Retorika: Mengapresiasi Pesan Corax Sampai Cicero Tentang Berkesenian Dalam Berbicara*

blogger templates
“Persuasi (bujukan, desakan dan meyakinkan) adalah seni penanaman alasan-alasan atau motif-motif yang menuntun ke arah tindakan bebas yang konsekuen” (Aristoteles)
“Dari bunyinya dapat diketahui apakah sebuah kapal retak atau tidak, begitu pula dari ujaran-ujarannya dapat dibuktikan apakah seseorang itu bijaksana atau tolol” (Demosthenes)
A.   Pendahuluan
 Berbicara adalah kemampuan mengucapkan bunyi artikulasi atau kata-kata untuk mengekspresikan, menyatakan atau menyampaikan pikiran, gagasan, dan perasaan.  Perluasan batasan ini dapat dikatakan bahwa berbicara merupakan suatu sistem tanda yang dapat di dengar (audible)  dan yang kelihatan (visible) dengan memanfaatkan sejumlah otot dan jaringan otot tubuh manusia demi maksud dan tujuan gagasan atau ide-ide yang dikombinasikan.  Lebih jauh lagi, berbicara merupakan suatu bentuk prilaku manusia yang memanfaatkan faktor fisik, psikologis, neurologis, semantik, dan linguistik sedemikian ekstensif, secara luas sehingga dapat dianggap sebagai alat manusia yang paling penting bagi kontrol sosial. 
 Lama sebelum lambang-lambang tulisan digunakan, orang sudah menggunakan bicara sebagai alat komunikasi.  Bahkan setelah tulisan ditemukan  bicara tetap lebih banyak digunakan.  Ada beberapa kelebihan bicara yang tidak dapat digantikan dengan tulisan.  Bicara lebih akrab, lebih pribadi (personal), dan lebih manusiawi. Dalam Mein Kampf, dengan tengas Hitler mengatakan bahwa keberhasilannya disebabkan oleh kemampuannya berbicara (setiap gerakan besar di dunia ini dikembangkan oleh ahli-ahli pidato dan bukan oleh jago-jago tulisan).
 Berbicara bukan  sekedar mengucapkan bunyi-bunyi atau kata-kata.  Berbicara merupakan alat mengkomunikasikan gagasan yang disusun serta dikembangkan sesuai kebutuhan pendengar atau penyimak.  Berbicara juga sebagai instrumen yang mengungkapkan kepada penyimak hampir secara langsung apakah pembicara memahami atau tidak, baik bahan pembicaraannya maupun para penyimaknya; apakah dia bersikap tenang serta dapat menyesuaikan diri atau tidak, pada saat gagasan dikomunikasikan; dan apakah dia waspada serta antusias atau tidak (Mulgrave, 1954; 3-4). Tujuan utama berbicara untuk berkomunikasi.  Agar dapat menyampaikan pikiran secara efektif, menjadi keharusan pembicara memahami makna segala sesuatu yang ingin dikomunikasikan.  Pembicara harus mampu mengevaluasi efek komunikasinya terhadap pendengarnya dan harus mengetahui prinsip-prinsip yang mendasari segala situasi pembicaraan, baik secara umum maupun perorangan.
Ujaran sebagai suatu cara berkomunikasi sangat  memegaruhi kehidupan individual kita.   Dalam sistem inilah kita saling bertukar tempat, gagasan, perasaan dan keinginan, dengan bantuan lambang-lambang yang disebut kata-kata.  Sistem inilah yang memberi keefektifan bagi individu dalam mendirikan hubungan mental dan emosional dengan anggota lainnya.  Tidak  disangsikan lagi bahwa ujaran hanya merupakan ekspresi gagasan seseorang, dan menekankan hubungan yang sifatnya dua arah, memberi dan menerima (Powers, 1954:5-6).  Beberapa cara telah diusahakan  para ahli untuk menganalisis proses berbicara.  Analisis yang dilakukan Wollbert (1927) bahwa “seorang pembicara pada dasarnya terdiri atas empat hal yang kesemuanya diperlukan dalam menyatakan pikiran kepada orang lain.  Pertama, sang pembicara merupakan suatu kemauan, suatu maksud, suatu makna yang diinginkannya dimiliki oleh orang lain, yaitu; suatu pikiran (a thought).  Kedua, sang pembicara adalah pemake bahasa, membentuk pikiran dan perasaan menjadi kata-kata.  Ketiga, sang pembicara adalah sesuatu yang ingin disimak, ingin didengarkan, menyampaikan maksud dan kata-katanya kepada orang lain melalui suara dan Keempat, sang pembicara adalah sesuatu yang harus dilihat, memperlihatkan rupa, sesuatu tindakan yang harus diperhatikan dan di baca melalui mata” (Knower, 1958:1331).
 B.   Mengenai Defenisi
Eksistensi (keberadaan) seorang orator kualitasnya ditentukan dalam hal; bagaimana berbicara supaya nampak menarik (atraktif), bernilai informasi (informatif), menghibur (rekreatif), dan berpengaruh (persuasif). Dengan kata lain, orator mesti berbicara berdasarkan seni berbicara yang dikenal dengan istilah retorika sebagai seni berkomunikasi secara lisan yang dilakukakan  kepada sejumlah orang secara langsung melalui tatap muka. Dalam bahasa yunani; rhetor, orator, teacher, adalah teknik pembujuk-rayuan secara persuasi untuk menghasilkan bujukan melalui karakter pembicara, emosional atau argumen (logos).  Platon secara umum memberikan defenisi sebagai seni manipulatif yang bersifat transaksional dengan menggunakan lambang untuk mengidentifikasi pembicara dengan pendengar melalui tuturan, dan yang dipersuasi saling bekerja sama dalam merumuskan nilai, keprcayaan, dan pengharapan. Ini yang dikatakan Kenneth Burke (1969) sebagai substansi dengan menggunakan media oral atau tertulis.
 Retorika memberikan suatu kasus melalui bertutur (menurut kaum sofis seperti; Gorgias, Lysias Phidias, Protagoras, dan Sokrates akhir abad ke-5 SM), yang mengajarkan orang tentang keterampilan berbicara dan menemukan sarana persuasif yang objektif dari suatu kasus.  Studi yang mempelajari kesalahpahaman serta penemuan sarana dan pengobatannya. Retorika juga mengajarkan tindak dan usaha yang efektif dalam persiapan, penataan, dan penampilan tutur untuk membina saling pengertian dan kerja sama serta kedamaian dalam kehidupan bermasyarakat.
 Dalam ajaran retorika Arstoteles, terdapat tiga teknis alat persuasi (mempengaruhi) politik, yaitu deliberatif, forensik, dan demonstratif. Retorika deliberatif memfokuskan diri pada apa yang akan terjadi kemudian apabila saat ini diterapkan sebuah kebijakan. Retorika forensik lebih memfokuskan pada sifat yuridis dan berfokus pada apa yang terjadi masa lalu untuk menunjukan bersalah atau tidak, pertanggung jawaban atau ganjaran. Adapun retorika demonstratif memfokuskan pada wacana memuji dengan tujuan memperkuat sifat baik atau sifat buruk seseorang, lembaga ataupun gagasan.                   
 C.   Sejarah Kelahiran
Uraian sistematis retorika diletakkan pertamakali orang Syracuse—sebuah koloni Yunani di Pulau Sicilia—untuk membantu orang memenangkan haknya dipengadilan. Penjelasannya dapat ditelusuri melalui makalah Corax yakni Techne logon (Seni Kata-Kata) tentang Teknik Kemungkinan.  Corax menulis dalam makalahnya seperti;  Bila kita tidak memastikan sesuatu, mulailah dari kemungkinan umum.  Corax  mencontohkan sebuah kasus;  Seorang kaya mencuri dan dituntut di pengadilan untuk pertama kalinya maka dengan menggunakan teknik kemungkinan, kita bertanya, “mungkinkah seorang yang berkecukupan mengorbankan kehormatannya dengan mencuri? Bukankah sepanjang hidupnya, ia tidak pernah diajukan ke pengadilan karena mencuri”.  Contoh kasus berikutnya; Sekarang, seorang miskin mencuri dan diajukan kepengadilan untuk kedua kalinya.  Kita bertanya, “ia pernah mencuri dan pernah di hukum.  Mana mungkin ia berani melakukan lagi pekerjaan yang sama”.  Dari kedua kasus yang dicontohkan Corax, akhirnya, retorika mirip “ilmu silat lidah” bahkan bisa membawa pemahaman ke “permainan logika”.  Walaupun demokrasi gaya Syracuse tidak bertahan lama namun ajaran Corax tetap berpengaruh. 
 Abad ke empat sebelum masehi adalah abad retorika.  Empedocles (490SM-430SM) filofof, mistikus, politisi, dan sekaligus orator—murid  Pythagoras dan menulis The Nature Of Things—menurut pengakuan Aristoteles, “ia mengajarkan prisnsip-prinsip retorika, yang kelak di jual Gorgias kepada penduduk Athena”.  Tahun 427 SM Gorgias di kirim sebagai duta ke Athena.  Gorgias menekankan dimensi bahasa yang puitis dengan teknik berbicara impromtu.  Gorgias bersama Protagoras lalu mengembangkan retorika dan mempopulerkannya yang selanjutnya dalam praktek bukan hanya sebagai  ilmu pidato tetapi meliputi; pengetahuan sastra, gramatika dan logika.  Perkembangan ini di dorong oleh alasan bahwa; rasio tidak cukup untuk meyakinkan  orang sehingga perlu   mengajarkan teknik memanipulasi emosi dan menggunakan prasangka untuk menyentuh hati pendengar.  Berbeda dengan Gorgias, Demosthenes mengembangkan retorika dengan gaya bicara yang tidak berbunga-bunga tetapi jelas dan keras.  Dengan cerdik retorika Demosthenes menggabungkan narasi dan argumentasi dan sangat amat memperhatikan cara penyampaian (delivery)—Menurut Will Durant; “ia meletakkan rahasia pidato pada akting (hypocrisis).
 Seorang tokoh yang berusaha mengembangkan retorika dengan menyingkirkan Sophisme negatif adalah Isocrates yang percaya bahwa retorika dapat meningkatkan kualitas  masyarakat; retorika tidak boleh dipisahkan dari politik dan sastra.  Ia mendirikan sekolah retorika paling berhasil tahun 391SM dan mendidik muridnya menggunakan: kata-kata dalam susunan yang jernih tetapi tidak berlebih-lebihan, rentetan anak kalimat yang seimbang dengan pergeseran suara dan gagasan yang lancar.  Gaya bahasa Isocrates kemudian mengilhami tokoh-tokoh retorika sepanjang zaman: Cicero, Milton, Massillon, Jeremy Taylor dan Edmund Burke.  Namun demikian, Platon justru dianggap sebagai peletak dasar retorika ilmiah dan psikologi khalayak—menanggapi Gorgias sebagai contoh retorika yang palsu—melalui bukunya Dialog yang menganjurkan para pembicara untuk mengenal “jiwa” pendengarnya.   Adalah Platon yang telah mengubah retorika sebagai sekumpulan teknik (Sophisme) menjadi wacana ilmiah.  Baru kemudian Aristoteles (murid Platon)  melanjutkan kajian retorika ilmiah melalui tiga jilid buku yang berjudul De Arte Rhetorica.  Dari Aristoteles dan ahli retorika klasik, kita memperoleh lima tahap penyusunan pidato: terkenal sebagai lima hukum retorika (The Five caons of Rhetoric); Inventio (penemuan), pada tahan ini pembicara menggali topik dan meneliti khalayak untuk mengetahui metode persuasi yang paling tepat.  
 Bagi Aristoteles, retorika merupakan “kemampuan untuk menentukan, dalam kejadian tertentu dan situasi tertentu, metode persuasi yang ada”.  Dalam tahap ini juga, sang orator merumuskan tujuan dan mengumpulkan bahan (argumen) yang sesuai dengan kebutuhan khalayak.  Aristoteles kemudian menyebut tiga cara  memengaruhi manusia.  Pertama, orator harus sanggup menunjukkan kepada khalayak bahwa orator memiliki pengetahuan yang luas, kepribadian yang terpercaya, dan status yang terhormat (Ethos).  Kedua, orator harus menyentuh hati khalayak; perasaan, emosi, harapan, kebencian dan kasih sayang mereka (pathos). Ketiga, orator meyakinkan khalayak dengan mengajukan bukti atau yang kelihatan sebagai bukti.  Disini orator mendekati khalayak lewat otaknya (logos).  Disamping; ethos, pathos dan logos, Aristoteles menyebutkan dua cara lagi yang efektif untuk memengaruhi pendengar yaitu entimem dan contoh.
D.  Retorika Modern
Teori Aristoteles dalam uraiannya yang lengkap dan persuasif serta sangat sistematis  dan komperhensif memberikan  dasar teoretis yang kokoh dan membungkam para ahli retorika yang datang sesudahnya. Pengaruhnya sekalipun sampai ke Romawi namun selama dua ratus tahun setelah De Arte Rhetorica tidak menambahkan apa-apa yang berarti bagi perkembangan retorika di Romawi. Buku Ad Herrnium,  yang di tulis dalam bahasa Latin kira-kira 100 SM hanya mensistematisasikan dengan cara Romawi warisan retorika gaya Yunani.  Orang-orang Romawi bahkan hanya mengambil segi-segi praktisnya saja. Walaupun begitu, kekaisaran Romawi bukan saja subur dengan sekolah-sekolah retorika tetapi juga kaya dengan orator-orator ulung: Antonius, Crassus, Rufus, Hortensius.   Kemampuan Hortensius selanjutnya di sempurnakan oleh Cicero.   Cicero percaya bahwa efek pidato akan baik bila yang berpidato adalah orang baik—The good man speaks well. Cicero-lah sang orator yang dianggap sangat terampil  menyederhanakan pembicaraan yang sulit,  bahasanya mengalir dengan deras tetapi indah. Puluhan tahun setelah meninggalnya Cicero, Quintillianus mendirikan sekolah retorika dan merumuskan teori-teori retorika Cicero kemudian di tulis dalam  Institutio Oratoria.
Renaissance memberi sumbangan sangat berarti kepada penyampaian gagasan    kepada kehadiran retorika modern dan jembatan penghubungnya adalah Roger Bacon (1214-1219).  Bacon buka saja memperkenalkan Metode Eksprerimental tetapi juga menempatkan pentingnya pengetahuan tentang proses psikologis dalam studi retorika seperti dikatakan; “…kewajiban retorika ialah menggunakan ratio dan imajinasi untuk menggerakkan kemauan secara lebih baik”.  Rasio, imajinasi dan kemauan  adalah disiplin psikologis yang kelak menjadi kajian utama ahli retorika modern.  Aliran pertama retorika masa modern yang menekankan proses psikologis di kenal sebagai aliran epistemologis yang membahas “teori pengetahuan”; asal-usul, sifat, metode, dan batas-batas pengetahuan manusia.  Para pemikir epistemologis seperti George Campbell (1719-1796), dalam The Philosophy of Rhetoric serta Richard Whately  berusaha mengkaji retorika klasik dalam sorotan perkembangan psikologis kognitif (membahas proses mental).  Aliran retorika modern kedua dikenal sebagai gerakan Belles Lettres (tulisan yang indah).  Retorika Belletris sangat mengutamakan keindahan bahasa, segi-segi estetis pesan—kadang-kadang dengan mengabaikan segi informatifnya.  Hugh Blair (1718-1800) yang menulis Lettures on Rhetoric and Belles Lettres; menjelaskan  hubungan antara retorika, sastra, dan kritik.  Ia memperkenalkan disiplin citarasa (taste) yakni sebuah kemampuan untuk memperoleh kenikmatan dari pertemuan dengan apapun yang indah.  Pada abad kedua puluh, retorika mengambil manfaat dari perkembangan ilmu pengetahuan modern—khususnya ilmu-ilmu prilaku seperti psikologi dan sosiologi.  Istilah retorika-pun mulai di geser oleh speech, speech commnucations atau oral commnucations atau public speaking.
 E.    Tindakan Penyampaian Pesan
Menurut ada-tidaknya persiapan, sesuai  cara yang di lakukan sampai waktu persiapan yang dibutuhkan maka oleh  Jalauddin Rakhmat (2012) mengatakan terdapat empat macam penyampaian pesan  yaitu :  impromtu, manuskrip, memoriter, dan ekstemporer.
 1.   Impromtu, dilakukan misalnya; menghadiri pesta dan tiba-tiba ada panggilan untuk menyampaikan pesan-pesan—aktivitas ini sebaiknya di hindari—bila terpaksa beberapa hal berikut bisa di jadikan pegangan:
a.    Pikirkan terlebih dahulu teknik permulaan pesan yang baik. Missalnya cerita, hubungan dengan pidato sebelumnya, bandingan, ilustrasi dan sebagainya.
b.    Tentukan sistem organisasi pesan. Misalnya: Susunan kronologis, teknik “pemecahan soal”, kerangka sosial ekonomi-politik, hubungan teori dan praktek.
c.     Pikirkan teknik menutup pembicaraan yang mengesankan.
2.   Manuskrip,  penyampaian pesan dengan naskah dari awal sampai akhir.  Disini tidak berlaku istilah “menyampaikan pesan”, tetapi “membacakan pesan”.  Beberapa petunjuk dapat diterapkan dalam penyusunan dan penyampaian manuskrip:
 a.    Susunlah lebih dahulu dalam garis-garis besar dan siapkan bahan-bahannya;
b.    Tulisan manuskrip seperti pembicaraan yang  mengalir dan   gunakan gaya percakapan yang lebih informal dan langsung;
c.    Baca naskah berkali-kali sambil membayangkan pendengar;
d.   Hafalkan sekadarnya sehingga sehingga dapat lebih sering melihat pendengar;
e.    Siapkan manuskrip dengan ketikan besar, tiga spasi dan batas pinggir yang luas.
3. Memoriter,  pesan di tulis kemudian di ingat kata demi kata. Seperti manuskrip, memoriter memungkinkan ungkapan yang tepat, organisasi yang terencana, pemilihan bahasa yang teliti, gerak dan isyarat yang diintegrasikan dengan uraian.  Tetapi karena pesan sudah tetap, maka tidak terjalin saling hubungan antara pesan dengan pendengar, kurang langsung, memerlukan banyak waktu dalam persiapan, kurang spontan, perhatian beralih dari kata-kata kepada usaha mengingat.
4. Ekstempore, jenis pembicaraan  paling baik dan paling sering dilakukan.  Pembicara sudah dipersiapkan sebelumnya berupa Out-line fungsinya hanya pedoman untuk mengatur gagasan dalam pikiran.  Keuntungan ekstempore karena komunikasi pendengar dengan pembicara lebih baik dan pembicara menyampaikan langsung kepada khalayak, pesan dapat fleksibel untuk di ubah sesuai kebutuhan dan penyajiannya lebih spontan.
 F.   Metode Retorika
Untuk tujuan dan fungsi retorika, sepintas dapat dijelaskan bahwa kalau tujuan retorika sebagai persuasi, yaitu keyakinan pendengar terhadap kebenaran gagasan pembicara.  Artinya, retorika ingin membina saling pengertian dan mengembangkan kerjasama dalam menumbuhkan kedamaian untuk kehidupan bermasyarakat melalui kegiatan bertutur.  Sementara fungsi retorika akan membimbing penutur secara lebih baik memahami masalah kejiwaan manusia pada umumnya dan kejiwaan penanggap tutur yang akan dan sedang dihadapi, membimbing penutur menemukan ulasan yang baik dan membimbing penutut mempertahankan kebenaran dengan alasan yang masuk akal.  Tentang metode retorika dapat di lihat sebagai berikut:
1.    Exordium (pendahuluan), fungsinya pengantar ke arah pokok persoalan yang akan di bahas dan sebagai upaya menyiapkan mental penanggap tuturan dan membangkitkan perhatian, misalnya :
a.    Mengemukakan kutipan;
b.    Mengajukan pertanyaan;
c.     Menyajikan illustrasi yang spesifik;
d.    Memberikan fakta yang mengejutkan;
e.    Menyajikan hal yang bersifat manusia; dan
f.      Mengetengahkan pengalaman yang ganjil.
2. Protesis (latar belakang), mengemukakan hakekat persoalan tersebut secara faktual atau secara kesejahteraan nilainya serta fungsinya dalam kehidupan. Jadi tuturan disampaikan sedemikian rupa sehingga tampak jelas kaitannya dengan kepentingan penanggap tuturan.
3. Argumentasi (isi),  memberikan ulasan-ulasan tentang topik yang akan disajikan serta teoritis kemudian mengemukakan kekuatan posisinya.
4. Conclusio (kesimpulan), suatu penegasan hasil pertimbangan yang mengandung justifikasi atau pembenaran menurut penalaran penutur.  Dua persyaratan mutlak bagi orator; source credibility atau sumber yang terpercaya dan source atractivinees atau daya tarik orator artinya memiliki penampilan yang meyakinkan untuk tampil sebagai orator.  Hal-hal yang perlu dihindari dalam pembuatan kesimpulan :
a. mengemukakan fakta baru;
b. mengemukakan kata-kata mubazir dan tidak fungsional;
 
         *Muhammad Arsyad; Makassar, 08 Februari 2014

 
Daftar Pustaka
Durant, Will. 1972. The Story of Civilization; New York; Simon and Schuster.
Knower, Franklin H. 1958. Speech dalam Encyclopedia of Educational Research. New York. MacMillan Company 1960.
Mulgrave, Dorothy. 1954. Speech. New York; Barnes dan Noble, Inc.
Powers, David Guy. 1951. Fundamentals of Speech. New York; Mc graw-Hill Book Company, Inc.
Rakhmat, Jalaluddin. 2012. Retorika Modern; Pendekatan Praktis, Pt. Remaja Rosda Karya. Bandung.
Ridwan. H. Aang. M.Ag. Filsafat Komunikasi. Percetakan Setia Bandung. 2013

0 Response to "Retorika: Mengapresiasi Pesan Corax Sampai Cicero Tentang Berkesenian Dalam Berbicara*"

Posting Komentar