Diri yang kreatif menciptakan baginya harga-diri dan tiada harga diri, ia
ciptakan baginya kegembiraan dan nestapa. Tubuh kreatif menciptakan ruh bagi
dirinya, sebagi tangan untuk kehendaknya. Nietzsche (Zarathustra)
Apa yang asli adalah penggalan yang membangun jarak antara rasio dan
irasionalisasi; penaklukan rasio atas irasinalitas, darinya kebenaran
dipergulatkan sebagai kegilaan ... Michel Foucault (Kegilaan dan Peradaban)
A.
Pendahuluan
Selama lebih dari satu dasawarsa,
postmodernisme berkembang dari status mood ke status realitas, atau setidaknya
realitas-dalam-pikiran. Imperiumnya yang kabur dan tak jelas, yang diproyeksikan
ke depan oleh prinsip-prinsipnya tentang swa-pengalihan-dari-pusat (self de-centring) yang sangat lemah dan
neurotik, prioritasnya yang sulit dikenali dan instabilitasnya yang permanen,
justru meluas dengan naiknya statusnya itu. Yang semula merupakan keprihatinan
yang terbatas, dan sehat, terhadap keterbatasanketerbatasan jalur modernis dalam
seni dan arsitektur telah tumbuh melebihi arogansi, menjadi sebuah kesombongan yang berlebihan, dan
melontarkan kritik terhadap kehidupan modern dan, lebih khususnya, terhadap
bentuk-bentuk pengetahuan dan nilai yang mendukung, menyangga dan melestarikan
kehidupan semacam itu.
Postmodernisme tidak
mengenal disiplin apa pun meskipun tokoh-tokohnya kebanyakan menulis dari
posisi-posisi yang 'terhormat' dalam tradisi-tradisi pemikiran. Postmodernisme
cenderung menyelimuti seperti kabut laut dan mengambil bentuk yang dapat
dikenali sebagai sebuah serangan eksternal terhadap meto‑metode dan nilai-nilai di zaman kita atau
sebagai gejala zaman kita yang ditimbulkan secara spontan, sengaja, dan
internal. Fenomena dengan ukuran dan cakupan sebesar ini perlu kita perhatikan.
la memengaruhi konsepsi-konsepsi kita tentang kebudayaan. la mempertanyakan dan
barangkali mengubah konsepsi-konsepsi kita tentang kebudayaan, atau bahkan jika
sebagian dari pernyataan-pernyataan yang dibuatnya sendiri diinternalkan, ia akan membentuk
kebudayaan kita.
Postmodernisme tidak menawarkan
cara-cara alternatif untuk mengetahui (memperoleh pengetahuan) dari mana kita
bisa menghadapi dan menghargai sesuatu yang taru' secara layak, tetapi
menyindir semua wacana dengan terus-menerus membabat epistemologi-epistemologi
yang ada dan menghadirkan penurunan dan pelemahan pengaruh penjelasan-penjelasan yang didasarkan atas kualitas
wacana yang sama sekali tidak istimewa. Diilhami dari dekonstruksi post-strukturalisme,
Baudrillard mengisi tempat kosong di antara 'yang menandai' dan 'yang ditandai'
lalu membuat pembenarannya melalui sebuah diagnosis, dan bahkan dengan sebuah
pujian, terhadap kecenderungan-kecenderungan entropi dari zaman kita. Menurut
Lyotard, perbedaan antara posisi moral dan politik sama signifikannya dengan
permainan bahasa. sementara teorisi, sang diri (the self), mendapatkan
sinapsis-sinapsis tempat mengalirnya berbagai pesan dari perpotongan dan antar-muka
(interface) dari permainan-permainan tersebut—differend. Di sini pertarungan
atas tanda jelas dimulai, dan tanpa pembenaran untuk pernyataan-pernyataan
sebelumnya. Peraturannya mengatakan bahwa tidak ada aturan-aturan yang
bertahan. Wilayah
ini, teori sosial bertahan atau jatuh[i] seperti halnya konsep kebudayaan itu
sendiri.
Meskipun ide tentang
postmodernisme tampak sengaja menghindari definisi dengan tidak adanya wacana
yang dapat menangkap
proyeknya (karena memang tidak adanya proyek), Hebdige mencoba
membuat sebuah rangkuman yang berani dari bagian-bagiannya yang terserak di
mana-mana; dan sekarang ia dielu-elukan sebagai pemimpin gerakan postmodernis. Dialah pemegang
otoritas untuk memberikan `kantung sampah' bagi konsep yang diperlukan
(ironisnya, tidak ada hak istimewa semacam itu).
Kita diberi tahu bahwa postmodernisme bukanlah
sebuah entitas homogen dan bukan pula sebuah 'gerakan' yang diarahkan secara
sadar. Postmodernisme lebih merupakan sebuah ruang, sebuah 'kondisi', sebuah
'situasi sulit', sebuah uforia, sebuah 'jalan
yang tidak dapat dilewati—di mana tujuan-tujuan, definisi-definisi
dan efek-efek yang bersaing mengalihkan kecenderungan sosial dan intelektual, sementara garis-garis kekuatan
berkumpul dan saling bertabrakan.
Ketika orang-orang bisa memakai
kata 'postmodern' (atau lebih gampangnya menggunakan singkatan yang ada
sekarang seperti 'post atau 'very post) untuk menilai
dekorasi sebuah ruangan,
rancangan sebuah bangunan,
diagesis sebuah film, konstruksi sebuah catatan, sebuah cuplikan video, sebuah iklan TV, atau sebuah dokumentasi kesenian atau
hubungan-hubungan intertekstual
antara jenis-jenis kesenian, tataletak halaman dalam sebuah majalah mode atau jurnal ilmiah, sebuah kecenderungan anti-teleologi dalarm epistemologi, serangan kritik terhadap metafisika
keberadaan, peredaman umum terhadap perasaan, rasa malu dan
proyeksi-proyeksi tidak wajar serta kekecewaan kolektif sebagai generasi baby boomers posca-perang yang dialami oleh orang-orang berusia paruh baya, kondisi-kondisi sulit
dari 'refleksivitas', sekelompok kiasan-kiason retoris, penguatan dan perayaan terhadap segala hal yang berbau permukaan clan sebuh face baru dalam fetisisme komoditas,
keterpesonaan terhadap
citra-citra, kode-kode dan goya-gaya, proses fragmentasi dan/atau krisis budaya, politik dan eksistensi, 'decentering' subjek [= pengalihan orientasi subjek menjauhi pusat] sebuah 'keraguan terhadap
berbagai metanarasi’ digantinya poros‑poros
kekuasaan tunggal dengan keberagaman formasi kekuasaan/wacana,
'runtuhnya makna', runtuhnya hierarki-hierarki budaya, ketakutan
yang ditimbulkan oleh ancaman nuklir akan hancurnya manusia dan
peradabannya oleh dirinya sendiri, penurunan Universitas,
bekerjanya efek-efek miniaturisasi
teknologi-teknologi baru,
pergeseran-pergeseran masyarakat dan ekonomi ke fase
'media', 'konsumen', atau
'multi-nosional' secara luas, perasaan (tergantung pada siapa yang Anda pahami).
Ketercerabutan (plocelessness) (dari
tulisan Jameson mengenai Hotel Bonnaventura) atau kecenderungan orang untuk
menganggap lumrah ketercerabutan (contoh sumber: 'regionalisme kritis' (critical regionalism) oleh
Kenneth Frampton) atau
(bahkan)
semakin menguatnya kecenderungan umum untuk menggantikan
tempat dengan koordinat-koordinat waktu;
jadi, jelaslah
bahwa kita menghadapi sebuah istilah teknis yang sudah menjadi tren.[2]
Jadi inilah dia...
sebuah sebaran bom analisis menunggu untuk dikeluarkan secara acak
dalam bentuk argumen-argumer oleh teroris budaya. Kisah di balik
postmodernisme, meskipun menolak bentuk naratif, bercerita tentang akhir dari
cerita lain yang lebih hebat. Kisah penyimpulnya adalah cerita yang ditulis oleh
gerakan intelektual Pencerahan. Pencerahan membentuk sekumpulan karakter yang
khas dengan motivasi dan tujuan bersama yang khas; dengan demikian, ia memberikan bentuk naratif yang
`agung' bagi sejarah modernitas. Rasio dipandang berada di atas keyakinan,
manusia menjadi ukuran dari segala sesuatu; jadi alam harus diakhiri dan harus
digunakan untuk melayani kebutuhan-kebutuhan manusia, dan waktu diukur dalam kaitannya dengar transisi
dari kegelapan menuju pencerahan—sebuah transisi dan sebuah teori implisit
tentang perkembangan moral yang kemudian dikenal sebagai kemajuan. Sentralitas umat manusia
dan subjektivisme kognitif (mengikuti Descartes) ketika dihubungkan dengan
institusionalisasi bentuk penalaran yang kita sebut dengan ilmu pengetahuan, adalah metodologi
dari rencana-induk. Akan tetapi, sejarah sudah menunjukkan bahwa
pernyataan-pernyataan sepihak dari metodologi ini tentang objektivitasnya dan
perlindungan ideologis dari para praktisinya dalam bentuk kenetralan nilai
sudah menciptakan sebuah akselerasi kekosongan moral. Perang dunia,
teknik-teknik dan teknologi-teknologi pemusnah massal, serta program
produktivitas yang dikendalikan oleh pasar yang kemudian mencemarkan sudah
menambah bobot sisi kekurangan yang mengimbangi manfaat-manfaat yang diberikan oleh kesehatan, pendapatan,
pencerahan, demokratisasi, dan secara keseluruhan, kualitas kehidupan.
B.
Cikal
Bakal Pemikiran Nietzschean
Nietzsche adalah pangeran
irasionalisme; seorang filsuf postmodern yang baru ditemukan (kembali). la
dikatakan sudah memprediksikan dan memuji bangkitnya era alkemi negatif. Tak
diragukan bahwa filsafat stilistiknya berkenaan dengan moralitas—persisnya,
kesia-siaan dan pembongkaran moralitas. Nietzsche membuat serangkaian
pernyataan yang mengesankan mengenai topik dan tujuan filsafat serta
kelemahan-kelemahan dan kemunduran-kemunduran yang dibuat oleh bentuk-bentuk konvensionalnya. Pernyataan
yang paling serius dan bertahan sampai sekarang adalah pernyataan yang
diucapkannya dalam perumpamaan Zarathustra; sang peziarah postmodernitas yang
turun dari semedinya selama sepuluh
tahun di atas gunung yang hanya ditemani oleh kebijaksanaan dan keangkuhan
dari mana ia menyaksikan
tanah-tanah kosong kemanusiaan di sekelilingnya. Pernyataan yang diucapkannya
berkali-kali itu adalah, ‘Tuhan sudah mati'. Ini bukan pengamatan sosiologis sederhana yang
terkait dengan sekularisasi masyarakat Barat modern meskipun mungkin sifatnya
suprastruktural bagi fenomena seperti itu. Hal yang disampaikan oleh sang
filsuf kepada publik adalah tentang runtuhnya pusat dan desentralisasi nilai
yang diakibatkannya. Dalam kontra-pembedaannya terhadap semua metafora
pergantian abad dari teori sosial yang menekankan `integrasi, `solidaritas', `komunitas',
`struktur', `instrumentalitas' dan `kebudayaan' itu sendiri, atau singkatnya,
bahasa penyatuan, Nietzsche
merekomendasikan dispersi atau penyebaran.
Kelangsungan hidup ruh manusia tidak lagi ada di tangan kolektivitas,
tetapi ada dalam penegasan atas sang petarung baru, yaitu individu dalam
penjelmaan seorang Ubermensch (manusia
super). Umat manusia harus melepaskan diri dari politik tatanan protektif dan
masuk ke dalam sebuah penegasan kehidupan sebagai `kehendak untuk berkuasa'.
Bersama dengan ini, muncullah bibit-bibit kritik budaya baru kita.
Aku ajarkan pada kalian wahai
manusia super. Manusia adalah sesuatu yang harus dikalahkan. Apo yang kalian
perbuat untuk mengalahkannya? Selamo ini semua makhluk sudah menciptakan
sesuatu yang melampaui diri mereka sendiri; lalu apakah kalian mau menjadi
surutnya banjir besar ini don bahkan kembali bergabung dengan binatang-binatang
ketimbong mengolahkan manusia? Apa arti primate bagi manusia?
Bohan cemoohan atau kehinaan yang menyakitkan. Dan manusia harus menjadi
sesuatu yang persis seperti itu bagi manusia super: yaitu bahan cemoohan atau
sebuah kehinoon yang menyakitkan. Kahan sudah membuka jalan kalian dari cacing
menjadi manusia, tetapi banyak dari diri kalian yang mosih menjadi cacing.....
Lihatlah! Aku ajarkan pada kalian
wahai manusia super. Manusia super adalah arti bagi bumi. Biarkan kehendak
kalian yang bicara: manusia super harus
menjadi arti bagi bumi ini! Aku mohon pada kalian, saudara-saudaraku, tetaplah setia kepada burnt ini, don
iangan percayai mereka yang berbicara pada kalian tentang harapan-harapan dari
dunia lain! Mereka adolah pencampur
racun
entah mereka sadar
atau tidak. Mereka adalah
penghina kehidupan,
mereka sendirilah yang merosot don teracuni, mereka adalah orang-orang
yang membuat bumi ini lelah: jadi lepaskanlah mereka.[3]
Nietzsche lebih merupakan seorang filsuf yang
didaktik daripada persuasif. la memberi tahu orang secara langsung tentang bagaimana
sebaiknya menjalani hidup mereka dan kuncinya bukan ada pada sejumlah etika
kolektif, yang religius ataupun yang sekuler, tetapi ada pada penumbangan
keyakinan-keyakinan dan konvensi-konvensi manusia pada umumnya. Zarathustra
mendukung tiga doktrin penting, yaitu: kehendak untuk berkuasa, kecurigaan dan
re-evaluasi terhadap nilai-nilai, dan pengulangan abadi (eternal return). Hidup itu bukan latihan dan tidak ada manfaat
yang diperoleh dari kerendahan hati, kepatuhan, atau kepuasan dengan hanya
menjadi nomor dua. Kehendak untuk berkuasa merupakan penegasan eksistensial
diri atas takdir melalui pilihan yang autentik dan refleksif. Nilai-nilai yang
diberlakukan oleh orang lain adalah penghalang bagi realisasi kehendak.
Nilai-nilai itu menghalangi dan membelenggu sehingga layak untuk ditentang,
khususnya nilai-nilai dalam bentuk
keyakinan-keyakinan kolektif, seperti halnya agama Kristen. Nilai-nilai yang
secara ideologis digambarkan sebagai `kebajikan-kebajikan' seperti rasa iba dan kelembutan akan merusak dan melemahkan kehendak untuk berkuasa.
Ubermenschlah (manusia super) yang seharusnya mewarisi bumi, tetapi bukan
dalam kondisi yang terbatas. lni bukan filsafat milenium yang mencari
masyarakat yang 'baik' dalam suatu bentuk
yang stabil dan dapat dikenali—seperti wacana Marx, Weber, dan Durkheim, para
teorisi konvensional—karena, bagi Nietzsche, tidak ada realisasi potensi ataupun
prinsip vital yang diyakini memandu berkembang dan berfungsinya suatu sistem.
Tujuan akhirnya justru ada di dalam ketidakstabilan proses. Kekuatan kehendak dan re-evaluasi yang
terus-menerus terhadap nilai-nilai adalah `kebajikan' itu sendiri. Tak ada poin `akhir' yang dapat
atau harus dipikirkan dan tidak ada nilai-nilai yang baru atau yang lebih baik yang menjadi tujuan dari
keberadaan; yang ada hanyalah tantangan terhadap konvensi. Jika tidak akan ada
akhir, maka proses yang dibangun di atas `narasi besar', `mitos', atau sejarah tidaklah lebih dari sebuah
pengulangan abadi dari situasi-situasi, nilai-nilai, orang-orang dan
benda-benda.
Sikap filsafat Nietzsche terangkum
dengan baik dalam salah satu
bukunya yang berjudul Beyond Good and
Evil yang merupakan sebuah lokus amoral dan apolitik yang mengarahkan orang
untuk mulai dari mana ketika harus 'mendekonstruksi' pemikiran dan praktik
orang lain yang merupakan epistemologi-epistemologi dan kode-kode yang lebih
memiliki wujud dan konteks. Ide-idenya yang intuitif, anti-deduksionis, dan
anti-rasionalis menentang tradisi filsafat klasik dan terang-terangan
menyatakan ketidaksepakatan dengan proyek metafisika sebagai sebuah pengetahuan
tentang keberadaan. Semua sistem metafisika dan paradigma etik menyamarkan asumsi-asumsi
dan kepentingan-kepentingan yang berkomitmen pada perlindungan terhadap sebuah
kestabilan yang lemah yang merupakan kemandegan kehendak dan kemenangan dari
hal-hal yang biasa-biasa saja di atas kekuatan kreativitas.
Serangan keras
terhadap etika sosial ini kemudian diikuti oleh
kehebohan-kehebohan yang menyuarakan bahwa postmodernisme memilih `polisemi’, yaitu banyaknya suara dalam
sebuah kebudayaan yang semuanya menunggu untuk didengar dengan perlakuan yang
setara dan hak yang sama, dari yang tertindas sampai ke yang sekadar belum
tersampaikan sebelumnya.
C.
Perkembangan
Post-Strukturalisme
Saluran yang mengalirkan suara-suara ribut tersebut di atas berasal dari
proyek post-strukturalis yang membawa era 'perbedaan'. Warisan Nietzsche
menjadi berbelok ke kiri dan kemudian muncul dalam bentuk ide-ide intelektual
yang eksperimental melalui penulis-penulis seperti Derrida,
Foucault, Donzelot, Deleuze dan
Guattari.
Teori tanda-tanda yang
dipelopori oleh de Saussure dan diperkuat oleh strukturalisme-nya Levi-Strauss
telah melahirkan pemikiran bahwa semua fenomena budaya pada prinsipnya
memiliki karakter linguistik. Lebih dari itu, sistem budaya/linguistik
digambarkan sebagai sistem aturan yang arbitrer tetapi terbatas pada tingkatan
formal [=bentuk] yang mampu menghasilkan sejumlah sistem aturan lain. Sistem
ini tidak memiliki kebutuhan biologis dan ia juga arbitrer dalam kaitannya dengan simbol-simbolnya. Potensi yang
dibangun dalam sebuah sistem budaya yang seperti ini ada pada kemampuannya
menyadari keberadaan realitas-realitas yang cakupannya tidak terbatas. Hubungan-hubungan
antar individu dapat ditata ulang sebagai konsekuensi langsung dari
karakteristik-karakteristik formal
sistem budaya. Maka, fakta bahasa manusia sebagai fakta kebudayaan manusia,
menciptakan potensi ketidakstabilan dalam struktur komunikasi. Dengan
demikian, makna di dalam kebudayaan, sebagaimana dalam bahasa, adalah soal 'perbedaan'.
Melalui kehendak-untuk-berkuasanya yang anti-konvensional,
`dekonstruksi'terhadap nilai-nilai sistem yang berkelanjutan, dan komitmennya
terhadap 'proses ketidakstabilan', post-strukturalisme
menegaskan pemikiran ini lebih lanjut.
Jika strukturalisme memisahkan tanda
dari
referen ... 'post-strukturalisme'
bertindak selangkah lebih jauh: ia
memisahkan antara
'yang memberi tanda'
dan 'yang ditandi.'
Cara
lain untuk menjelaskan apa
yang telah di
paparkan
di atas adalah bahwa makna tidak (langsung
hadir dalam
sebuah tonda.
Karena makna sebuah
tanda
mengacu
pada sesuatu
yang bukan tanda
tersebut, maka,
dalam
pengertian
tertentu maknanya selalu tidak hadir pula dalam tanda
itu. Bisa kita katakan bahwa makna itu tersebar di sepanjang rantai penanda; ia
tidak mudah ditentukan dan
tidak pernah benar-benar hadir dalam satu tanda pun. Yang terjadi adalah semacam kerlipan konstan dan nyala-redupnya kehadiran dan
ketidakhadiran
secara bersamaan.
Membaca
sebuah teks lebih seperti melacak proses nyala-redup yang terus menerus
tersebut daripado menghitung jumlah manik-manik dalam seuntai kalung.[4]
Peran utama Derrida
dalam re-evaluasi post-strukturalisme terhadap makna, meskipun banyak dipakai
sebagai sebuah model dalam analisis budaya, tampak jelas mengambil bentuk yang
terpusat pada teks'. Bahkan, fenomena-fenomena budaya lainnya dapat dianggap
memiliki genre yang sama dengan teks
atau representasi-representasi metafora teks. Implikasi-implikasi pembongkarannya
terhadap acuan dalam makna dan juga terhadap status subjek dalam mengetahui
(knowing) adalah hal yang serius bagi formulasi-formulasi makna `budaya' kita
yang semakin terrelatifkan dan cair.
Apabila makna diperoleh secara terus-menerus dari permainan penanda-penanda,
pengulangan terhadap ketidakstabilan proses, dan kita selamanya selalu memulai
dari sebuah keyakinan bahwa `seluruh dunia ini adalah sebuah teks', maka yang
dikenal/diketahui atau bisa dikenal/diketahui beradati luar wilayah
subjektivitas semata. Apakah ini barangkali pencarian atas `penanda
transendental' dalam bentuk sebuah kesadaran alam semesta? Nyatanya, serangan
terhadap `metafisika-metafisika keberadaan', yang sudah disebutkan sebelumnya,
merupakan sebuah strategi untuk menghentikan pendasaran fenomenologis pada
kesengajaan atau intensionalitas yang tumbuh dari pemusatan terhadap cogito,
atau subjek, atau diri. Melalui Derrida kita tidak lagi bergantung pada
ketergantungan dan kebutuhan akan praktik-praktik pemahaman yang ada dengan
sendirinya (self-present) dan mengacu
pada diri sendiri (self-referential) yang
sudah mendukung `Rasio' di belakang kesadaran pemikiran Barat
pasca-Pencerahan. Menurut Derrida, `perbedaan' yang dibangun oleh de Saussure
menjadi tidak memadai uncuk menangani permasalahan penandaan. Karena itu,
Derrida memperkenalkan konsep baru dari differance yang meskipun amat kompleks,
dijelaskan secara singkat dan padat oleh Callinicos:
Neologisme ini adalah suatu hal yang akan disebut Lewis Carroll sebagai ' portmanteau word [= kata
yang membaurkan
dua
bunyi dan
memadukan makna dari dao
kata yang berbeda; contohnya, breakfast dan
lunch menjadi
brunch-pen.). Neologisme
tersebut memadukan makna dari dua kata, yaitu 'to differ [= membedakan]
dan 'to defer [= menangguhkan]. Pertama, ia menegaskan prioritas permainan
dan perbedaan di atas
kehadiran dan
ketidakhadiran; dan
kedua, perlunya hubungan
dengan kehadiran dalam
perbedaan karena
sebuah kehadiran selalu ditangguhkan (ke masa yang akan datang atau masa lalu),
tetapi terus-menerus dimunculkan.
Kehadiran menjadi intrinsik bagi perbedaan seperti halnya kehadiran bagi ketidakhadiran.[5]
Tidak ada lagi sistem pemaknaan tertutup; yang
ada adalah sebuah wawasan yang terbuka terhadap kemungkinan-kemungkinan dan
substitusi-substitusi tak terbatas tanpa kepastian bagi subjek kecuali melalui
kebohongan konvensi budaya. Realitas di-estetik-an dan bentuk-bentuk budaya tidak lain hanyalah bentuk-bentuk dan sarana-sarana stilistik
dalam sebuah teks tertulis (tetapi dipisahkan dari penulisnya).
Di luar pandangan kebudayaan ‘tekstual' Derrida, Foucault dan
para pengikutnya mengambil jalan lain. Teori sosio-kultural poststrukturalis
mereka telah menghilangkan atau `mendekonstruksi'
kausalitas struktur yang menindas. Dengan demikian, semua penjelasan tentang
tindakan menjadi sebuah penjelasan tentang antar-muka (interface) antara politik dan psikologi yang kita lihat dalam
analisis keluarga sebagai unit kontrol oleh Donzelot, atau dalam
analisis-analisis Foucault mengenai pembentukan subjek-subjek (atau ke-diri-an
(person-hood)) melalui penologi [=kajian ten-tang hukuman atas kejahatan dan
manajemen penjara-pen.], seksualitas, kegilaan atau rezim-rezim kedokteran.
Tulisan ilmiah mereka memberikan sebuah `sejarah masa kini' melalui
serangkaian genealogi modernitas imajinatif. Ide tentang kehendak-untuk-berkuasanya
Nietzsche direvisi menjadi `kehendak atas
kebenaran' dan sinkroni-sinkroni baru dengan masa lalu menjadi dipahami sebagai
`kekuasaan-pengetahuan'.
Jika kita keluar dari
puitika anti-manusianya Derrida dalam Grammatology, kita akan menjumpai suatu
hal yang bisa dikatakan sebagai politik yang lebih terejawantahkan dalam
cerita-cerita Foucault tentang contoh-contoh penggunaan kekuasaan yang tak
lekang oleh zaman tetapi terkait secara tak terbatas dan bergerak menuju
subjek.
Bagi Foucault, proses ini adalah spiral-spiral kekuasaan dan
pengetahuan
yang berulang. la menggambarkannya sebagai ruang total dan
abadi
yang ia
ciptakan di sekitar
sosok panopticon [=penjara dengan bentuk ruangan melingkar dan selselnya dibangun di sekeliling
mata
air utama-pen.] yang sangat tidak menyenangkan dengan menara pengawas yang
berdiri di tengah-tengah lapangan penjara—voir dalam savoir/pouvoir, atau
melihat dalam
mengetahui.[6]
Kebudayaan menurut Foucault, tidak terbentuk
dari garis keturunan dan warisan turun-temurun yang dapat dipahami di bawah
nama tradisi.Tesis tentang kesinambungan pemahaman kolektif semacam itu tidak
hanya bersifat referensial, karena lebih memprioritaskan penanda, tetapi juga
berbasis-subjek, yang memecah-mecah pengetahuan menjadi bagian-bagian melalui konsep sehingga menjaurikannya dari
tujuan yang lebih besar. Tujuan lebih besar yang dimaksud adalah pemahaman sejarah di luar `epistem klasik' dan fiksi
dari `narasi besar' yang memiliki kemampuan merangkul segala hal.
Arkeologi-arkeologi pengetahuan Foucault memberikan penilaian-penilaian terhadap `forrnasi-formasi wacana' yang
lolos dari berbagai determinisme dan reduksionisme-reduksionisme historiograf
ia serta memberi peluang bagi adanya
permainan penanda-penanda budaya untuk mendukung makna dalam konteks-konteks
di luar teks. Maka di sinilah perulangan abadi (eternal recurrence) dari teori Nietzche ditenangkan dan `ontik/ontologis'-nya Heidegger dihadirkan
untuk membantah penuntasan metafisika melalui sejarah.
Dalam pandangan Foucault, dunia
kebudayaan dibentuk melalui sebuah sistem simbolik yang harus ditanggapi
dengan kecurigaan paling besar. Sistem ini, sebagai sebuah permainan penandapenanda,
merupakan sebuah konstruksi makna melalui penggunaan kekuasaan. Estetika dapat
mewujudkan rasionalitas politik; rasionalitas, bahkan kedekatan, dapat
beroperasi melalui pengawasan; dan artefak-artefak yang biasa-biasa saja atau
formasi yang tidak terlalu dianggap membawa sinkronisitas-sinkronisitas kendali
dan hambatan di beberapa wilayah lain dari kehidupan sosial. Jadi, Foucault
memunculkan konsep `kepemerintahan' yang merupakan `kumpulan yang terbentuk
dari institusi-institusi, prosedur-prosedur, analisis-analisis dan refleksi-refleksi serta perhitungan-perhitungan dan taktik taktik yang
memberi jalan digunakannya bentuk kekuasaan yang sangat spesif ik tetapi kompleks yang targetnya
adalah penduduk'.[7]
Ketika tertarik
terhadap tirani yang menyenangkan dari prosa post-strukturalis yang eksotik,
seperti yang gampang orang lakukan, akan mudah melupakan atau mencemooh input
politisnya dalam kajian tentang kebudayaan; kecenderungan ini paling kelihatan
di wilayah analisis feminis dan paling mengesankan penyampaiannya dalam
tulisan Kristeva. Persis seperti aliran pemikiran Foucauldian, yang membuang
konsep struktur dalam menjelaskan fenomena-fenomena budaya, perspektif feminis pun mulai mengkritik
kecenderungan `menyamaratakan' yang ada pada pandangan-pandangan semacam itu.
Meskipun menjadi sebuah tahapan penting dalam perkembangan politik gender,
feminisme gelombang pertama masih menangani isu-isu struktural: tuntutan akan
hak-hak yang setara yang tumbuh dari feminisme liberal, dan pengungkapan
eksploitasi dan penindasan yang biasa melekat pada peran-peran tenaga kerja
domestik, beban melahirkan dan mengasuh anak, yang kesemuanya dikedepankan oleh
feminisme Marx-is. Selanjutnya muncullah
gelombang kedua teorisasi, yang menuntut pengakuan atas sentralitas
`seksualitas' dan 'gender' dalam setiap pembicaraan tentang identitas dan
subjektivitas. Post-strukturalisme, dalam segala upaya tak terhormat dan kerja keras yang dilakukannya untuk menghancurkan
batasan-batasan kaku yang mengungkung makna, melakukan perusakan dan
penghancuran terhadap berbagai `kombinasi' atau `oposisi-oposisi biner' yang
sudah lama menjadi sesuatu yang begitu penting bagi sistem bahasanya de
Saussure dan sistem budayanya Levi-Strauss (yang sudah membicarakan tentang
`pertukaran perempuan'). Bentuk-bentuk biner yang tersebar paling luas dan
paling erat kaitannya dengan terhambat atau terfasilitasinya kebudayaan 'yang
difemininkan' adalah laki-laki/perempuan, budaya/alam dan kognitif/afektif.
D.
Postmodernisme; Pencapaian Hasil
Elemen lain yang signif ikan tetapi sering tidak
dimainkan perannya atau dilupakan dalam percampuran faktor-faktor postmodern
adalah kontribusi teori-teori sosiologi liberal dan konservatif yang berkenaan
dengan struktur hubungan-hubungan sosial yang berubah di akhir modernitas. Bell
yang memproklamirkan akhir ideologi barangkali memulai era 'yang tampak' dari
bentuk 'post-' dengan pandangannya yang menggambarkan pergeseran dalam bentuk maupun hubungan-hubungan produksi.
Bell dan Touraine menyatakan bahwa
landasan produksi sudah bergeser ke pasca-industri (post-industrial) melalui kekuatan-kekuatan pasar dan kemajuan
teknologi. Sementara itu, jauh sejak polarisasinya diakui dan bagian tengahnya [kelas-menengah]
makin membengkak, sistem stratifikasi sosial sudah berubah, dengan menyebarkan
antagonisme-antagonisme kelas konvensional ke dalam pasca-kapitalis (post-capitalist).
Bauman mengatakan bahwa kedua konsep ini `dapat mendukung tujuan yang ingin
dicapai dengan baik: kedua konsep tersebut
menajamkan perhatian kita terhadap hal-hal yang baru dan tidak berlanjut, dan
juga menawarkan titik acuan bagi argument-argumen tandingan yang berpihak pada kesinambungan'.[8] Dapat dikatakan
bahwa yang sudah terjadi di luar ini adalah sebuah arus konseptual yang
mengalir perlahan, sebuah asumsi sementara bahwa postmodernisme, dalam pengertian tertentu, adalah sebuah aliran
yang langsung mengalirkan substansi atau partikel berupa kondisi-kondisi
struktur yang berpotensi berubah: yaitu bahwa ini adalah sebuah realisasi
superstruktural dari pergeseran-pergeseran atau perubahan-perubahan yang terjadi di landas material.
Ini adalah pencurian ide yang bisa dinisbahkan kepada Lyotard ketika dia
mengatakan bahwa postmodernisme `menjelaskan keadaan kebudayaan kita setelah
terjadinya berbagai transformasi yang, sejak akhir abad kesembilan betas,
telah mengubah aturan-aturan
main bagi ilmu pengetahuan, kesusastraan, serta seni.[9]
Pemikiran ini tampak
memberikan status objektif pada postmodernisme. Karakternya menjadi deskriptif
untuk `kondisi kebudayaan kita'; derajatnya tidak dapat diturunkan menjadi
hanya sekadar sebuah ide, sebuah abstraksi, sebuah mood atau sebuah tren. Manifesto Lyotard Iebih dari
sekadar saran, tetapi sudah seperti undang-undang yang diam-diam penuh dengan
nilai. Manifesto tersebut menyapu kemenangan-kemenangan rasio dan perjuangan
politik sepanjang sejarah Barat (sekumpulan nilai alternatif) dan is membuka
forum bagi ketidakpuasan-ketidakpuasan terhadap ketakterbatasan
kepentingan-kepentingan golongan oposisi minoritas yang sekarang 'hams
didengar'. Nilai-nilai yang dibawanya, jika bisa dibilang demikian, merupakan
kekecewaan, kesiasiaan, keputusasaan, dan anarki. Seolah-olah 'apa saja boleh'
dalam artian nihilisme yang sesungguhnya. Tragedi dari perintah ini, yang juga
direkomendasikan untuk metode ilmiah oleh Feyerabend,[io] adalah bahwa
sementara beberapa 'hal' harus didengar dengan suara yang cukup keras untuk
membungkam akal sehat, semua hal 'bergerak' sama kompetitifnya dan karenanya
tersebar di bawah lambang postmodernisme. Kita dituntun pada ketidakjelasan
sebagaimana Ellis yang menggunakan 'pembunuh berantai. sebagai
kiasan untuk manusia postmodern sejati atau Baudrillard yang meminta kita membayangkan
bahwa Perang Teluk hanya terjadi di televisi kita saja. lni harga yang sangat
tinggi yang harus dibayar untuk menghindari efek-efek `totalisasi' teori
sosial.
McHale[11] menjelaskan bahwa tiap teorisi dan komentator `membangun' postmodern
dengan cara yang berbeda-beda dan untuk tujuan yang berbeda-beda pula. la juga
berpendapat bahwa semua cerita 'pada akhirnya fiktif'—sebuah upaya yang
benar-benar non-referensial! McHale juga menyatakan bahwa postmodernisme
memperlihatkan sebuah `dominan' ontologisme sebagai lawan dan reaksi dari
`dominan' epistemologis dari modernisme. Pengklasifikasian ini bukan cara yang
tidak memihak untuk membedakan antara fenomena yang satu dengan fenomena yang
lainnya, tetapi ia didasarkan pada
pasangan-pasangan biner yang seharusnya dianggap usang oleh
post-strukturalisme. Pasangan-pasangan biner tersebut juga sangat membayangi
definisi-definisi Harvey[12] di mana modernisme
berurusan dengan paradigma, hipotaksis dan
formasi-formasi biner genital/phallic sebagai oposisi dari kesibukan postmodern dengan
sintagma, parataksis, dan formasi
biner polymorphous/androgenous. Kesemuanya ini berupaya untuk menempatkan
kembali postmodern dalam lingkup penalaran konvensional dan sistem-sistem
makna tertutup.
Akan tetapi, kesinambungan ini
tidak akan cukup. Baik Baudrillard maupun Lyotard, dengan cara mereka
masing-masing, menghilangkan kemungkinan pengaruh pembentukan teori anteseden
dengan hipotesis tentang keterputusan yang tak pernah terjadi sebelumnya antara
masa lalu dan masa kini. Hipotesis ini mengasumsikan adanya sebuah lompatan
langsung ke dalam postmodern, yang merupakan perluasan dari sebuah arogansi
besar, yaitu sesuatu yang, ironisnya, oleh Kellner[13] disebut sebagai teori
tentang `jeda epistemologis' yang didasarkan pada sebuah `meta-naratif tentang
watak sejarah masa kini. Baudrillard sudah mempersiapkan kita untuk menerima
kegagalan kesinambungan sejarah ini melalui pernyataannya yang mengumumkan berakhirnya sejarah' (hal ini tentu
saja merupakan pengembangan dari salam perpisahan Nietzschean terhadap
ketuhanan dan reduksi khas Foucault yang mengecilkan sosiologi menjadi sesuatu
yang hanya memiliki peran `kekuasaan-pengetahuan'). Tampaknya ikatan sosial
dalam postmodernisme menyebar di dalam tumbuh suburnya tanda-tanda, sementara
realitas kebersamaan kita direka melalui serangkaian kemiripan yang selalu
dapat dibuat lagi—simulasi-simulasi simulacra
(tentu saja penyusutan aura dari hiperbola Benjamin terkandung dalam
pandangan tentang `perulangan yang kekal'). Sejarah tidak lagi ditahbiskan
melalui keinginan dan tujuan manusia, tetapi melalui sebuah teknologi
sibernetik yang tampaknya semiotonom. Model-model atau kode-kode yang berbeda,
tetapi seragam (ditransposisikan dari `teks-teks' poststrukturalisme) membangun
kehidupan melalui organisasi sosial. Modernitas meledak melalui `pertumbuhan'
dan `produksi' menjadi perbedaan-perbedaan; postmodernitas mendukung de-diferensiasi yang melemahkan karena
meruntuhkan simulasi-simulasi dari dalam. `Lubang hitam' yang konsumtif tetapi
non-generatif menjadi sebuah metafora utama yang pas dan berkarakteristik fiksi-ilmiah.
Postmodernisme Lyotard merupakan kondisi yang agak lebih kognitif dibanding
postmodernisme Baudrillard yang meskipun mengabaikan ideologi sosiologi, ia masih mendiami ranah yang sama.
Lyotard pada prinsipnya menawarkan sebuah komentar terhadap pengetahuan, bukan
sebuah deskripsi tentang struktur-struktur sosial meskipun dalam banyak kasus,
hal itu tergantung secara implisit pada rumusan Baudrillard tentang
struktur-struktur tersebut. la tampak berniat mengembangkan sebuah
epistemologi yang sesuai dengan kondisi-kondisi pengetahuan yang baru muncul,
tetapi ini pernyataan yang terlalu hebat tentangnya. Pembentukan teori ini akan
menempatkannya dalam posisi yang membawa kelanjutan proyek Marxis dalam
mengembangkan kategori-kategori pemahaman yang secara historis sesuai. Lyotard
menampilkan dirinya di pihak yang menentang epistemologi; ia menolak `meta-naratifnya, yaitu nilai-nilainya
yang cenderung menengok ke belakang dan pemikiran totalisasinya yang seperti
visi humanistik terhadap sebuah komitmen moral altruistik yang melekat pada
tradisi sosiologi. Sebagai oposisi atau substitusi terhadap hal tersebut,
Lyotard menawarkan dipraktikkannya 'permainan-permainan bahasa pada level
lokal'—ini merupakan kunci untuk membuat 'masa kini' menjadi dapat dipahami. Dalam hal ini ia
mengatakan bahwa penggantian `homologi ahli' dengan `parologi inventor' adalah suatu hal yang diharapkan:
Apakah ini sebuah upaya pembenaran untuk demokratisasi atas seluruh pernyataan
pengetahuan atau barangkali sebuah pembangkitan prinsip `pemalsuan'
kontemporer? Jawabannya tentu saja bukan keduanya. Hal ini adalah keraguan
radikal Descartes yang berubah menjadi schizoid
(=kecenderungan menarik diri dan
menyendiri), dan kondisi ini
senada dengan kehancuran minirnalis yang menyedihkan di jantung penampakan
kegelapan hiper-real dalam postmodernisme yang dituturkan oleh Kroker dan
Cook.[14] Tampaknya, pesan yang ingin disampaikan di sini adalah bahwa
menghadapi generasi-generasi rasio yang menindas dan eksploitatif dan pemikiran
yang tertata, konsepsi 'post-' menuntut logika yang cacat, kesalahan-kesalahan,
dan kecelakaan sebagai landasan metodologisnya.
Ide-ide yang disebut
terakhir di atas, sayangnya reaktif terhadap status quo, seperti suara-suara
anak remaja. Sebagaimana yang dikatakan oleh Hutcheon, barangkali
`Postmodernisme secara paradoks berhasil melegitimasi kebudayaan (balk yang
adiluhung maupun yang rendahan) bahkan ketika ia merendahkannya’[15]
Sikap apa pun yang ditunjukkan
seseorang terhadap postmodern tak dapat diabaikan karena sikap tersebut adalah
fenomena budaya itu sendiri. Sikap ini sudah merembes ke dunia akademik dan
media sehingga perlu mendapat tanggapan. Bisa saja ia hanya dianggap artefak, 'dekorasi sebuah ruangan' atau rok
mini yang dikombinasikan dengan sepatu boot tentara, atau bisa saja ditanggapi
dengan serius sebagai sebuah usaha untuk menteorikan sesuatu 'yang baru'—yang
sedang berjalan.
Kesuliten-kesulitan
yang biasa ditemui dalam mengenali yang kontemporer sudah
banyak
diketahui orang. Pengetahuan
sering kali
diklaim hanya
dapat diperoleh dan
dinikmati dalam pengertian
tertentu dan
sebagai sesuatu yang sudah paripurna.
Oleh karena
itu, pernyataan
yang mengaku tabu tentang yang kontemporer sering dipandang sebagai semacam kekerasan
konseptual, sebuah usaha
untuk memadatkan
energi-energi cair dan
tak
berbentuk dari masa ini yang
sedang
teriadi sekarang
dan mendesak (tetapi rapuh
dan
kabur) menjadi sesuatu bentuk yang dapat diketahui, dikenal
dan
diperbincangkan
oleh tindakan-tindakan pemilihan kritis yang
mendasar
dan tak depat
ditarik kembali. Formulasi
ini berlandaskan
pada pemahaman
tentang pemisahan antara pengalaman
dan
pengetahuan yang merupakan karakteristik
bawaan.
Formulasi ini mengacu pada keyakinan bahwa ketika kita
menjalani
pengalaman
hidup, kita hanyo bisa
memahaminya
sehagian
saja,
dan ketika kita
mencoba untuk memahami
kehidupan maka
kita
tidak lagi
mengalaminya. Menurut formulasi
ini, pengetahuan
selalu ditakdirkan untuk datang
terlambat
di lokasi teriadinya pengalaman.[16]
Meskipun cacat, tidak
lengkap, atau mustahil di beberapa termpat, sikap postmodernisme adalah mempertanyakan keterputusan itu. Ini
bukan sekumpulan pemikiran, bukan pula sebuah metode, tetapi dapat menjadi
sebuah sikap terhadap kebudayaan.
Postmodernisme selalu mulai dari
masalah-masalah yang ditetapkan oleh karakter 'yang dibahasakan' dari kebudayaannya.
la tak dapat melepaskan dari dan tidak berusaha
melepaskan diri dari masalah referensi dan representasi.
Postmodernisme menyaksikan
transformasi bentuk pengetahuan yang dominan dalam masyarakat Barat. Ilmu
pengetahuan dan ideologinya—saintisme (scientism)—sudah bergerak dari keyakinan
terhadap karakter eksternalitas yang tertata menuju sebuah hubungan metaforik
dengan kosmos. Ketika kita menyambut gembira menyusutnya empirisme 'yang
dilakukan tanpa pikir panjang' (mind-less)
dan positivisme `tanpa-nilar (value-less),
postmodernisme memikirkan dan mulai menangani kebangkitan 'teknosains' dengan kecepatan,
perhitungan, kehalusan, dan sikap intervensinya. Kemampuannya untuk meniru dan
menjauhkan diri (the self) dari realitas apa pun yang mungkin pernah ada
sangatlah cepat dan semakin cepat.
Postmodernisme menaruh
perhatian terhadap kesetiaan `tekno-sains' terhadap kapitalisme konsumen
nasional dan trans-nasional yang diperlukan. Materialitas praktis realis dari
kehidupan sehari-hari menjadi berkurang karena representasi, dan dengan
demikian, menjadi di-estetik-an.
Postmodernisme sudah
tidak lagi percaya kepada `narasi besar/narasi induk/meta-naratif' milik
epistemologi-epistemologi tradisional.
Postmodernisme merayakan begitu
banyaknya perbedaan masa kini dalam seksualitas, gender, kesukuan, seni, dan
penulisan yang sebelumnya tidak pernah terucapkan (atau hanya dibisikkan)...
Kalau bukan sekadar sebuah penyelesaian konflik dan pengawasan dan
pengaturan terhadap perbedaan, barangkali `cita-cita Eropa baru' akan bisa
menjadi perwujudan dari sebuah kebudayaan postmodern—simbolisme yang abadi,
universal, tanpa konteks, dibebaskan dari tradisionalisasi, spontan, dan tidak
memihak.
Catalan
[1]
Baca Z. Bauman, Intimations of Postmodernity,
London:
Routledge (1992); A. Callinicos, Against Postmodernism. Cambridge: Polity (1989); C. Jenks (ed.), Cultural Reproduction, London: Routledge (1993).
Routledge (1992); A. Callinicos, Against Postmodernism. Cambridge: Polity (1989); C. Jenks (ed.), Cultural Reproduction, London: Routledge (1993).
[2]
D. Hebdige, 'A report on the Western Front:
postmodernism and the "politics" of style', dalam C. Jenks, op. cit.
[3]
F. Nietzsche, Thus Spoke Zarathustra, dalam W.
Kaufman(ed.), The Portable Nietzsche, New York: Viking Press (196Ehlm.
124-125.
[4]
T. Eagleton, Literary Theory: An Introduction,
Oxford: Blac. well (1983), hlm. 128.
[5]
A. Callinicos, Is There a Future for Marxism?,
London: Macmillan (1982), hlm. 46.
[6]
D. Hebdige, Hiding in the Light, London: Routledge (19881. hlm. 200.
[7]
M. Foucault, 'On Governmentality', Ideology and
Conscious-
ness 6, 1979, hlm. 20.
ness 6, 1979, hlm. 20.
[8]
Z. Bauman, 'Is there a postmodern sociology?',
Theory, Culture & Society Vol. 5 (2-3), 1988, hlm. 217.
[9]
J.-F. Lyotard, The Postmodern Condition,
Manchester: Manchester University Press (1984), hlm. 23.
[io] P. Feyera bend, Against Method, London:
Verso (1978).
[ii] D. McHale, Postmodernist Fiction, London:
Methuen (1987). [12] D. Harvey, The Condition of Postmodernity, Oxford:
Blackwell
(1989).
[13] D. Kellner,
'Postmodernism as a social theory: some challenges and problems', Theory,
Culture & Society Vol. 5,1988, hlm. 239-269.
[14] A. Kroker dan D. Cook,
The Postmodern Scene: Excremental Culture
and Hyper-aesthetics, NewYork: New World Perspectives (1986).
[15] L. Hutcheon, The
Politics of Postmodernism, London: Rout-ledge (1989), hlm. 15.
[16] S. Connor,
Postmodernist Culture, Oxford: Basil Blackwell (1989), hlm. 3.
[17] T. S. Eliot, Notes
Towards a Definition of Culture, New
York: Harcourt (1948).
Terima kasih, tapi saya kurang mengerti maksud polarisasi di sini itu apa ya?
BalasHapus