Clifford
Geertz, Tentang
Tafsir Kebudayaan:
Teori, Metode dan Praktik
1. Biografi Clifford Geertz[1]
Clifford
Geertz dilahirkan di San Fransisco, California pada tahun 1929. Setelah
menyelesaikan pendidikan menengah, dia masuk Antioch College, Ohio, dan pada
tahun 1950 meraih gelar B.A di bidang Filsafat dari Antioch College, kemudian melanjutkan studi
antropologi di Universitas Harvard. Pada waktu itu, studi lapangan telah
menjadi pijakan dasar dalam riset-riset
dan antropologi di inggris dan Amerika. Sewaktu masih jadi mahasiswa pasca
sarjana, Geertz pun memilih studi lapangan untuk studinya.
Pada
tahun ke dua di Harvard, bersama istrinya, dia berangkat ke pulau Jawa dan
menetap di sana selama dua tahun, mempelajari masyarakat yang terdiri dari
berbagai suku bangsa dan agama di sebuah kota kecil di pulau Jawa. Sekembalinya
di Harvard, dia berhasil meraih gelar doktor di bidang antropologi dari Departement
of Social Relation pada tahun 1956. Bersama istrinya, dia kembali memilih
lokasi riset di Indonesia, kali ini di pulau Bali. Sama seperti pulau Jawa,
Bali merupakan salah satu bagian dari Republik Indonesia. Berbeda dengan pulau
Jawa yang penduduknya mayoritas beragama Islam, Bali memiliki agama tersendiri
yang terdiri dari berbagai kepercayaan dan ritual, yang diderivasikan dari
agama Hindu.
Sama
seperti Evans Pritchard yang melakukan riset di tengah suku Azenda dan Nuer
sebagai basis teoritis bagi tulisan-tulisannya, Geertz pun menjadikan riset-risetnya
di pulau Jawa dan Bali ini sebagai pondasi utama tulisan dan analisis-analisis
selanjutnya. Terutama dalam hal agama, kontak langsungnya dengan masyarakat
Indonesia telah memberikan sumber dan stimulan-stimulan terhadap ide-idenya
dikemudian hari. Awalnya Geertz memang berpandangan bahwa suatu agama akan
tergambar oleh kondisi masyarakat pemeluknya, sebagimana yang selama ini
diyakini oleh penganut fungsionalisme, namun kenyataannya masyarakat pun akan
ditunjukkan oleh agama yang mereka anut.
Pada
tahun 1958, setelah menyelesaikan risetnya di Bali, Geertz bergabung dengan
Universitas California di Berkley, kemudian pindah ke Universitas Cicago dan
bekerja di sini selama sepuluh tahun, dari tahun 1960-1970. Di tahun 1960, dia
mempublikasikan buku The Religion of
Java, sebuah buku yang menjelaskan kepercayaan, ritual dan adat-istiadat
yang terdapat di tempat riset-risetnya. Studi ini lebih mendalam dari apa yang
telah dihasilkan oleh Evans Pritchard, bahkan dengan cakupan yang lebih luas.
Sebab masyarakat yang dipilih oleh Geertz sangat kompleks dengan adanya
pembauran berbagai budaya di dalamnya ketimbang masyarakat Afrika yang
terpencil, seperti Azande dan Nuer di pedalaman Sudan. Dalam kebudayaan Jawa,
Islam, hindu dan kepercayaan asli orang Jawa tergabung dalam satu sistem
sosial.
Berawal
dari studinya tentang agama masyarakat Jawa inilah Geetz kemudian melanjutkan
riset-risetnya yang lain menghasilkan beberapa buku dengan tema-tema yang
berbeda-beda. Agricultural Revolution
(1963) membahas tentang masalah lingkungan dan ekonomi masyarakat
Indoensia, serta tantangan dan peluangnya di era pasca kolonial. Peddlers and Princes yang juga
diterbitkan pada tahun 1963, berisi perbandingan kehidupan ekonomi di pulau
Jawa dan Bali. The Social History of and
Indonesian Town (1965) menceritakan
kondisi masyakarakat tempat dia melakukan sebagian besar studinya, yaitu daerah
Mojokuto. Buku ini terutama membicarakan masalah perubahan-perubahan ekonomi,
politik dan kehidupan sosial dlam masyarakat yang bergerak dari pemerintahan
kolonial menuju kemerdekaan.
Setelah
menyelesaikan tugasnya di Indonesia, Geetz juga melakukan hal yang serupa
dengan Evans Pritchard guna memperdalam basis riset lapangannya dengan cara
melakukan studi lanjutan terhadap kebudayaan islam Maroko di Afrika Utara.
Mulai tahun 1960-an, dia melakukan lima kali kunjunga ke daerah ini yang
memungkinkannya mengamati satu masyarakat beragama Islam untuk ke dua kalinya
di belahan dunia yang sama sekali berada dengan Asia Tenggara. Sebagai hasilnya,
Geetz dalam buku Islam Observed (1968)
mampu membuat suatu studi perbandingan dengan satu jenis agama dengan setting kebudayaan yang berbeda.
Beberapa tahun kemudian, studi lapangan di Afrika Utara dilanjutkan dengan
penelitian tentang masyarakat Maroko, dan menghasilkan buku berjudul Meaning and Order in Morocean (1980),
yang merupakan kumpulan tulisan-tulisan Geetz dengan penulis lain.
Khususnya
di Amerika, tulisan-tulisan teoritis Geetz tidak hanya dibaca dikalangan
antropologi, tapi juga oleh ilmuan-ilmuan bidang lain, bahkan pembaca umum. Walaupun
sebagian besar tulisan-tulisan tersebut mempunyai target tersendiri, tetapi
hampir keseluruhannya berpengaruh luas dikalangan ilmuan. Terutama sebuah
kumpulan tulisan Geertz yang berjudul The
Interpretation of Cultures (1973),
sebuah adikarya yang mendapat sambutan luas dan buku Local Knowledge (1983), kumpulan tulisan
yang muncul belakangan yang juga mendapat sambutan luar biasa.
2.
Tafsir Kebudayaan
Perlu diketahui bahwa, masyarakat selalu
mengindikasikan dimensi pengungkapan yang penting terhadap perilaku mereka yang
eksis. Melalui tindakan yang sarat akan makna, bisa terungkap beragam
penjelasan yang dalam tentang diri mereka yang pada dasarnya mereka hanya mengetahui
sedikit dari keseluruhan makna tindakan. Untuk itu, pencarian dan penemuan
metode yang tepat untuk dijadikan landasan atau acuan teoritik dan metodologis adalah
pendekatan interpretasi
dari seorang antropolog budaya dari Amerika bernama Clifford Geertz yang
mencakup berbagai kajian terhadap aspek-aspek kehidupan manusia dalam karya
monumental berjudul Tafsir Kebudayaan yang sampai saat ini masih dibaca berbagai kalangan khususnya antroplog
yang sedang mendalami cara memahami kebudayaan. Buku tafsir
Kebudayaan sangat unik karena menggunakan pendekatan yang sangat bermanfaat karena
begitu banyaknya simbol yang rumit pada suatu
kebudayaan
yang teraktual seperti ritual kegamaan dan mantra yang tersembunyi di dalamnya sehingga
membutuhkan metode interpretasi untuk mengungkapkannya.
Identifikasi
atas bahasa, tuturan, tindakan dan penjelasan dari aktivitas keseharian masyarakat memberikan kontribusi penting untuk mengungkapkan suatu dunia yang khas. Tinjauan
kritis atas makna yang dihasilkan, perenungan atas esensi-esensi berupa segenap
yang dipersepsi, dibayangkan dan diyakini yang hadir dalam kesadaran masyakarat harus diungkap lebih jauh dan
mendalam. Fenomena kesadaran itu harus diungkap dan dijabarkan dengan
membuang praduga, kecurigaan dan segala pengandaian namun tetap memperhatikan
dan mengeksplorasi keberadaan makna itu dalam percakapan dan tindakan masyarakat sampai tuntas.
Geertz
mengiterpretasi kebudayaan melalui penelusuran makna yang menurut Saya, dapat
ditafsirkan melalui isi dari budaya, berupa perilaku manusia yang dapat
dipandang sebagai tindakan simbolik, seperti tekanan suara saat menjelaskan
tentang pengalaman sakit dan percakapan yang tersusun dengan baik
dalam jaringan makna. Menurut Geertz tujuan antropologi adalah perluasan
semesta pembicaraan manusia “bukanlah satu-satunya tujuan”. Tapi instruksi,
hiburan, nasihat praktis, kemajuan moral, dan penemuan susunan alamiah dalam
tingkah laku manusia adalah tujuan-tujuan lainnya. Tujuan antropologi merupakan
sebuah tujuan untuk dengan sebaik mungkin menerapkan konsep semiotis tentang
kebudayaan. Sebagai sistem-sistem yang saling terkait dari tanda-tanda yang
dapat ditafsirkan (apa yang dengan mengabaikan pemakaian yang sempit, akan disebut sebagai simbol-simbol) kebudayaan
bukanlah sebuah kekuatan, sesuatu untuk memberi ciri kausal pada peristiwa
sosial, perilaku, pranata-pranata atau proses-proses. Kebudayaan adalah sebuah
konteks, sesuatu yang di dalamnya semua hal itu dapat dijelaskan dengan terang
yakni secara mendalam[2].
Kebudayaan,
demikian lanjut Geertz, paling efektif ditelaah secara murni sebagai sebuah
sistem simbolis—kata
kuncinya adalah “dalam istilah-istilahnya sendiri”—dengan mengisolasi unsur-unsurnya
mengkhususkan hubungan-hubungan internal di antara unsur-unsur itu, dan
kemudian mencirikan seluruh sistem dengan cara umum tertentu menurut pusat
simbol yang disekelilingnya kebudayaan ditata, struktur-struktur dasar dari
kebudayaan yang merupakan sebuah ekspresi lahiriah, atau prinsip-psrinsip
idiologis tempat idiologi didasarkan[3].
Geertz
juga mengkritik Husserl dan Wittgenstein, kemudian mengembangkannya dengan mengatakan
bahwa teori-teori tentang makna yang bersifat privat merupakan bagian dari
pemikiran modern. Kebudayaan terdiri dari struktur-struktur makna yang
ditetapkan secara sosial, seperti yang terjadi pada orang yang memberi isyarat
persekongkolan-persekongkolan dan mengelompokkam mereka atau menerima
celaan-celaan dan membalasnya, tidak lebih dari pada mengatakan kebudayaan
adalah sebuah fenomena psikologis, suatu sifat dari pikiran, kepribadian,
struktur kognitif orang atau apa saja yang lain[4].
Geertz
merujuk pada kerja antropolog seperti Kluckhon yang berasumsi bahwa kebudayaan
ibarat cermin bagi manusia (mirror of
man) sehingga ia menganjurkan interpretasi terhadap makna sebagai (1)
keseluruhan pandangan hidup manusia (2) sebuah warisan sosial yang dimiliki
oleh individu dari kelompoknya (3) cara berpikir, perasaan, dan mempercayai (4)
abstraksi dari perilaku (5) cara-cara kelompok orang menyatakan kelakuannya (6)
sebuah pusat pembelajaran (7) suatu unit standarisasi orientasi untuk mengatasi
berbagai masalah yang berulang-ulang (8) perilaku yang dipelajari (9) sebuah
mekanisme bagi pengaturan regulatif atas perilaku (10) sekumpulan teknik untuk
menyesuaikan diri dengan lingkungan lain dan orang lain (11) lapisan atau
endapan dari sejarah manusia (12) peta perilaku, matriks perilaku dan jaringan
perilaku[5].
Dengan
demikian kebudayaan termasuk keseluruhan makna yang terorganisir dan mengaktual
dalam kehidupan manusia bisa berupa diwariskan atau diciptakan sendiri yang
dapat dipelajari atau ditelusuri dan dimengerti dari suatu peristiwa khusus
langsung diperiksa, seperti upacara keagamaan, adat istiadat, gagasan, atau apa
saja yang disinggung sebagai informasi tentang suatu kenyataan pada diri orang
yang diteliti dalam suatu kebudayaan.
Geertz
terinspirasi oleh ilmuan sosial terkenal yaitu Max Weber yang menyatakan bahwa
manusia adalah makhluk yang bergantung pada jaringan-jaringan makna yang
ditenunnya sendiri. Pernyatan ini kemudian dilanjutkan oleh Geertz dengan
menganggap bahwa kebudayaan sebagai jaringan-jaringan dan untuk itu, analisis
atasnya lantas tidak merupakan sebuah ilmu ekperimental untuk mencari hukum
melainkan sebuah ilmu yang bersifat interpretatif untuk mencari makna[6]. Babagaimanpun,
ada sistem-sistem simbol “dalam pengertian-pengertian mereka sendiri“ (orang
yang yang menjadi subjek penelitian), kita memperoleh akses empiris kedalam
sistem-sistem itu dengan mengamati peristiwa-persitiwa, tidak dengan menyusun
entitas-entitas abstrak kedalam pola-pola yang terpadu[7].
Pencarian
dan penemuan makna pada simbol-simbol itu sangat penting dalam sebuah riset
etnografi dan seorang etnografer diwajibkan untuk menjelaskan secara
komprehensif tentang suatu kebudayaan tertentu agar bisa dibaca dan dipahami
oleh orang lain. Geertz menyebut etnografi merupakan lukisan mendalam. Apa yang
nyatanya dihadapi seorang etnografer adalah sebuah keaneka ragaman struktur-struktur
konseptual yang kompleks, kecuali bila (tentu saja karena ia harus melakukan)
ia sedang mencari kumpulam data rutin itu sekaligus bersifat asing, tidak
biasa, dan tidak eksplisit, dan seorang etnografer harus pertama-tama entah
bagaimana memahami dan kemudian menerjemahkan struktur-struktur tersebut.
Seorang etenografer dituntut seperti orang yang turun ke bumi, bekerja pada
lapangan dirimba-rimba belantara, seperti: mewawancarai para informan,
mangamati upacara-upacara keagamaan, menanyai hubungan-hubungan kekerabatan,
melacaki garis-garis harta milik, mencacah jiwa rumah tangga... kemudian menulis
jurnalnya. Dengan demikian lanjut Geertz bahwa mengerjakan etnografi itu mirip
usaha membaca (dalam arti “manafsirkan sebuah bacaan dari”) sebuah manuskrip
yang bersifat asing samar-samar, penuh elips-elips, ketakkoherenan,
perubahan-perubahan yang mencurigakan, dan komentar-komentar yang tendensius.
Akan tetapi manuskrip itu ditulis tidak dalam kertas-kertas grafik suara yang
konvensional namun, dalam contoh-contoh sementara dari tingkal laku yang tampak[8].
Geertz,
juga memandang kebudayaan sangat berbeda dan khas dengan antropolog lainnya. Ia
memandang bahwa kebudayaan sama dengan sebuah dokumen yang bersifat publik. Kebudayaan
juga murip seperti pemberian isyarat yang mengejek atau suatu yang mengolok-olok...meskipun
bersifat ideasinoal, kebudayaan tidak berada dalam kepala sesoarang. Walaupun
tidak bersifat fisik, kebudayaan bukanlah sebuah entitas yang tersembunyi. Untuk
itu, tingkah laku manusia harus dilihat sebagai... tindakan simbolis, yaitu
tindakan yang seperti suara dalam percakapan, cat untuk melukis, garis untuk
menulis atau suara dalam musik, pertanyaan tentang apakah kebudayaan merupakan
perilaku berpola atau suatu kerangka pikiran, atau bahkan keduanya agak
tercampur menjadi satu dan kehilangan maknanya. Geertz memberikan contoh kecil
yang sarat makna bahwa hal yang harus ditanyakan tentang sebuah pemberian
isyarat mata dengan pura-pura atau sebuah olok-olok penggerak domba-domba (a mock sheep raid) bukanlah status
ontologis. Hal itu sama dengan batu-batu cadas disatu pihak dan impian-impian
dilain pihak. Batu dan impian adalah hal-hal dari dunia ini. Hal yang harus
ditanyakan adalah apakah makna batu cadas, impian, dan lain-lainnya. Apakah
semua hal itu menggelikan atau menantang, merupakan ironi atau kemarahan,
kecongkakan atau kebanggan, sehingga terjadi semua itu dan melalui pengantaran
semua itu dikatakan[9].
Pencarian
makna pada suatu kebudayaan yang menantang itu tampak pada perilaku orang dalam
kebudaayaan tersebut sangat sulit untuk ditemukan karena tersembunyi dalam
bentuk simbol. Pencarian itu juga selalu diarahkan dan tidak boleh dihentikan sampai
pencarian itu tuntas. Geertz[10] mengatakan
bahwa sistem-sistem kebudayaan tentunya memiliki taraf koherensi minimum,
apalagi kita tak akan menyebut sistem-sistem kebudayaan itu sistem-sistem, dan
dengan obserfasi, sistem-sistem itu biasanya memiliki sesuatu yang lebih besar
lagi... kekuatan interpretasi-interetasi kita tak dapat berhenti, seperti yang
kini kerap kali dilakukan, pada ikatan yang merangkum interpretasi itu bersama,
atau pada jaminan yang mereka kemukakan.
Secara
metodologis, mengerjakan etnografi adalah menetapkan hubungan, menyeleksi
informan-informan, mentranskrip teks-teks, mengambil silsila-silsilah,
memetakan sawah-sawah (bagian-bagian atau kategori-kategori), mengisi sebuah
buku harian, dan seterusnya. Namun yang mendefenisikan usaha itu bukanlah
hal-hal ini, bukan teknik-teknik dan prosedur-prosedur yang diterima. Apa yang
mendefenisikannya adalah semacam usaha intelektual, yakni suatu usaha yang
penuh resiko untuk menguraikan segala yang ditemukan, meminjam istilah dari
Gilbert Ryle “lukisan mendalam” (thick
description)[11].
Agar
kita bisa melukiskan sesuatu secara mendalam Geertz mengemukakan bahwa “lepenseur” (pemikir) sedang melakukan:
kegiatan “memikirkan dan merefleksikan” dan “memikirkan pikiran-pikiran“.
Anggaplah, katanya, dua orang anak mengedipkan mata kanan mereka. Pada anak
yang satu, kedipan ini adalah sebuah kedutan yang tak disadari; pada anak yang
lain, merupakan sebuah isyarat persekongkolan dengan seorang kawan. Kedua
gerak-gerik itu serupa, sebagai gerak-gerik. Dari observasi Geertz dengan
menggunakan sebuah kamera dan menggunakan observasi “fenomenalistis” atas kedua
anak itu saja, orang tak dapat menunjukkan yang mana yang merupakan kedutan dan
yang mana merupakan isyarat, atau memang apakah keduanya merupakan baik kedutan
maupun isyarat. Akan tetapi perbedaan yang tak dapat dipotret antara kedutan (twitch) dan isyarat dengan kedipan mata
itu (wink) sangat banyak. Sebagaimana
setiap orang celakanya mengira, gerak-gerik anak yang pertama sama saja dengan
yang kedua. Pemaknaan Geertz atas tindakan itu adalah pemberi isyarat (winker) itu sedang berkomunikasi, dan
memang berkominkasi dengan cara yang sangat persis dan sangat khusus: (1)
dengan sengaja, (2) kepada seseorang yang khusus, (3) untuk menyampaikan sebuah
pesan khusus, (4) sesuai dengan sebuah sandi yang ditetapkan secara sosial, dan
(5) tanpa sepengetahuan teman-temannya yang lain[12].
Konsep
kedua yang diambil dari Ryle adalah konsep tentang “lukisan dangkal” (thin description) untuk meninjau apa
yang sedang orang lain dilakukan. Pendekatan ini minim interpreatasi karena
peneliti hanya mengemati perilaku kemudian menulis struktur pengematan itu
tanpa melakukan pertanyaan yang mendalam. Tetapi dengan “lukisan mendalam” (thick
description) atau “keinginan akan hal-hal yang jauh”[13] menuntut
untuk melakukan pengakjian secara mendalam sampai tuntas tentang yang sedang
dilakukannya oleh orang-orang yang menjadi objek penelitian. Dengan demikan,
terdapat objek etnografi untuk mengungkap yang bukan prifat dari orang yang
diteliti melainkan menurut Geertz karena “kebudayaan itu bersifat publik sebab
makna-makna bersifat publik”. Oleh kerena kebudayaan itu dipraktekkan oleh
seluruh masyarakat sehingga aktifitas etnografi adalah keterarahan untuk
menginterpretasi sebuah hierarkhi yang memiliki lapisan-lapisan
struktur-struktur yang bermakna. Dengan lapisan-lapisan itu, hal-hal seperti
kedutan, isyarat isyarat, isyarat-isyarat pura-pura, ejekan-ejekan,
latihan-latihan untuk mengejek dihasilkan, dipahami dan ditafsirkan; dan tanpa
hierarkhi itu semuanya dalam kenyataan tak akan ada[14].
Jauh lebih penting
lagi, dalam melakukan penelusuran kita harus memperhatikan “tingkah laku yang
dipelajari“, “fenomena mental” dan atas sumber beberapa gagasan teoritis yang
paling kuat dalam antropologi karene itu adalah bagian dari kebudayaan.
Pendekatan yang ketat terhadap kenyataan tampak bagi Geertz harus dijauhkan.
Analisis kultural dari objeknya yang sesungguhnya, logika informal dari
kehidupan aktual harus ditemukan... Tingkal laku harus diperhatikan dengan
kepastian tertentu, karena melalui rentetan tingkal laku—atau lebih tepat lagi,
lewat tindakan sosiallah—bentuk kultural terungkap. Bentuk bentuk kulural itu
tentu saja terartikulasi dalam berbagai macam artefak, dan berbagai status kesadaran. Semua ini maknanya dari
peranan yang dimainkan bentuk-bentuk itu (Wittgenstein akan mengatakan
“pemakaian” bentuk-bentuk kultural itu) dalam suatu pola hidup yang
berkelanjutan, tidak dari kaitan-kaitan intristik manapun yang mereka bawa satu
sama lain[15].
Geertz
dalam Pals (2012: 333) sangat tertarik dengn ide-ide Boas, Kroeber dan
Benedict. Hal inilah kemudian yang mempengaruhi perspektif antropologinya. Geertz
sangat yakin bahwa antropologi sebelum dilanjutkan ketahap berikutnya harus
didasarkan pada etnografi terlebih dahulu. Fokus utamanya harus ditujukan pada
satu tempat dan satu masyarakat. Kesimpulan general hanya akan muncul dari
studi mendalam difokuskan pada satu titik ini. Akhirnya Geertz menunjukkan
nuansa “Amerika” yang sangat menonjol ketika dia mengatakan bahwa objek
penyelidiakan antroplogi adalah budaya (culture),
bukan masyarakat (society). Dia
percaya bahwa pintu gerbang untuk memasuki kehidupan masyarakat lain akan
terbuka lebar apabila struktur-struktur sosial seperti keluarga, pola
kekeluargaan dan klan, ataupun sistem hukum telah diamati dan dipahami.
Penyelidikan terhadap apa yang ada dibalik ini semua mutlak dilakukan, karena
kesalingterkaitan ide, motifasi dan aktivitas-aktivitas secara keseluruhan
dalam masyarakat itulah sebenarnya yang disebut kebudayaan.
[1] Pals, Daniel L. (2012). Seven
Theories of Religion: Tujuh Teori Agama paling Komprehensif.
Jogjakarta: IRCiSoD.
[2] Geertz, Ibid, 17
[3] Geertz, Ibid, 21
[4] Geertz, Ibid, 16
[5] Liliweri, Ali. 2005. Prasangka dan Konflik: Komunikasi Lintas
Budaya Masyarakat Multikultural. Yogyakarta: LKIS. Ibid, 362-363.
[6] Geertz, Ibid, 5
[7] Geertz, Ibid, 22
[8] Geertz, Ibid, 12
[9] Geertz, Ibid, 13
[10] Geertz, Ibid, 22
[11] Geertz, Ibid, 6
[12] Geertz, Ibid, 7
[13] Geertz, Ibid, 15
[14] Geertz, Ibid, 8
[15] Geertz, Ibid, 21
DAFTAR ISI
Geertz, Clifford. (1992). Tafsir Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius.
0 Response to " "
Posting Komentar