang pengenalan
akal budi (episteme) menyangkut ide-ide yang abadi dan tidak terubahkan. Karena benda benda konkret selalu meniru
ide-ide, harus disimpulkan bahwa pengenalan indrawi dapat merintis jalan bagi
pengenalan akal budi. Dengan demikian
Platon dapat menghargai pengenalan indrawi secara positif.
Dalam Politeia, Platon membagi jiwa menjadi tiga “bagian” (mere) sebagai
“fungsi”—pembagian tiga fungsi jiwa merupakan kemajuan besar dalam pandangan
filsafat tentang manusia. Bagian Pertama
ialah “Bagian Rasional”(to
logistikon). Bagian Kedua ialah “Bagian Keberanian” (to thymoeides)—dapat dibandingkan dengan yang kita maksudkan
dengan kehendak—dan Bagian Ketiga ialah “bagian
Keinginan” (to epithymetikon)—menunjukkan hawa nafsu. Selanjutnya, dalam dialog Timaios, Platon mengatakan bahwa hanya “bagian rasional” bersifat
baka sedang bagian-bagian lain akan mati bersama dengan tubuh. “Bagian Rasional” ditempatkan dalam kepala, “Bagian Keberanian”
dalam dada dan “Bagian Keinginan” dibawah sekat rongga badan.
Platon kemudian menghubungkan
ketiga bagian jiwa tersebut dengan
keutamaan tertentu. “Bagian Keinginan” merupakan pengendalian diri
(sophrosyne)
sebagai keutamaan khusus, “Bagian Keberanian” keutamaan yang spesifik ialah kegagahan
(andreia), dan “Bagian Rasional” dikaitkan
dengan keutamaan kebijaksanaan (phronesis
atau sophia). Disamping itu ada lagi
keadilan (dikaiosyne) yang tugasnya menjamin
kesimbangan antara ketiga bagian jiwa.
Dengan demikian Platon menggabungkan keempat keutamaan yang terpenting
yang kemudian menjadi klasik. Dalam Phaidros ketiga bagian jiwa dilukiskan
dengan rupa mitos sebagai seorang Sais yang mengendarai dua kuda
bersayap—satu mau ke atas (Bagian
Keberanian) yang lain selalu menarik ke bawah (Bagian Keinginan). Sais (Bagian Rasional) hendak mencapai langit
tertinggi, supaya dari sana ia dapat memandang “kerajaan ide”. Tetapi karena kesalahan, kuda yang selalu mau ke bawah (Bagian
Keiinginan) mereka kehilangan
sayap-sayapnya dan jatuh ke atas bumi.
d. Ajaran tentang Negara
Filsafat Platon memuncak dalam
uraiannya mengenai Negara. Latar
belakang bagi uraiannya adalah pengalaman pahit mengenai politik Athena. Sebagai usaha memperbaiki keadaan negara yang
dirasakan buruk. Selain Politeia dan Nomoi, ada karya ketiga lagi dimana Platon membicarakan persoalan
yang bertalian dengan negara, yaitu dialog Politikos. Bersama dengan Nomoi, dialog ini juga terhitung dalam periode terakhir aktifitas
platon sebagai pengarang.
Menurut Platon negara yang ideal
terdiri dari tiga golongan (selain budak-budak). Golongan Pertama, penjaga-penjaga yang
sebenarnya atau filsuf-filsuf. Karena
mereka mempunyai pengertian mengenai “yang
baik”, kepemimpinan negara dipercayakan kedalam tangan mereka. Golongan Kedua, adalah pembantu-pembantu atau
prajurit-prajurit. Mereka ditugaskan menjamin keamanan negara dan mengawasi
supaya warga negara tunduk kepada filsuf-filsuf. Akhirnya, Golongan Ketiga, terdiri dari
petani-petani dan tukang-tukang yang menanggung kehidupan ekonomis bagi seluruh
polis.
Sebagaimana telah diuraikan bahwa
ketiga bagian jiwa punya hubungan khusus dengan keempat keutamaan, dengan
demikian ketiga golongan dalam negara ideal juga mempunyai hubungan dengan
keempat keutamaan tersebut.
Kebijaksanaan merupakan keutamaan khusus terdapat pada para penjaga dalam arti
yang sebenarnya. Kegagahan terdapat pada
pembantu-pembantu dan karena golongan pertama dipilih dari antara
pembantu-pembantu, sudah nyata bahwa golongan pertama juga mempunyai keutamaan
ini. Bagi golongan ketiga—petani-petani
dan tukang-tukang—keutamaan yang spesifik adalah pengendalian diri. Akhirnya, keadilan terdapat pada semua
golongan, karena keadilan adalah keutamaan yang memungkinkan setiap golongan
dan setiap warga negara melaksanakan tugas masing-masing, tanpa campur tangan
dalam urusan orang lain. Sebagaimana
dalam jiwa keadilan mengakibatkan bahwa ketiga bagian jiwa berfungsi dengan
seimbang dan selaras, demikianpun dalam Negara keadilan menjamin kesimbangan
dan keselarasan antara golongan-golongan dan antara semua warga negara. Dengan demikian kita mendapat jawaban atas pertanyaan yang
merupakan masalah pokok bagi seluruh dialog Politeia,
yaitu apakah keadilan itu. Pendiriannya
tentang keadilan ini memperlihatkan bagaimana Platon sangat mengutamakan
keselarasan dan keseimbangan sebagai gagasan Yunani yang khas.
*
Muhammad Arsyad;
Makassar, 11 Februari 2014.
0 Response to "Platon; Teori Pengenalan Sebagai Pengingatan* "
Posting Komentar