blogger templates

MENYELAMI SEMESTA FENOMENOLOGI:

TEORI, METODE DAN PRAKTEK

Mencintai manusia hanyalah pilihan. 
Mencintai ilmu adalah takdir. 
Dunia layak dihuni manusia yang berilmu. 
"Muhamad Arsat"


    A.   Pendahuluan

Pada awal abad ke-20, dua gerakan filsafat baru dan orisinil muncul: pertama, fenomenologi, dan kedua-berkaitan erat dengan fenomenologi, baik secara historis maupun secara konseptual; eksistensialisme. Setelah berkembang dan menyebar dengan cepat, kedua gerakan tersebut menjad milik filsafat-filsafat yang paling berpengaruh pada abad ini. Pengaruhnya menembus ke luar filsafat dan  memasuki arena disiplin lain seperti sastra, seni, sosiologi, hukum, antropologi, teologi, dan terutama psikologi dan, psikiatri.

Pengaruh kedua gerakan tersebut pada pemikiran psikologi Eropa menampakkan diri dalam kecenderungan (trend) yang disebut psikologi fenomenologi, psikologi eksistensial, atau psikologi fenomenologi-eksistensial. Bagaimanapun, sampai suatu waktu dunia Anglo-Amerika dan psikologinya tidak mengacuhkan gerakan-gerakan fenomenologi dan eksistensial itu. Baru pada akhir tahun 1940-an filsafat fenomenologi dan eksistensial menarik perhatian sejumlah ahli psikologi Amerika.

Lambat laun pendekatan fenomenologi-eksistensial pada psikologi membangkitkan minat yang lebih luas, dan pada akhir tahun 1950-an memperoleh dukungan yang sangat kuat dari 'Kekuatan Ketiga dalam Psikologi Amerika' yang dibangun sebagai alternatif hagi behaviorisme dan psikoanalisis. Penerbitan buku-buku dan diskusi-diskusi yang terorganisasi tentang  fenomenologi dan eksistensialisme mencerminkan peningkatan minat terhadap kedua gerakan tersebut. Pada tahun 1959, dalam pertemuan tahunan Perhimpunan Psikologi Amerika di Cincinnati diselenggarakan simposium pertama tenting psikologi eksistensial. Simposium serupa diadakan setahun kemudian. Pada tahun 1963, simposium diadakan di Universitas Rice dengan judui 'Behaviorism and Phenomenology: Contrasting Bases for Modern Psychology'. Simposium ini menunjukkan bahwa pendekatan fenomenologis cukup penting untuk dikonfrontasikan dengan behaviorisme.

Demikian juga makalah yang anda pegang ini ditujukan agar anda membaca, memahami dan menerapkannya dalam berbagai aktifitas ilmiah atau hanya sekedar diskusi biasa yang mengharuskan anda harus terjun kedunia fenomenologi untuk mengkaji fenomena dengan tujuan menemukan makna (interpretation) menuju penjelasan (ekspalaniation) yang absolut. 

B.   Edmund Husserl

Edmund Husserl (1859-1938) merupakan pencetus fenomenologi dan karena dialah dunia menjadi terbuka lebar untuk dipahami. Husserl dilahirkan di Moravia, sebuah kota yang waktu itu termasuk wilayah Kekaisaran Austria, dan sekarang berada di wilayah Cekoslowakia. Ketika Husserl memulai studi akademisnya, minat utamanya adalah pada matematika dan ilmu-ilmu pengetahuan alam. Untuk pertama kalinya ia pergi ke Leipzig pada tahun 1876, tempat ia mengikuti kuliah-kuliah Wilhelm Wundt, pendiri psikologi eksperimental. Wundt tidak menimbulkan kesan khusus bagi Husserl, dan di kemudian hari Husserl hanyak mengkritik ajaran Wundt. Dua tahun kemudian la pergi ke Berlin untuk helajar matematika. Dari Berlin Husserl pergi ke Wina, dan menyelesaikan studinya dengan desertasinya tentang masalah kalkulus pada tahun 1883. Setelah memangku jabatan asisten dosen matematika di universitas Berlin, Husserl kembali ke Wina pada tahun 1884, dan memusatkan perhatiannya pada studi filsafat di bawah bimbingan Frans Brentano.  

Brentano memberikan pengaruhnya pada kepada Husserl melalui lebih dari satu jalan. Lebih dari itu, pemikiran Brentano-lah yang menyuburkan pemikiran Husserl dan mengarahkannya pengembangan fenomenologi. Oleh karena gagasan filosofis Brentano merupakan benih bagi filsafat baru ini. Brentano pantas disebut sebagai pelopor gerakan fenomenologi. Husserl mengungkapkan hutang budinya pada Brentano dengan menyebut Brentano sebagai “seorang dan satu-satunya guru saya dalam filsafat”. Lamhat laun kedua orang ini terpisah secara intelektual. Brentano tidak menyukai sejumlah gagasan Husserl, tetapi mereka tetap menjalin persahahatan. Husserl juga belajar di bawah himbingan murid Brentano, Carl Stumpf, di Habe, clan huhungan mereka pun bersahabat. Nyatanva, Husserl mempersembahkan bukunya yang herjudul Logische Untersuchungen (Logical lnverstigations, 1900) kepada Stumpf "dengan rasa hormat dan persahabatan".

Karir akademis Husserl dalam filsalat dimulai di Universitas Halle pada tahun 1887, ketika ia menjadi dosen setelah menyelesaikan tesis tentang konsep angka. la mengajar di Halle selama 14 tahun. Pada tahun 1901 Husserl pindah ke Universitas Gottingen, menjadi guru besar pembantu sampai tahun 1916. Rekannya di Universitas Gottingen ini adalah pelopor psikologi eksperimental, Georg E. Muller, yang memiliki laboratorium yang aktif dan mahasiswa-mahasiswanya juga menaruh minat pada kuliah­kuliah Husserl. Di kalangan mahasiswa Gottingen, Husserl menemukan pengikut yang membentuk kelompok khusus untuk mendiskusikan fenomenologi dan kelompok serupa juga dibentuk di Universitas Munich.

Pada tahun 1916, Husserl menerima pengangkatan sebagai guru besar penuh di Universitas Freiburg di Breisgau. Jabatan yang dipegangnya sampai ia pensiun pada tahun' 1929. Pada periode ini dan sesudahnya, Husserl memberikan kuliah-kuliah fenomenologi di Universitas-universitas lain di London, Praha, Wind, dan Paris. Asistennnya di Freiburg adalah Martin Heidegger yang dikemudian hari menggantikan Husserl sebagai guru besar. Selama hidup, Husserl beberapa karya monumental: Karya pertama, Philosophy der Arithmetic (de Philosophy of Arithmetic, 1891), belum secara eksplisit menerangkan fenomenologi. Gagasan fenomenologi Husserl ditemukan dalam bukunya yang berjudul Logische Unters Uchuengen yang terdiri dari dua Folume, yang direvisi dan di terbitkan dalam tiga Folume pada tahun 1913 (dalam bahasa Inggris, Logical Investigations, 1970). Tema sentral buku tersebut adalah landasan logika. Dalam bukunya yang berjudul Ideen zu Einer Reinen Phanomenologie, Und Phanomenologischen Philosophie (dalam bahasa Inggris Ideas: General Introduction to Pure Phenomenology, 1939), Husserl menghadirkan fenomenologi sebagai metode objektif yang bisa diterapkan pada filsafat ataupun ilmu pengetahuan. Bukunya yang berjudul Vorlesungen zu Phanomenologi des Inneren Zeit Bewusstseins (Lectures on The Phenomenology of Inner Awareness of Time, 1928) berisi studi psikologis tentang persepsi waktu. Buku Formale und Tranzendental Logik (Formal and Transcendental Logic, 1929) dan Erfahrung und Urteil (Exsperience and Judgemen, 1939) menandai perkembangan lebih lanjut dari fenomenologi Husserl. Buku Husserl yang terakhir yang diterbitkan sebelum ia meninggal berisi rangkuman kuliahnya di Paris yang terbit dalam bahasa prancis berjudul Meditation Cartesiennes (dalam bahasa Inggris, Cartesian Meditations, 1931).   

  Husserl meninggal Freiburg pada tahun 1938, pada usia 79 tahun. Sebelum meninggal, Husserl aktif mengembangkan gerakan fenomenologinya, sehingga sesudah Husserl meninggal fenomenologi telah menjadi gerakan yang kuat dan Husserl sendiri memperoleh pengakuan sebagai seorang intelek yang tajam dan sebagai filsuf yang paling berpengaruh pada abad ke-20.

 

C.   Mengenal Fenomenologi

Secara Etimologi, ‘fenomenoiogi' berasal kata di bahasa Yunani dan terbagi menjadi dua kata: phenomenon (jamak: phenomena), dan logos (ilmu). Dari sudut hahasa, istilah phenomenon bisa diartikan sehagai penampilan, yakni penampilan sesuatu yang menampilkan diri. Dalam psikologi, fenomena biasanya didefinisikan sebagai data dari pengalaman yang dapat diamati dan dijabarkan oleh subjek yang mengamati pada suatu waktu. Dalam filsafat, fenomena memiliki herbagai arti, akan tetapi pada umumnya fenomena diartikan sebagai 'penampilan sesuatu' yang kontras dengan `sesuatu itu sendiri’. Immanuel Kant menjadikan pernbedaan ini sebagai tonggak filsafatnya dan ia mengajarkan hahwa pemikiran kita tidak akan pernah sampai kepada `sesuatu itu sendiri' atau nomenon namun yang bisa kita ketahui hanyalah penampilan sesuatu itu atau fenomenona. Teori Kant ini—yang menekankan hahwa pengetahuan kita terbatas pada pengetahuan tentang penampilan sesuatu atau tentang fenomena disebut fenomenalisme. Namun, fenomenalisme ini jangan dikacaukan dengan fenomenologi.

Istilah “fenomenologi” telah terbentuk pada pertengahan ahad ke-19, dan kemudian digunakan (Warn sejarah filsafat dengan arti yang herbed-beda. Kant, Hegel (yang menulis Phenomenology of Mind pada tahun I807), Mach, Brentano, dan Stumpf memiliki pemahaman sendiri-sendiri tentang fenomenologi, Ketika Edmund Husserl menggunakan istilah fenomenologi ini pada permulaan abad ke-20, ia memberikan arti dan signifikansi baru. Bagi Husserl, fenomenologi adalah ilmu pengetahuan tentang fenomena, tentang objek-objek sebagaimana objek-objek itu dialami atau menghadirkan diri dalam kesadaran kita. Husserl adalah pendiri dan tokoh fenomenologi yang paling terkemuka. Akan tetapi, keliru apabila mengidentikkan seluruh fenomenologi abad ke-20 secara eksklusif dengan filsafat Husserl, sama kelirunya dengan apabila mengidentikkan psikoanalisis dengan sistem psikologi Freud. Dengan berlalunya waktu, herbagai orientasi fenomenologi yang terpisah telah herkembang, heberapa di antaranya ke luar bahkan hertentangan dengan pemikiran Husserl. Keanekaragaman orientasi fenomenologi dewasa ini menjadikan penyusunan definisi tunggal dan umum tentang filsafat fenomenologi sehagai hal yang mustahil.

 

D.   Metode fenomenologis

Metode fenomenologis terdiri dari pengujian terhadap apa saja yang ditemukan dalam kesadaran atau dengan kata lain, terhadap data atau fenomena kesadaran. Sasaran utama metode fenomenologis hukanlah tindakan kesadaran, melainkan objek dari kesadaran, umpamanya, segenap hal yang dipersepsi, dihayangkan, diragukan, atau disukai. Tujuan utamanya adalah menjangkau esensi-esensi hal-hal tertentu yang hadir dalam kesadaran. Metode fenomenologis dipraktekkan dengan cara yang sistematis, melalui herbagai langkah atau teknik. Spiegelberg dalam Phenomenologi Movement (1971)mendeskripsikan fenomenologis bisa dibedakan ke dalam tiga fase: mengintuisi, menganalisis, dan menjabarkan secara fenomenologis. Mengintuisi artinya konsentrasi secara intens atau merenungkan fenomena. Menganalisis adalah menemukan berbagai unsur atau bagian-­bagian pokok dari fenomena dan pertaliannya. Sedangkan menjabarkan adalah menguraikan fenomena yang telah diintuisi dan dianalisis, sehingga fenomena itu bisa dipahami oleh orang lain.

Langkah yang lainnya dari metode fenomenologis adalah Wessenschau, yang bisa diterjemahkan menjadi 'pemahaman terhadap esensi-esensi' (insight of essences), 'pengalaman atau kognisi tentang esensi-esensi' (experience or cognition of essences). Akan tetapi, Spiegelberg Iebih suka menerjemahkan istilah Wessenschau itu menjadi 'pengintuisian esensi-esensi (intuiting of essences). istilah 'pengintuisian' digunakan oleh Spiegelherg untuk menghindari kesamaran serta konotasi mistik yang mungkin timbul dari penggunaan istilah 'intuisi'. Pengintuisian esensi-esensi disebut juga 'pengintuisian eidetik' (eidetic intuiting). Kata 'eidetik' berasal dari kata eidos yang artinya esensi, yang dipinjam oleh Husserl dari Plato. Fungsi pengintuisian eidetik itu adalah untuk menangkap atau mencapai esensi-­esensi berbagai hal melalui fenomena. Pencapaian esensi biasanya menyertakan survei atas sesuatu yang memperluasnya menjadi lebih umum. Contohnya, menyurvei berbagai corak bayangan merah atau objek-objek berwarna mengarah pada pencapaian esensi kemerahan atau warna. Husserl menyebut pencapaian esensi itu reduksi eidetik (eidetic reduction).

Syarat utama bagi keberhasilan penggunaan metode fenomenologis adalah membebaskan diri dari praduga-praduga atau pengandaian­-pengandaian. Adalah merupakan suatu keharusan dalam mengeksplorasi kesadaran itu seluruh penyimpangan, teori-teori, keyakinan-keyakinan, dan corak-corak berpikir yang telah menjadi kebiasaan, disingkirkan atau 'disimpan di dalam tanda kurung' (bracketed), kata Husserl, meminjam konsep yang berasal dari matematika. Husserl menyebut penyingkiran segenap penilaian itu dengan istilah epoche, sebuah istilah bahasa Yunani yang artinya tidak memberikan suara. Hanya setelah epoche dilakukanlah, eksplorasi atas fenomena bisa diharapkan membawa hasil, sebab dengan cara demikian fenomena tidak dikaburkan atau tidak didistorsi oleh sifat-sifat individual si penyelidik. Epoche, sampai batas tertentu, mirip tetapi juga berbeda dengan metode keraguan Descartes, dalam arti bahwa dengan metode keraguannya Descartes meragukan keberadaan segala hal, tetapi ia tidak pernah sampai pada eksplorasi femenologi. Sedangkan Husserl dengan epoche-nya tidak meragukan keberadaan segala hal, melainkan memperhatikan keberadaan segala hal itu sampai penyelidikan filosofis tuntas. Menurut keyakinan Husserl, pencapaian esensi-esensi fenomena itu merupakan prasyarat dan landasanya yang diperlukan oleh segenap ilmu pengetahuan empiris, termasuk psikologi.

 

E.   Intensionalitas Kesadaran

Di samping metode keraguan, dalam filsafat Descartes, Husserl juga menemukan sejumlah kelemahan yang lainnya, di antaranya yang paling fatal adalah pandangan Descartes yang dualistik terhadap manusia dan dunia. Dengan dualismenya itu, Descartes memisahkan subjek dari objek yang disadarinva. Husserl berusaha menutup jurang dikotomi yang ditibulkan oleh Decartes itu dengan menggunakan konsep yang diambil dari gurunya; Brentano, yakni konsep intensionalitas kesadaran.

            Brentano sendiri menyusun konsep intensionalitas kesadaran dalam menemukann hukum-hukum jiwa yang universal. Sehuhungan dengan upayanya itu, ia mengajukan pertanyaan: Apa yang menandai tindakan-­tindakan mental seperti memikirkan, mendengar, menilai, mencintai? Brentano menjawab pertanyaan itu dengan mengatakan hahwa kesemua tindakan mental itu ditandai oleh keterarahannya kepada sesuatu yang menjadi isinya. Saya memikirkan sesuatu; Saya mendengar sesuatu; Saya menilai dan seterusnya. Jadi, menurut Brentano, ciri tindakan-tindakan mental itu adalah intensional. Husserl mengambil konsep Brentano itu untuk digunakan dalam proyek fenomenologinya. Sejalan dengan Brentano, Husserl menyebutkan hahwa ciri yang esensial dari kesadaran adalah intensional, yakni kesadaran itu selalu mengarah atau menuju kepada sesuatu: objek yang menjadi isinya. Akan tetapi, berbeda dengan Brentano, Husserl tidak mempersoalkan status-realitas objek yang menjadi isi kesadaran. Fenomenologi, menurut Husserl, berurusan dengan penjabaran fenomena kesadaran atau pengalaman-pengalaman, tanpa mempersoalkan apakah objek-objek yang dituju oleh kesadaran itu ada secara kongkret atau hanya khayalan (tidak riel). Kemurnian fenomena yang hendak dijabarkan itu dicapai melalui prosedur yang telah disebutkan di muka, yakni epoche.

Husserl mengungkapkan bahwa jiwa kita berisi gagasan-gagasan yang menjadi pengorganisasi fenomena, sehingga nantinya fenomena itu menjadi Penuh makna. Sementara itu, Dilthey, filsuf Jerman yang berada di jalur tradisi hermeneutika umum memberikan pengaruh kepada Husserl melalui,  gagasannya tentang `dunia hidup' (lebenswelt, lived-world). Dari gagasan tentang dunia hidup itu, Husserl mengungkapkan bahwa segenap tindakan kesadaran berlangsung dalam horison yang tetap, yakni dunia yang disadari atau dialami. Sedangkan Lipps, juga filsuf Jerman, mengarahkan Husserl pada pengembangan gagasan tentang ego transendental, yang intinya menyebutkan bahwa dunia yang keberadaannya selalu menjadi urusan saya dan yang selalu saya alami sebagai fenomenon objektif dan mandiri akan tampak menghadirkan diri sebagaimana adanya dan bisa dipahami oleh ego transendental atau 'diri' yang tersisa (murni) setelah praduga-praduga yang saya pegang disisihkan (melalui prosedur epoche).

F.    Riset Fenomenologis

Studi fenomenologis mendeskripsikan pemaknaan umum dari sejumlah individu terhadap berbagai pengalaman hidup mereka terkait dengan konsep atau fenomena. Para fenomenolog memfokuskan untuk men­deskripsikan apa yang sama/umum dari semua partisipan ketika mereka mengalami fenomena (misalnya, dukacita yang dialami secara universal). Tujuan utama dari fenomenologi adalah untuk mereduksi pengalaman individu pada fenomena menjadi deskripsi tentang esensi atau intisari universal "pemahaman tentang sifat yang khas dari sesuatu" (van Manen, 1990, hlm. 177). Untuk tujuan ini, Para peneliti kualitatif mengidentifikasi fenomena ("objek" dari pengalaman manusia; van Manen, 1990, hlm. 163). Pengalaman manusia ini dapat berupa fenomena, misalnya insomnia, kesen­dirian, kemarahan, dukacita, atau pengalaman operasi bypass pem­buluh koroner (Moustakas, 1994). Peneliti kemudian mengumpul­kan data dari individu yang telah mengalami fenomena tersebut, dan mengembangkan deskripsi gabungan tentang esensi dari pengalaman tersebut bagi semua individu itu. Deskripsi ini terdiri dari "apa" yang mereka alami dan "bagaimana" mereka mengalaminya (Moustakas, 1994). Bahkan, Husserl menyebut semua kejadian yang sedang berlangsung sebagai "fenomenologi" (Natanson, 1973).

Para penulis yang mengikuti langkah Husserl ini tampaknya juga merujuk pada beragam argumen filosofis untuk penggunaan fenomenologi sekarang ini (bedakan, misalnya, landasan filosofis yang dinyatakan dalam Moustakas, 1994; dalam Stewart dan Micku­nas, 1990; dan dalam van Manen, 1990). Dengan melihat semua perspektif ini, kita dapat mengerti bahwa asumsi filosofis berpijak pada sebagian landasan yang sama: studi tentang pengalaman hi­dup dari person, pandangan bahwa pengalaman ini bersifat sadar (van Manen, 1990), dan pengembangan deskripsi tentang      esensi dari pengalaman ini, bukan penjelasan atau analisis (Moustakas, 1994). Pada level yang lebih luas, Stewart dan Mickunas (1990) me­nekankan empat perspektif filosofis dalam fenomenologi:

1.  Pengembalian pada tugas tradisional filsafat. Pada akhir abad ke-19, filsafat telah menjadi terbatas untuk mengeksplorasi dunia dengan cara empiris, yang disebut dengan "saintisme". Pengembalian pada tugas tradisional dari filsafat yang ada sebelum filsafat menjadi terpikat dengan ilmu pengetahuan adalah pengembalian pada konsep filsafat Yunani kuno sebagai pencarian kebijaksanaan.

2. Filsafat tanpa persangkaan. Pendekatan fenomenologis adalah menahan semua pertimbangan dan penilaian tentang apakah yang riil—“sikap  yang alami"—hingga mereka ditemukan pada landasan yang lebih pasti. Penundaan ini oleh Husserl disebut epoche.

3. Intensionalitas kesadaran. Idenya adalah kesadaran selalu diarahkan pada objek. Maka dari itu, realitas dari objek tidak terelakkan terkait dengan kesadaran seseorang tentangnya. Menurut Husserl, realitas tidaklah terbagi men­jadi subjek dan objek, tetapi terbagi menjadi dua watak Car­tesian sebagai “subjek dan objek saat mereka muncul dalam kesadaran”.

4. Penolakan terhadap dikotomi subjek-objek. Tema ini mengalir secara alamiah dari kesengajaan (intensionalitas) kesadaran. Realitas dari objek hanya dipahami dalam makna dari pengalaman seorang individu.

5.      Seorang individu yang menulis fenomenologi tidak lupa untuk memasukkan sebagian pembahasan tentang asumsi-asumsi filosofis tentang fenomenologi di samping metode dalam bentuk penelitian ini. Moustakas (1994) mengha­biskan lebih dari seratus halaman untuk asumsi filosofis se­belum ia beralih pada metode. 

G.   Ciri Utama Fenomenologi

Terdapat beberapa ciri yang secara khas terdapat dalam semua studi fenomenologis. Saya mengandalkan dua buku sebagai sumber informasi utama saya tentang fenomenologi: Moustakas (1994) yang diambil dari suatu perspektif psikologis dan van Manen (1990) yang didasarkan pada orientasi ilmu pengetahuan humaniora:

1.  Penekanan pada fenomena yang hendak dieksplorasi berdasarkan sudut pandang konsep atau ide tunggal, misalnya ide pendidikan tentang "pertumbuhan profesional", konsep Psikologis tentang "dukacita” atau ide kesehatan tentang "hubungan keperawatan”.

2. Eksplorasi fenomena pada kelompok individu yang semuanya telah mengalami fenomena tersebut. Maka dari itu, kelompok heterogen diedentifikasi yang mungkin beragam dalam ukurannya dari 3, 10 hingga 15 individu.

3.  Pembahasan filosofis tentang ide dasar yang dilibatkan dalam studi fenomenologi. Pembahasan ini menelusuri ngalaman hidup dari individu dan bagaimana mereka memiliki pengalaman subjektif dari fenomena tersebut maupun pengalaman objektif dari sesuatu yang sama dengan orang-orang lain. Maka dari itu, ada penolakan terhadap perspektif subjektif-objektif dan karena alasan ini, fenomenologi terletak pada kontinum antara penelitian kualitatif dan kuantitatif.

4. Pada sebagian bentuk fenomenologi, peneliti mengurung dirinya di luar dari studi tersebut dengan membahas pe­ngalaman pribadinya dengan fenomena tersebut. Hal ini tidak sepenuhnya mengeluarkan peneliti dari studi tersebut, tetapi hal ini berfungsi untuk mengidentifikasi pengalaman pribadi dengan fenomena tersebut dan sebagian untuk menyingkirkan pengalaman itu, sehingga peneliti dapat berfokus pada pengalaman dari para parti­sipan dalam studi tersebut. Hal ini adalah ideal, tetapi para pembaca dapat mempelajari pengalaman dari peneliti, dan dapat menilai untuk diri mereka sendiri apakah peneliti berfokus hanya pada pengalaman dari para partisipan dalam deskripsinya tanpa memasukkan dirinya ke dalam deskripsi tersebut. Giorgi (2009) melihat pengurungan ini bukan untuk  yang telah dialami, tetapi untuk mencegah pengetuan masa lalu terlibat ketika sedang menentukan pengalaman. Dia kemudian mengutir aspek-aspek kehidupan lain di mana terdapat tuntutan yang sama. Seorang anggota Juri dalam pengadilan pidana mungkin mendengarkan seorang hakim mengatakan bahwa salah satu bukti tidak dapat diterima; seorang peneliti ilmiah mungkin berharap bahwa hipotesisnya akan mendapat dukungan, tetapi basil-hasiinva ternyata tidak mendukungnya.

5. Prosedur penguinpnilail data yang secara khas melibatkan wawancara terhadap individu yang telah mengalami fenomena tersebut. Akan tetapi, ini bukan ciri yang universal, karena sebagian studi fenomenologis melibatkan beragam sumber data, misainva puisi, pengamatan, dan dokumen.

6.  Analisis data yang dapat mengikuti prosedur sistematis yang bergerak dari satuan analisis yang sempit (misalnya, pernyataan penting) menuju satuan yang lebih luas (misalnya, satuan makna) kemudian menuju deskripsi yang detail yang merangkum dua unsur, yaitu "apa" yang telah dialami oleh individu dan "bagaimana" mereka mengalaminya(Moustakas, 1994).

7. Fenomenologi diakhiri dengan bagian deskriptif yang membahas esensi dari pengalaman yang dialami individu  tersebut dengan melibatkan "apa" yang telah mereka alami dan "bagaimana" mereka mengalaminya. "Esensi" atau intisari adalah aspek puncak dari studi fenomenologis.

 

H.   Tipe Fenomenologi

Ada dua pendekatan dalam fenomenologi yang disoroti dalam pembahasan ini: fenomenologi hermeneutik (van Manen, 1990) dan fenomenologi empiris, transendental, atau psikologis (Moustakas, 1994). Van Manen (1990) sering dikutip dalam literatur kesehatan (Morse & Field, 1995). Sebagai sorang pendidik, van Manen (1990) juga telah menulis buku pelajaran tentang fenomenologi hermeneutik kemudian dia mendeskripsikan bahwa riset diarahkan pada pengalaman hidup (fenomenologi) dan ditujukan untuk menafsirkan "teks" kehidupan hermeneutika) (hlm. 4). Meskipun Van Manen tidak mendekati fenomenologi dengan serangkaian aturan atau metode, ia membahasnya sebagai jalinan dinamis antara enam aktivitas reset. Para peneliti pertama-tama menuju fenomena, "kepedulian yang abadi" (Van Manen, 1990, hlm. 31), yang sungguh kepedulian yang abad  menarik bagi mereka (misalnya, membaca, berlari, berkendara dan mengasuh). Dalam proses tersebut, mereka becermin pada tema-tema inti, yang menyusun watak dari pengalaman hidup ini. Mereka menulis deskripsi tentang fenomena tersebut, memelihara hubungan yang kuat dengan topik penelitian dan menyeimbangkan bagian-bagian dari tulisan tersebut terhadap keseluruhannya. Fenomenologi bukan hanya deskripsi, tetapi juga merupakan proses penafsiran yang penelitinya membuat penafsiran (yaitu, peneliti "memediasi" antara makna yang berbeda; Van Manen, 1990, him. 26) tentang makna dari pengalaman-pengalarnan hidup tersebut.

Fenomenologi transendental atau psikologis dari Moustakas (1994) kurang berfokus pada penafsiran dari peneliti, namun lebih berfokus pada deskripsi tentang pengalaman daripara partisipan tersebut. Di samping itu, Moustakas berfokus pada salah satu konsep dari Husserls, epoche (atau pengurungan), yang para pe­nelitinya menyingkirkan pengalaman mereka, sejauh mungkin, un­tuk memperoleh perspektif yang segar (baru) terhadap fenomena yang sedang dipelajari. Maka dari itu, transendental berarti "segala sesuatunya dipahami secara segar (baru), seolah-olah untuk pertama kalinya" (Moustakas, 1994, hlm. 34). Moustakas mengakui bahwa keadaan ini jarang tercapai secara sernpurna. Akan tetapi, saya sering melihat para peneliti yang menganut ide ini.  Ketika mereka memulai proyek dengan me ologi) dan ditujukan untuk mendeskripsikan pengalaman mereka dengan fenonena tersebut, mereka mengurung pandangan mereka sebelum berproses dengan pengalaman dari yang lain.

            Di samping pengurungan fenomenologi transendental empiris juga mengadopsi Duquesne Studnies in Phenomenological Psychology (misalnya, Georgi, 1985, 2009) dalam prosedur analisi data dari Van Kaam (1966) dan Colaizzi (1978). Prosedur tersebut diilustrasikan oleh Moustakas (1994), adalah sebagai berikut: mengidentifikasi fenomena yang hendak di pelajari, mengurung pengalaman sendiri, dan mengumpulkan data dari beberapa orang yang telah mengalami fenomena tersebut. Peneliti kemudian menganalisis data tersebut dengan metreduksi informasi menjadi pernyataan atau kutipan penting dan memadukan pernyataan tersebut menjadi tema. Berikutnya, peneliti mengembangkan deskripsi tekstural tentang pengalaman dari orang (apa yang dialami oleh para partisipan), deskripsi struktural tentang pengalaman mereka (bagaimana mereka mengalaminya dalam susdut pandang kondisinya, situasinya, dan konteknya), dan kombinasi dari deskripsi tekstural dan struktural untuk menyampaikan esensi keseluruhan dari pengalaman tersebut.

I.      Prosedur bagi Pelaksanaan Riset Fenomenologis

Saya menggunakan psikolog Moustakas (1994) karena ia langkah-langkah sistematis dalam prosedur analisis datanya dan garis-garis panduan untuk menyusun deskripsi- deskripsi tekstual dan strukturalnya. Pelaksanaan fenomenologi psikologis telalh dibahas di sejumlah tulisan, di antaranya Dukes (1984), Tesch (1990)), (Giorgi (1985, 1994, 2009), Polkinghorne (1989) dan yang paling mutakhir, Moustakas (1994). Langkah-langkah prosedural yang utama dalam proses tersebut adalah sebagai be­rikut:

1.  Peneliti menentukan apakah problem risetnya paling baik dipelajari dengan mcnggunakan pendekatan fenomenologis. Tipe permasalahan yang paling cocok untuk bentuk rise ini adalah per­masalahan untuk meniahami pengalaman yang sama atau bersama dari beberara individu pada fenomena. Penting untuk memahami pengalaman yang sama ini dalam rangka mengembangkan praktik atau kebijakan, atau untuk mengembangkan pemahaman yang lebih mendalam tentang ciri-ciri dari fenomena tersebut.

2.  Fenomena yang menarik untuk dipelajari—misalnya, kemarahan, profesionalisme, apa yang dimaksud dengan kurang berat badan (underweight), atau apa yang dimaksud dengan seorang pegulat—dentifkasi. Moustakas (1994) menyediakan banyak contoh tentang fenomena yang telah dipelajari. Van Manen (1990) mengidentifikasi fenomena seperti pengalaman dalam belajar, mengendarai sepeda, atau permulaan sebagai ayah.

3.  Peneliti mengenali dan menentukan asumsi filosofis yang luas dari fenomenologi. Misalnya, seseorang dapat menulis tentang kombinasi dari realitas objektif dan pengalaman individual. Pengalaman hidup ini lebih lanjut bersifat "sadar" dan diarahkan pada objek. Untuk dapat mendeskripsikan secara penuh bagaimana pa­ra partisipan melihat fenomena tersebut, para peneliti harus menyingkirkan, sejauh mungkin, pengalaman mereka.

4.    Data dikumpulkan dari individu yang telah mengalami fenomena tersebut. Sering kali pengumpulan data dalam studi fenomenologis dilakukan melalui wawancara yang mendalam de­ngan para partisipan. Polkinghorne (1989) menyarankan agar para peneliti mewawancarai 5 hingga 25 individu yang telah mengalami fenomena tersebut. Bentuk-bentuk data yang lain mungkin juga di­kumpulkan, misalnya pengamatan, jurnal, puisi, musik dan bentuk , kesenian yang lain. Van Manen (1990) mencantumkan percakapan yang direkam, respons yang ditulis secara formal, dan laporan tentang beragam pengalaman dari drama, film, puisi, dan novel.

5.    Para partisipan diberi dua pertanyam umum (Moustakas, 1994): Apakah yang telah Anda alami terkait dengan fenomena tersebut? Konteks atau situasi apakah yang biasanya mempengaruhi pengalaman Anda dengan fenomena tersebut? Pertanyaan terbuka yang lain juga dapat diajukan, tetapi kedua pertanyaan ini khusunya, diarahkan pada usaha untuk mengumpulkan data yang akan mengantar pada deskripsi tekstual dan struktural tentang pengalamannya, dan dapat memberikan yang lebih baik tentang pengalaman yang sama dari partisipan.

6.    Langkah analisis data fenomenologis secara umum sama untuk semua fenomenolog psikologis yang membahas metode (Moustakas, 1994; Pokinghorne, 1989). Berdasarkan pada data dari pertanyaan riset yang pertama dan kedua, analisis data memeriksa data tersebut (misalnya, transkrip wawancara) dan menyoroti berbagai "pernyataan penting", kalimat, atau kutipan yang menyediakan pemahaman tentang bagaimana para partisipan me­ngalami fenomena tersebut. Moustakas (1994) menyebut langkah ini horizonalisasi. Berikutnya, peneliti mengembangkan berbagai kelompok makna dari pernyataan penting ini menjadi berbagai te­ma.

7.  Pernyataan penting dan tema ini kemudian digunakan un­tuk menulis deskripsi tentang apa yang dialami oleh para partisipan (deskripsi tekstural). Pernyataan dan tema itu juga digunakan untuk menulis deskripsi tentang konteks atau latar yang memengaruhi bagaimana para partisipan mengalami fenomena tersebut, disebut variasi imajinatif atau deskripsi struktural. Moustakas (1994) menambahkan satu langkah lebih lanjut: Para peneliti juga menulis tentang pengalaman mereka dan situasi mereka sendiri yang telah memengaruhi pengalaman mereka. Saya ingin mempersingkat prosedur dari Moustakas, dan merefleksikan pernyataan personal ini di bagian awal dari fenomenologi tersebut atau memasukkannya dalam pembahasan metode tentang peran dari peneliti (Marshall & Rossman, 2010).

8.  Dari deskripsi struktural dan tekstural tersebut, peneliti kemudian menulis deskripsi gabungan yang mempresentasikan "esensi" dari fenomena, disebut struktur invarian esensial (atau esensi). Terutama, bagian ini berfokus pada pengalaman yang sama dari para partisipan. Contohnya, hal ini berarti bahwa semua pengalaman memiliki struktur dasar (dukacita itu semuanya sama, baik yang dicintai itu sebuah boneka, seekor burung, atau seoranganak). Hal ini merupakan bagian deskriptif, satu atau dua paragraph yang panjang, dan san pembaca setelah membaca fenomenologi tersebut memiliki perasaan, "Saya memahami dengan lebih baik seperti apakah  fenomena tersebut bagi seseorang yang  mengalaminya" (Polkinghorne, 1989, hlm. 46).

 

J.    Kesimpulan

Fenomenologi menyediakan pemahaman yang mendalam tentang fenomena sebagaman yang dialami oleh beberapa individu. Me­ngetahui pengalaman yang sama sangat penting dan bermanfaat bagi kelompok, misalnya para terapis, pengajar, tenaga kesehatan, dan para pembuat kebijakan. Fenomenologi dapat melibatkan satu bentuk pengumpulan data yang efisien dengan hanya memasukkan satu atau lebih wawancara dengan para partisipan. Menggunakan pendekatan Moustakas (1994) dalam menganalisis data dapat membantu menyediakan pendekatan terstruktur bagi para peneliti pemula. Di sisi lain, fenomenologi mensyaratkan setidaknya seba­gian pemahaman tentang asumsi filosofis yang lebih luas, dan para peneliti harus mengidentifikasi asumsi ini dalam studi mereka. Ide filosofis ini berupa konsep abstrak dan tidak mudah terlihat dalam studi fenomenologi tertulis.

Di samping itu, para partisipan da­lam studi tersebut perlu dipilih secara hati-hati, yaitu mereka yang semuanya telah mengalami fenomena yang dimaksud, sehingga peneliti pada akhirnya dapat membentuk pemahamann sama. Menemukan individu yang telah mengalami fenomena tersebut mungkin sulit. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya, menggurung pengalaman pribadi mengkin sulit untuk dilakukan oleh peneliti karena penafsiran terhadap data selalu melibatkan asumsi yang dibawa oleh peneliti ke dalam topik tersebut (van Maven 1990). Barangkali kita membutuhkan defenisi baru tentang epoche atau pengurungan tersebut, misalnya menahan pemahaman kita dalam dalam gerakan reflektif yang menumbuhkan rasa ingin tahu  (LeVasseur, 2003). Maka dari itu, peneliti perlu untuk memutuskan hagaimana dan dengan cara apa pemahaman pribadinya akan di­masukkan ke dalam studi tersebut.

Daftar Pustaka

Colaizzi, P.F. (1978). Psychological research as the phenomenologist views it. Dalam R. Vaile & M. Kings (Eds.), Existential phenomenological alternatives for psychology (hlm. 48-71). New York: Oxford University Press.

Dukes, S. (1984). Phenomenological methodology in the human sciences. Journal of Religion and Health, 23, 197-203.

Giorgi, A. (2009). A descriptive phenomenological methods in psychology: A modified Husserlian approach. Pittsburgh, PA: Duquesne University Press.

Husserl, E. 1962. Ideas (Trans by W. R. Boyc Gibson). New York: Coller. First German edition, 1913; firs English edition, 1931).

Husserl, E. 1925. Phanmenologische Psychologie: Vorlesungeng Sommersemester. Haag: Nijhoff

Husserl, E. 1965. Phenomenology and The Crisis of Philosophie. (Trans. With notes and an introduction by Quentin Lauer). New York: Harper Torcbooks.        

Husserl, E. (1970). The crisis of European sciencesand transcendental phenomenology (D. Carr, Trans.). Evanston, IL: Northwestern University Press.

LeVasseur, J.J. (2003). The problem with bracketing in phenome­nology. Qualitative Health Research, 31(2), 408-420.

Lopez, K.A., & Willis, D.G. (2004). Descriptive verversus interpretative

phenomenology: Their contributions to nursing knowledge. Qualitative Health Research, 14(5), 726-735.

Merleau-Ponty, M. (1962). Phenomenologi of perception (C. Smith, Trans).  London: Routledge & Kegan Paul.

Moustakas, C. (1994). Phenomenological research methods. Thousand Oaks, CA: Sage.

Natanson, M. (Ed.). (1973). Phenomenology and the social sciences. Evaston, IL: Northwestern University Press.

Oiler, C.J. (1986). Phenomenology: The method. Dalam P.L. Munhall & C.J. Oiler (Eds. ), Nursing research: A qualitative perspective (hlm. 69-82). Norwalk, CT: Appleton-Century-Crofts.

Polkinghorne, D.E. (1989). Phenomenological research methods. Dalam R.S. Valle & S. Hailing (Eds.), Existential-phenomenological perspectives in psychology (hlm. 41-60). New York: Plenum.

Spiegelberg, H.1967. The Relevance of Phenomenological Philosophy for Psychology. In E. N. Lee & M. Mandelbaum (eds.) Phenomenology and Existensialism. Baltimore: Joms Hopkins Press.

Spiegelberg, H. 1972. Phenomenology in Phychology and Psychatry: A Historical Introduction. Evanston: Nortwestern University Press.

Spiegelberg, H. 1972. What William James Knew about Edmund Husserl. In L. E. Embree (ed.), Life-World and Consciousnes: Essays for Aron Gurwitsh. Evaston: Northwestern University Press.          

Spiegelberg, H. 1982. The Phenomenological Movement (edisi ke-3). The Hague, Netherlands: Martinus Nijhoff.

 

Stewards, D., & Mickunas, A. (1990). Exploring phenomenology: A guide to the field and its literature (edisi ke-2). Athens: Ohio University Press.

Tesch, R. (1990). Qualitative research: Analysis types and software tools. Bristol, PA: Falmer Press.

Van Kaam, A. (1966). Existenstial foundations of psychology. Pitsburgh, PA: Duquesne University Press.

Van Manen, M. (1990). Researching lived experimence: Human science for an action sensitive pedagogy. Albany: State University of New York Press.

0 Response to " "

Posting Komentar