Kebenaran adalah gemboran semua orang, tetapi urusan sedikit orang (Berkeley)
Yang
memalukan bukanlah ketidaktahuan, melainkan ketidak mauan untuk belajar (Platon)
Rasio adalah
budak nafsu (Hume)
1.
Riwayat Hidup Immanuel Kant
(1724-1804)
Immanuel Kant hidup saat pencerahan mencapai puncak di Jerman. Dalam kehidupan pribadinya dia seorang yang
sangat tertib dan hidup membujang seumur hidup. Sepanjang hidupnya tinggal
dengan bersahaja di kota Koenigsberg di Prusia Timur dalam sebuah keluarga yang
sangat di pengaruhi oleh pietisme. Filsafatnya merupakan sintesis kritis atas
dua kecenderungan pokok yang sudah ada sebelum pencerahan, rasionalisme, dan
empirisme---Proses penalaran sekaligus proses observasi dalam “fisika”---yaitu
sebuah sistem pengetahuan baru yang teruji, bukan hanya karena sesuai dengan
kenyataan dan memenuhi asas penalaran, melainkan juga berdaya guna bagi
kesejahteraan manusia. Dengan sintesis
ini, Kant menghasilkan sebuah cara berfilsafat yang baru yang menjadi pijakan
dalam sejarah selanjutnya.
Semangat intelektual Jerman saat
itu menilai bahwa orang yang beradab sebagai seorang yang berpendidikan tinggi,
bebas dari prasangka-prasangka sempit, mendukung kemajuan seni dan ilmu
pengetahuan, menghayati hidup yang tertib dan harmonis. Bahkan para cendekiawan
Jerman sangat berambisi untuk menyumbangkan sebuah sistem pemikiran yang
merupakan sintesis universalitis atas berbagai kecenderungan yang bertentangan
di abad-abad sebelumnya yang dinilai picik. Semangat jaman ini sedikit banyak
tercermin dalam filsafat Kant.
Sewaktu studi di kota
Koenigsberg, Kant mempelajari hampir semua mata kuliah dan mendapat pengaruh rasionalisme Wolf
melalui dosennya martin Knutzen. Kant
mempelajari fisika Newton dan sistem-sistem metafisika dan logika. Masa kerja sebagai Privaddozen (dosen lepas)antara tahun 1755-1770 dikenal sebagai “periode pra-kritisnya”-nya. Pada periode ini Kant menjadi seorang dosen
yang sangat luar biasa dalam penguasaannya atas hampir semua ilmu waktu. Periode
saat Kant mengembangkan sistemnya sendiri, dalam Krtitik der reinen Vernunt (Kritik atas rasio Murni), disebut
“periode kritis” berlangsung setelah tahun tujuh puluan. Pada tanggal 12
Februari 1804, Kant meninggal dunia dalam usia delapan puluh tahun.
2.
Proyek Filosofis Kant
Pemikran Kant pada periode
kritis, ditujukan untuk menjawab tiga pertanyaan dasariah, yakni: (1) Apa yang
dapat saya ketahui? (2) Apa yang seharusnya saya lakukan? dan (3) Apa yang bisa
saya harapkan? Pertanyaan pertama di jawab dalam Kriitik der reinen Vernunt, yang kedua dalam kritik der praktischen Vernunt, dan yang ketiga dalam Kritik der Urteilkraf. Melalui karya tersebut Kant bermaksud ‘memeriksa kesahihan‘ secara
kritis, tidak terutama dengan pengujian empirik, melainkan dengan asas-asas a
priori dalam diri subjek. Karena itu filsafatnya disebut ‘trasendentalisme’, sebab dia mau menemukan asas-asas a priori dalam
rasio kita yang berkaitan dengan objek-objek dunia luar, yakni apa yang di
sebutnya die Bedingung der Moeglichkeit
(syarat-syarat kemungkinan) dari pengetahuan kita. Sebuah penelitian di sebut
“trasendental” kalau memusatkan diri pada kondisi-kondisi yang murni dalam diri
subjek pengetahuan. Kant membuat sintesis antara empirisme yang mementingkan
pengetahuan a posteriori dengan rasionlisme yang mementingkan pengetahuan a priori. Dalam filsafat Kant,
pengetahuan di jelaskan sebagai hasil sintesis antara unsur-unsur a priori dan a posteriori.
Filsafat Kant juga disebut ‘kritisisme’ dipertentangkan dengan ‘dogmatisme’. Sementara dogmatisme
menerima begitu saja kemampuan rasio tanpa menguji batas-batasnya, kritisisme
lebih dahulu menyelidiki kemampuan dan batas-batas rasio sebelum memulai
penyelidikannya. Kant mengatakan bahwa kritisisme
adalah filsafat yang lebih dahulu menyelidiki kemampuan die Bedingung der Moeglichkeit (syarat-syarat kemungkinan)
pengetahuan kita---Para filsuf sebelum Kant disebut filsuf-filsuf dogmatis yang
bermetafisika tanpa menguji kesahihan metafisika itu. Kata “Kritik”
dipahami Kant sebagai “pengadilan
tentang kesahihan pengetahuan” atau “ pengujian kesahihan”. Gambaran tentang
proses pengadilan diandaikan di sini. Dalam proses itu klaim-klaim pengetahuan
seolah-olah diperiksa sebagai terdakwa. Cara berfisafat semacam itu disebut ‘proseduralisme’:
alih-alih memusatkan diri pada isi pengetahuan, Kant lebih meminati proses atau
cara memperoleh pengetahuan itu.
3.
Kritik atas Rasio Murni
Dalam Krtitik der reinen Vernunt, bahwa ‘pengetahuan a priori’ atau ‘pengetahuan
murni’ suatu pengetahuan yang konsep-konsepnya tidak diturunkan dari
pengalaman tetapi dari struktur-struktur pengetahuan subjek sendiri---kosong
dari pengalaman empiris. Buku
Krtitik der reinen Vernunt terdiri dua bagian pokok. Bagian
pertama memuat ajarannya mengenai unsur-unsur
a priori pengetahuan (traszendentale
Elementalehre) terbagi menjadi dua
sub-bagian; sub-bagian yang disebut ‘estetika
trasendental’ (die trazsendentale
Aesthetik) merupakan bentuk-bentuk a priori dari pengindraan dan bagaimana
matematika itu mungkin. Sub-bagian kedua ‘logika
trasendental’ (die traszendentale
Logik), di bagi menjadi dua lagi, yakni: ‘analitika trasendental’ (die
traszendentale Analitytik) yang membahas kategori-kategori a priori dan
bagaimana fisika itu mungkin, dan diaklektika
transental (die transzendentale Dialektik) yang membahas bagaimanakah dan
apakah metafisika itu mungkin. Bagian
pokok kedua buku Kant mengenai metode
trasendental (traszendentale
Methodenlehre) sebagaipembahasan Kant tentang “refolusi Kopernikan” dalam
filsafat. Maksud istilah ini dapat
dijelaskan demikian. Dulu para filsuf memahami relitas dengan asumsi bahwa subjek
mengarahkan diri pada objek, tetapi Kant mau memahami kenyataan dengan asumsi
bahwa objek mengarahkan diri pada subjek: pengenalan berpusat pada subjek.
Kant menerima pandangan para
filsuf empiris Inggris bahwa pengetahuan berhubungan dengan pengalaman indrawi,
tetapi menurut Kant tidak seluruh pengetahuan berasal dari pengalaman. Bagamana
kita berhubungan dengan objek pengetahuan di luar diri kita? Jawab Kant dalam
‘estetika trasendental’ adalah lewat institusi langsung, tetapi lalu Kant
menambahkan bahwa institusi kita mengandaikan bahwa kita di pengaruhi objek
dengan cara tertentu. Kemampuan subjek untuk menerima representasi (Vorstelung) objek disebutnya
“sensibilitas” atau “kemampuan mengindrai” (Sinnlichkeit).
Jadi, institusi manusia adalah ‘institusi indrawi’. Efek sebuah objek pada
kemampuan repsentasi atau pikiran (Gemuet)
sejauh dipengaruhinya disebut ‘pengindraan’ (Empfindung).
Objek pengindran disebutnya ‘penampakan’ (Erscheinung).
Kant menolak anggapan empirisme
bahwa pengindraan bersifat murni a
posteriori. Menurutnya, ada dua unsur dalam penampakan objek, yaitu unsur
materi (materia) dan unsur bentuk (forma). Unsur materi adalah sesuatu
yang berhubungan dengan (isi) pengindraan
sedang forma adalah sesuatu yang memungkinkan berbagai penampakan itu tersusun
dalam hubungan-hubungan tertentu. Jadi,
forma merupakan unsur a priori dari
pengindraan sedang materi merupakan unsur a
posteriori. Kant mengatakan ada dua forma murni pengindraan, yakni ruang
dan waktu.
Kant mengatakan ‘penampakan
objek’ bukanlah ‘objek’. Objek di luar kita itu, menurutnya, tidak kita ketahui---istilah
Kant, “das Ding an sich” (benda pada
dirinya) tidak kita ketahui. Yang kita tangkap sebagai penampakan itu sudah
merupakan sintesis antara efek objek pada subjek dan unsur a priori, yakni
forma ruang dan waktu yang sudah ada pada subjek. Lalu Kant membedakan antara ‘pengindraan eksternal’ yakni persepsi
atas objek dari luar diri kita, dan ‘pengindraan
internal’ yakni persepsi atas keadaan eksternal kita. Forma ruang adalah
bentuk penampakan dari pengindraan internal, sedang forma waktu adalah pengindraan
internal itu. Dengan mengatakan bahwa ruang dan waktu bersifat a priori, Kant
tidak memaksudkan bahwa keduanya tidak riil. Menurut Kant, memang “das Ding an sich” tidak kita ketahui,
tetapi kenyataan empiris selalu sudah merupakan sintesis antara unsur a priori
dan a posteriori. Jadi, kenyataan yang tampak itu tidak hanya kelihatannya
berada dalam ruang dan waktu, melainkan sungguh berada dalam ruang dan waktu.
Keduanya menjadi “syarat kemungkinan” penampakan objek empiris. Kant mengatakan
bahwa ruang dan waktu itu secara empiris riil, tetapi secara transendental
ideal. Secara empiris riil karena ruang dan waktu bukan ilusi, melainkan
sesuatu yang nyata secara indrawi. Secara transendental ideal, karena ruang dan
waktu bisa diterapkan pada penampakan, tidak pada “das Ding an sich”, jadi lebih ditentukan oleh struktur subjek.
5.
Analitika Transendental:
Pengetahuan pada Taraf Intelek
Menurut Kant, dalam diri subjek
terdapat dua kemampuan, yakni untuk menerima data-indrawi dan untuk membentuk
konsep. Kemampuan mengindrai sudah disebut sebagai ‘sensibilitas’. Lalu kant menyebut kemampuan untuk mengasilkan
konsep sebagai pemahaman, atau dengan istilah Kant “Verstand” (diterjemahkan ‘intelek’). Hubungan kedua kemampuan ini
sangat erat. Tanpa sensibilitas objek tidak dapat masuk dalam subjek, dan tanpa
akal objek tidak dapat dipikirkan---Disinilah Kant mendamaikan empirisme dan
rasionalisme, sementara rasionalisme memutlakkan rasio dan empirisme
memutlakkan sensibilitas, Kant memperlihatkan, bagaiman pengetahuan merupakan
sintesis keduanya.
Tentang asas akal budi, yakni
logika dimaksudkan bukan logika formal ---yang mengabstraksi objek-objek sampai
lepas dari isi empirisnya--- melainkan “logika transendental” yang meskipun
sama a priorinya namun tetap menjaga kaitannya dengan objek empiris. Dengan
kata lain, logika transendental memusatkan diri pada asas-asas a priori pikiran
kita atas objek sejauh menentukan pemahaman kita, dan bukan apada asas-asas a priori
yang lepas dari objek. Logika transendental merupakan forma a priori dalam
akal-budi. Kant mengatakan bahwa
kegiatan intelek tampil dalam putusan. Intelek itu sendiri tidak lain adalah
kemampuan untuk membuat putusan (Urteilbildung).
Berpikir adalah membuat putusan. Dalam putusan terjadi sintesis antara
data-indrawi dan unsur a priori akal budi. Unsur-unsur a priori akal budi itu
disebut Kant “kategori-kategori”.
Tanpa sintesis itu, kita bisa mengindrai penampakan, tetapi tidak
mengetahuinya. Dengan kata lain, kategori-kategori merupakan syarat a priori
pengetahuan---dengan ‘refolusi kopernikan’ Kant memandang bahwa agar objek
diketahui, objek itu harus menyesuaikan diri dengan kategori-kategori itu, dan
bukan sebaliknya.
6.
Dialektika Transendental:
Pengetahuan pada Taraf Rasio
Dalam ‘dialektika transendental’,
Kant membedakan rasio (Vernunft) dari akal-budi (Verstand). Istilah “Vernunft”
mengacu pada kemampuan lain yang lebih tinggi dari pada intelek. Rasio
menghasilkan ide-ide transendental yang tidak bisa memperluas pengetahuan kita
tetapi memiliki fungsi mengatur (regulatif) putusan-putusan kita ke dalam
sebuah argumentasi. Sementara intelek langsung berkaitan dengan penampakan,
rasio berkaitan secara tidak langsung dengan mediasi intelek. Rasio menerima
konsep-konsep dan putusan-putusan akal-budi untuk menemukan kesatuan dalam
terang asas yang lebih tinggi. Misalnya, putusan “semua binatang itu bisa
mati”, dan “manusia itu binatang”, lalu kesimpulannya “manusia itu bisa mati”.
Putusan ketiga yang merupakan kesimpulan silogisme itu dihasilkan dari dua putusan
lain dan merupakan kesatuan dari keduanya. Putusan ketiga itu tidak langsung
berdasarkan penampakan. Dalam hal ini rasio mengusahakan kesatuan itu, dan
bahkan menurut Kant, aturan (maksim) logis rasio adalah terus mengusahakan
kesatuan yang makin besar, makin menuju keadaan akhir yang tidak dikondisikan
atau murni.
Kant menyebutkan adanya tiga tipe
kesimpulan silogistis yang mungkin, yaitu: kesimpulan kategoris, hipotesis, dan
disjungtif. Ketiganya berkaitan dengan tiga kategori akal-budi yang diterangkan
di atas, yaitu: substansi, kausalitas, dan komunitas atau resiprositas. Ketiga
kesimpulan itu juga berkaitan dengan
tiga macam kesatauan tanpa syarat yang merupakan postulat (dalil) dari rasio.
Ketiga macam kesatuan akhir iu menjadi asumsi terakhir yang mtlak, maka hanya
dipostulatkan (tanpa syarat). Ketiganya disebut “idea-ide rasio murni”. Idea
pertama menjamin kesatuan akhir dalam pengalaman subjek (kesadaran atau cogito)
dalam hubungannya dengan dirinya sendiri dan disebut “ide jiwa”. Idea kedua menjamin
kesatuan akhir dalam hubungan-hubungan kausal dalam penampakan objek dan
disebut “Idea Dunia”. Idea ketiga menjamin kesatuan akhir dari segala sesuatu
yang dapat dipikirkan entah yang tampak atau tidak dan disebut “Idea Allah”.
7.
Kritik atas Rasio Praktis
Rasio yang dijelaskan di atas
disebut “rasio murni” atau rasio teoritis. Rasio ini menghasilkan ilmu
pengetahuan. Dalam kritik der praktichen
Vernunft, Kant berusaha menemukan bagaimana pengetahuan moral itu terjadi.
Pengetahuan moral, misalnya dalam putusan “orang harus jujur”, tidak menyangkut
kenyataan yang ada (das Sein), melainkan
kenyataan yang seharusnya ada (das
Sollen). Pengetahuan macam ini bersifat a priori, sebab tidak menyangkut
tindakan empiris, melainkan asas-asas tindakan itu dihasilkan oleh “rasio
praktis” kita. Sebagai ‘rasio dalam keguanaan praktisnya’. Seperti juga rasio
murni, dia mengacu pada rasio praktis pada dirinya, bukan rasio praktis orang
tertentu. Tentu saja rasio pada akhirnya satu saja, tetapi ada dua cara rasio
mendekati objeknya. Sementara rasio murni menetapkan objek lewat kognisi, rasio
praktis membuat objek (tindakan) menjadi nyata lewat penentuan kehendak. Dengan
berusaha menemukan asas-asas itu, Kant memisahkan etika dari teologi. Baginya,
etika tidak tergantung pada teologi, melainkan pada kesadarn subjek rasional.
8.
Kewajiban sebagai Dasar Moralitas
Dalam Grundlegung, Kant merumuskan bahwa tidak ada hal lain yang baik
secara mutlak kecuali “kehendak baik” (guter
Wille) sebagai kehendak yang baik pada dirinya (an sich), tidak tergantung pada yang lain. Kehendak baik adalah
sesuatu yang baik pada dirinya, tanpa pamrih, tanpa syarat. Kant membedakan
antara “tindakan yang sesuai dengan kewajiban” dan “tindakan yang dilakukan
demi kewajiban”. Yang pertama ini, baginya, tidak berharga secara moral dan
disebut “legalitas” (legalitaet),
sedang yang kedua bernilai moral dan disebut moralitas (moralitaet). Sebuah tindakan moral yang luhur adalah tindakan yang
dilakukan demi kewajiban an sich. Pandangan
Kant kerap disebut ”rigorisme moral” (rigor=keras, kaku, ketat), karena dia
menolak dorongan hati (belas kasih, setia kawan, dan seterusnya) sebagai
tindakan moral.
Kant lalu menghubungkan kewajiban
dengan hukum hukum dimengerti sebagai hukum an
sich, dengan sifatnya yang universal dan tidak mengizinkan kekecualian.
Bertindak demi kewajiban adalah bertindak dengan mengacu pada hukum itu. Nilai
moral (baik buruknya tindakan), menurut Kant, tidak terletak pada hasil
tindakan, melainkan pada sesuatu dalam kesadaran subjek moral yang disebutnya
“maksimum”. Maksim dibedakan dari asas-asas (prinsip-prinsip). Sementara
asas-asas terstruktur secara objektif dalam rasio praktis setiap makhluk
rasional (asas-asas objektif moralitas), maksim merupakan kehendak (Wille) subjektif yang juga asasi
(asas-asas subjektif kehendak). Ada dua macam maksim, yaitu maksim empiris atau
material dan maksim a priori atau formal. Yang bernilai moral adalah maksim a a
priori itu. Maksim ini mematuhi hukum universal an sich dan tidak mengacu pada
hasrat-hasrat indrawi, sedangkan maksim empiris mengacu pada efek-efek
tindakan.
9.
Imperatif Kategoris
Menurut Kant, asas moralitas (asas rasio praktis)
seharusnya sesuai dengan asas kehendak
(maksim)---terjadi kalau manusia itu subjek moral rasional murni. Dalam kenyataan,
sering ada kesenjangan atau ketidak sesuaian antara maksim dan asas, antara
kehendak subjektif dan asas moral objektif. Dalam kasus ini, asas objektif
disadari sebagai perintah dan kewajiban. Kalau keduanya sesuai (ini menurut
Kant terjadi apada diri Allah), tidak ada printah ataupun kewajiban. Kant
membedakan ‘perintah’ dan ‘imperatif’---Perintah adalah asas objektif sejauh
mengharuskan kehendak subjektif, sedang imperatif adalah bentuk putusan dari
perintah, dirumuskan dengan ‘seharunya’ (sollen).
Dalam Grundlegung, Kant
membedakan dua macam imperatif. Yang pertama disebut ‘imperatif hipotesis’. Dengan ini dimaksudkan bahwa asas-asas
tertentu yang bersifat objektif akan dilakukan dengan syarat tertentu, yaitu
kalau tujuan pelaku tercapai dengan melaksanakan asas-asas itu. Rumusnya: “jika
menginginkan X, anda harus melakukan Y”. misalnya, putusan “jika mau belajar
filsafat, anda harus membaca buku F.” Di sini orang bisa mau atau tidak belajar
filsafat, sehingga tidak harus membaca buku F karena masih terbuka kemungkinan
tidak melaksanakannya, imperatif ini juga disebut “imperatif hipotetis problematis”. Imperatif ini bukan imperatif
moral. Kant juga menyebutk imperatif hipotetis jenis lain. Misalnya, putusan
”kalau mau bahagia, anda harus melakukan tindakan T.” Di sini orang mau bahagia
dan tidak mau menolaknya, sehingga harus melakukan T. imperatif ini juga
hipotetis, yaitu tindakan tertentu diperintahkan sebagai sarana untuk tujuan
tertentu (bahagia), namun berbeda dari yang sebelumnya, syarat itu (kalu mau
bahagia) ditegaskan (assert), maka
disebut “imperatif hipotesis asertorik”.
Imperatif ini-pun bukan imperatif moral.
Menurut Kant, imperatif moral
terdapat dalam bentuk ketiga yang disebut “imperatif
kategoris”. Imperatif ini memerintahkan sesuatu bukan untuk mencapai tujuan
tertentu, melainkan karena perintah itu baik pada dirinya. Imperatif ini
bersifat a priori. Kant menemukan imperatif kategoris sebagai berikut:
misalnya, dalam kasus keinginan berderma kepada tetangga yang tidak dipedulikan orang lain,
kita bertanya apakah kehendak (maksim) untuk berderma itu bisa dijadikan hukum
universal atau tidak. Kalau bisa, maksim kita itu di benarkan secara moral.
Imperatif kategoris ini merupakan perintah rasio praktis kita yang harus
dilaksanakan tanpan syarat, bersifat apodiktis (apodiktisch): harus dilaksanakan secara mutlak perlu. Kehendak
subjektif untuk melaksanakan imperatif kategoris inilah maksim a priori.
*
Muhammad Arsyad;
Makassar, 11 Februari 2014
0 Response to "Kritisisme Immanuel Kant; Sintesis Rasionalisme dan Empirisme*"
Posting Komentar