PEMIKIRAN POSTMODERNISME DARI JACQUES DERRIDA

blogger templates


Di dalam huruf yang tampak bisu dan diam itu, tersembunyi kekuatan yang tak mungkin selamanya dirangkum ke dalam totalitas. Sebuah huruf yang merapat di antara barisan kata-kata terkadang menyuarakan sesuatu yang lain – semacam enigma yang tak terselami, tetapi memikat dan barangkali juga tak terlalu mudah untuk dijinakkan–Jacques Derrida


  A.  Mengenal Modernisme dan Perkembangannya

1.  Refleksi Sejarah

Abad XVI ditandai semangat untuk keluar dari Zaman Kegelapan (age of dark) di masyarakat Barat dan mengalami kelahiran kembali (renaissance) setelah sebelumnya terikat dogma keagamaan.  Kini mereka lepas seperti nenek moyang mereka di Yunani Kuno yang telah banyak berpikir tentang manusia.  Mereka kemudian menjadikan rasio sebagai pijakan utama mengikuti Rene Descartes tentang diktum “Cogito Ergo Sum” yang mencapai puncaknya abad XVIII sebagai Era Pencerahan (Aufklärung).  Dengan rasio sebagai pijakan, mereka mulai ‘menjanjikan’ sebuah kemajuan lewat pengembangan teknologi sebagai sarana.  Industrialisasi maju pesat, pemikiran dibedakan antara subjek-objek dan semua bentuk oposisi biner lainnya serta hadirnya kebenaran universal yang dapat diterima dalam segala hal.

Sejarah manusia terus berjalan dan senantiasa mengalami perubahan.  Memasuki paruh kedua abad XX modernisme dianggap tidak bisa menepati janjinya menciptakan kemajuan umat manusia. Mimpi-mimpi modernisme tentang kemajuan sepenuhnya dianggap gagal diwujudkan. Modernisme yang dulunya diagung-agungkan kini dikritik habis-habisan, digugat dan mendesak agar proyek modernisme dipikirkan kembali. Setidaknya ada enam dampak negatif yang disebabkan oleh proyek modernisme. Pertama, pandangan dualistiknya membagi seluruh kenyataan menjadi dua dengan prinsip oposisi biner mengakibatkan objektivasi dan eksploitasi alam secara berlebihan. Kedua, pandangan modernisme yang objektivistik dan instrumentalis-positivistik membuatnya tidak emansipatif bahkan mengarah dehumanisasi. Ketiga, dominasi ilmu-ilmu empiris-positivistik terhadap nilai moral dan religi menyebabkan meningkatnya kekerasan fisik dan adanya bentuk depresi mental. Keempat, merebaknya pandangan materialistik. Kelima, berkembangnya militerisme karena moral dan agama tidak lagi memiliki kekuatan regulasi untuk kedisiplinan. Keenam, bangkitnya kembali tribalisme[1], rasisme dan diskriminasi.

Sebaliknya, Postmodernisme sebagai antitesis modernisme menurut Hans Bertens menampilkan karakter; pluralisme, heterodoks, eklektisisme, keacakan, pemberontakan, deformasi, dekreasi, disintegrasi, dekonstruksi, pemencaran, perbedaan, diskontinuitas, dekomposisi, de-definisi, demistifikasi, dan delegitimasi (sangat berbeda dengan watak modernisme yang monoton, rasionalistik, positivistik, dan teknosentris).   Jika dalam modernisme selalu ditemukan wacana sentralisasi, oposisi biner, monisme, objektivisme, dan atheisme, maka dalam postmodernisme wacana tersebut digantikan oleh desentralisasi, pluralisme, naturalisme dan pantheisme. Jika modernisme mengagungkan narasi besar tentang kemajuan, rasionalitas dan sebagainya maka postmodernisme mengajak kita kembali mendekati narasi kecil berupa kearifan lokal dan kehidupan sehari-hari.

Dalam filsafat barat, istilah modern-kontemporer bertolak dari kritik Immanuel Kant (1724-1804) yang secara sistematis melakukan kritik atas pengetahuan.  Ilmu pengetahuan dikembangkan dengan terbuka-bebas sesuai fungsionalnya tanpa harus pulang pada sang induk, filsafat. Demikian halnya filsafat, tumbuh-berkembang dengan sangat cepat serta mengalami pergeseran dan modifikasi.  Pasca Kant sejauh terkait pemikiran filsafat barat kontemporer secara periodik terdapat beberapa aliran pemikiran yang dominan dan tiga diantaranya paling menonjol;

Pertama, Strukturalisme, memusatkan perhatian pada masyarakat sebagai sistem, karena fenomena-fenomena tertentu menggambarkan “suatu kenyataan sosial yang menyeluruh” atau pada landasan epistemologi akan menggeser inti bahasan dari pemikiran esensialis tentang masyarakat dan pengetahuan kepada wacana yang melihatnya sebagai ciri-ciri struktural fenomena ini—baik ciri differensial ataupun relasional. Sejarah ilmu tidak lagi ungkapan pemikiran tetapi melalui konfigurasi epistemologis, sejarah membangun kerangka intelektual dengan maksud memahami pemikiran ini. Selain itu, perubahan empiris masa kini dari masyarakat atau individu bisa mengubah makna masa lalu. Masa lalu tidak bisa dipahami melalui pengertian yang dimilikinya sendiri sebab di era sekarang, masa lalu dipahami dengan menggunakan pengertian-pengertian masa sekarang. Tipologi ini diwakili Gaston Bachelard—ahli epistemologi, ahli filsafat ilmu dan teorisasi tentang imajinasi—tokoh kunci generasi strukturalis dan post-strukturalis di era sesudah perang. George Canguilhem, pelopor filsafat pengetahuan, rasionalitas dan tentang konsep-filsafat dengan landasan yang lebih kental. Selanjutnya, Sigmund Freud (1856-1939) kecemerlangannya menemukan psikoanalis selanjutnya para pemikir semisal Althuser (1918-1990), Pierre Bourdieu (1930-1982), Jacques Lacan (1901) dan masih banyak lagi tokoh structuralis lainnya.

Kedua; Post-Marxisme, elaborasi lanjutan marxisme dengan menggunakan Marx untuk mengembangkan sebuah strategi kritik yang bersifat emansipatoris kepada ‘kapitalisme modern’.  Marx dipresentasikan lebih elegan, bahkan sesekali mengecam marxisme awal telah gagal, kacau balau, menafsirkan “Rasionalitas Sistem” dan “Rasionalitas aksi”, sebagai bukti konkrit tidak selarasnya antara sistem dan kehidupan.  Post-marxisme menerima dengan sadar keterlibatan politik Marx, tetapi menolak penekanan Marx bahwa ekonomi paling menentukan untuk suatu kesejahteraan. Statement ini, menurut mereka sudah tidak relevan, harus dikembangkan lebih jauh-luas secara konkrit melalui stabilitas politik, ekonomi, keamanan dan sosial-budaya dengan merujuk pada ruh emansipatoris.

Ketiga, Post-Strukturalisme, pemikiran diwarnai dengan varietas pemahaman dalam berbagai segi, sekaligus meninjau tulisan sebagai sumber subjektivitas dan kultur yang bersifat paradoks, yang sebelumnya merupakan hal yang bersifat sekunder. Ketidakpuasan Saussure akan praanggapan tertentu tentang subjektifitas dan bahasa (misalnya, pengutamaan wicara dibanding dengan tulisan) menuntut akan munculnya pemikiran ini. Tentang “Yang lain” dan hubungan antara subjek dan objek, mendapat posisi tersendiri dalam post-strukturalisme warisan Nietzsche (1844-1900) sebagai filsuf destruktif. Selanjutnya Michel Foucault (1926-1984) sejarawan, psikolog dan seksolog juga seorang Nietzchean dan Fruedian.  Jacques Derrida (1930-2003) pemikir garda depan filsafat dekonstruktif melalui karya magnum opus-nya, of grammatology. George Bataille, Roland Barthes, Umberto Eco dan banyak lagi filsuf-filsuf post-strukturalis.

 

2.   Modernisme      

Jacob (2002) mengartikan ‘modern’ sebagai: terbaru, mutakhir, sikap dan cara berpikir serta bertindak sesuai tuntutan zaman.  Kant menyebut sebagai, ’pencapaian transendentalisasi jauh dari imanensi manusia sehingga manusia bisa mencapai tingkat paling tinggi.  Di samping Kant, sejarah kematangan kebudayaan modern ditunjukkan juga Frederich Hegel. Melalui kedua pemikir inilah nilai-nilai modernisme ditancapkan dalam alur sejarah dunia–Kant dengan ide-ide absolut yang sudah terberi (kategori) dan Hegel dengan filsafat identitas (idealisme absolut).  Di era ini rasio dipandang sebagai kekuatan yang dimiliki manusia untuk memahami realitas, untuk membangun ilmu pengetahuan dan teknologi, moralitas, dan estetika. Manusia dengan rasionyasebagai subjek; pemberi bentuk dan warna pada realitasadalah penentu arah perkembangan sejarah.  Modernisme juga bisa diartikan sebagai semangat mencari dan menemukan kebenaran asasi, kebenaran esensial, dan kebenaran universal. Rasio manusia dianggap mampu menyelami kenyataan faktual untuk menemukan hukum-hukum atau dasar-dasar yang esensial dan universal dari kenyataan.

3. Postmodern

Wacana postmodern awalnya muncul dalam arsitektur kemudian dalam sastra sebagai kritik terhadap arsitektur dan sastra ‘modern’ yang dipandang sebagai arsitektur totaliter, mekanis dan kurang human. Jencks (1960)[2] menyebut postmodern sebagai upaya mencari pluralisme gaya arsitektur setelah ratusan tahun terkungkung satu gaya.  Postmodernisme lahir di St. Louis, Missouri, 15 Juli 1972, pukul 3:32 sore. Ketika pertama kali didirikan, proyek rumah Pruitt-Igoe di St. Louis dianggap lambang arsitektur modern, berdiri sebagai gambaran modernisme, yang menggunakan teknologi untuk menciptakan masyarakat utopia demi kesejahteraan manusia.  Setelah menghabiskan jutaan dollar, bangunan tersebut diledakkan dengan dinamit. Menurut Jencks (1960), arsitek postmodern yang paling berpengaruh–peristiwa peledakan ini menandai kematian modernisme dan menandakan kelahiran postmodernisme. Akhirnya, pemikiran postmodern mulai mempengaruhi berbagai bidang kehidupan, termasuk dalam bidang filsafat, ilmu pengetahuan, dan sosiologi. Postmodern akhirnya menjadi kritik kebudayaan atas modernitas. Apa yang dibanggakan oleh pikiran modern, sekarang dikutuk dan apa yang dahulu dipandang rendah, sekarang justru dihargai. 

Postmodern memberikan pemahaman baru terhadap dunia menjadi dunia lebih luas dan mencair. Pemikiran postmodern yang melawan aturan–aturan pada aliran modernis meskipun banyak tokoh postmodern mengatakan bahwa mereka tidak melawan pakem–pakem modernis melainkan hanya merevisinya. Postmodern lebih mengacu pada liberalisme artinya manusia diperbolehkan berpikir sebebas-bebasnya yang kemudian mengacu pada kapitalisme dan liberalisme, postmodern menghalalkan manusia untuk berpikir soal hal apapun bahkan melebihi norma, agama, budaya dan hukum. Postmodern mengajarkan masyarakat untuk memiliki budaya skeptic, mempertanyakan banyak hal dan tidak begitu saja menerima satu hal meskipun postmodern menawarkan sebuah revolusi besar–besaran mengenai kebebasan berpikir, postmodern juga merupakan sebuah titik tolak kembali diangkatnya humaniora (hal–hal yang berkaitan dengan kemanusian) ditengah robotis manusia yang dipicu oleh kekakuan modernism kemudian lahirlah pemikiran bahwa manusia adalah mahluk yang berpikir dan apabila ada pembatasan terhadap ruang berpikir manusia maka akan menghilangkan sifat manusia yang paling dasar itu sendiri.

4.   Postmodernisme

Istilah Postmodernisme muncul pertama kali di wilayah seni oleh Federico de Onis tahun 1930-an dalam karyanya, Antologi de la poesia Espanola a Hispanoamerican untuk menunjukkan reaksi yang muncul dari dalam modernism. Kemudian dibidang historiografi oleh Toynbee (2005)[3] menjelaskan siklus sejarah baru yang dimulai sejak tahun 1875 dengan berakhirnya dominasi barat, surutnya individualisme, kapitalisme dan kristianitas, serta kebangkitan kekuatan budaya non barat.  Pemikir postmodern terbagi kedalam dua model cara berpikir yakni dekonstruktif dan rekonstruktif.   Para filsuf sosial berkebangsaan Prancis lebih banyak mendukung cara berpikir postmodern dekonstruktif antara lain: Friedrich Wilhelm Nietzsche, Francois Lyotard, Jacques Derrida, Michel Foucault, Pauline Rosenau, Jean Baudrillard dan Richard Rorty sementara postmodern rekonstruktif dipelopori Teori Kritis Mazhab Frankfurt seperti: Max Horkheimer, Theodor W Adorno, yang akhirnya dilengkapi oleh pemikiran Jurgen Habermas.

Kata post modern berasal dari kata “modern” berarti masa kini, terbaru, mutakhir dan “post” artinya sesudah atau pasca. Dengan demikian post modern mengandung makna berakhirnya masa modern.   Post-modern-isme, dari bahasa Inggris artinya faham (isme), berkembang setelah (post) modern. Postmodernisme juga dibedakan dengan postmodernisme; postmodernisme menunjuk konsep berpikir sedang postmodernitas pada situasi dan tata sosial sosial produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana publik, usangnya negara dan bangsa serta penggalian kembali inspirasi-inspirasi tradisi.

Secara etimologis Postmodernisme terdiri dua kata, post dan modern. Kata post adalah bentuk prefix, diartikan dengan ‘later or after’.  Menyatu menjadi postmodern akan berarti sebagai koreksi terhadap modern itu sendiri—modernisme salah satu bentuk humanisme melalui berbagai narasi besar modernisme; kapitalisme, eksistensialisme, liberalisme, idealisme, tidak bisa membuktikan hal itu.  Secara terminologi, Pauline Rosenau (1992)[4] mendefinisikan Postmodern dalam istilah yang berlawanan antara lain: Pertama, postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas. Yaitu pada akumulasi pengalaman peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal dan rasionalitas. Kedua, teoritisi postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan sebagainya. Postmodernisme bersifat relatif. Kebenaran adalah relatif, kenyataan (realitas) adalah relatif, dan keduanya menjadi konstruk yang tidak bersambungan satu sama lain.

5.   Postmodenitas

Dalam era modernisme sendiri masyarakat dituntut untuk menerima serta memahami berbagai konsep yang rasional serta realistis demi mencapai kemajuan di berbagai bidang yang memerlukan penalaran serta pemahaman lebih dalam mengenai konsep-konsep pembangunan yang ada.  kemudian disadari konsep kehidupan yang seperti ini begitu kaku dan tidak sejalan dengan manusia yang memiliki rasa-rasa humanisme yang selalu ingin berubah dan mencari yang baru. post modernisme menganggap keadaan ini tidak memanusiakan manusia. Oleh karena itu kemudian memunculkan aliran post modernisme sebagai solusi yang dianggap dapat kembali memanusiakan manusia.  Paham itu seperti sekularisme, universalisme dan pemerataan. Seperti universalisme yang dalam post modern dianggap cocok dengan keadaan alamiah manusia, nyatanya di beberapa Negara yang merealisasikan paham universalisme dalam keadaan sehari-hari, tidaklah menciptakan kearifan lokal di dalam lingkungan masyarakatnya.

6.   Perbedaan Modernisme Dan Postmodernisme

Modernisme adalah suatu periode yang mengafirmasi keeksistensian dan kemungkinan mengetahui kebenaran menggunakan penalaran manusia. Oleh karena itu, dalam arti simbolik penalaran menggantikan posisi Tuhan, naturalisme menggantikan posisi supernatural. Modernisme sebagai pengganti dinyatakan sebagai penemuan ilmiah, otonomi manusia, kemajuan linier, kebenaran mutlak (atau kemungkinan untuk mengetahui), dan rencana rasional dari social order. Modernisme dimulai dengan rasa optimis yang tinggi.  Postmodernisme adalah sebuah reaksi melawan modernisme muncul sejak akhir abad 19. Dalam postmodernisme, pikiran digantikan keinginan, penalaran digantikan emosi, dan moralitas digantikan relativisme. Kenyataan tidak lebih dari sebuah konstruksi sosial; kebenaran disamakan dengan kekuatan atau kekuasaan. Identitas diri muncul dari kelompok. Postmodernisme mempunyai karakteristik fragmentasi (terpecah-pecah menjadi lebih kecil), tidak menentukan (indeterminacy), dan sebuah ketidakpercayaan terhadap semua hal universal (pandangan dunia) dan struktur kekuatan. 

7.   Postmodern Sebagai Filsafat

Filsafat postmodern pertama kali muncul di Perancis sekitar tahun 1970-an, terlebih ketika Jean Francois Lyotard menulis pemikirannya tentang kondisi legitimasi era postmodern, dimana narasi-narasi besar dunia modern (seperti rasionalisme, kapitalisme, dan komunisme) tidak dapat dipertahankan lagi.  Ketika postmodern mulai memasuki ranah filsafat, post dalam postmodern tidak dimaksudkan sebagai sebuah periode atau waktu, tetapi lebih merupakan sebuah konsep yang hendak melampaui segala hal modern. Konsep postmodernitas yang sering disingkat postmodern merupakan sebuah kritik atas realitas modernitas yang dianggap telah gagal dalam melanjutkan proyek pencerahannya.

Nafas utama postmodern adalah penolakan atas narasi-narasi besar yang muncul pada dunia modern dengan ketunggalan terhadap pengagungan akal budi dan mulai memberi tempat bagi narasi-narasi kecil, lokal, tersebar, dan beranekaragam untuk bersuara dan menampakkan dirinya.

B.  Pemikiran Jacques Derrida

1. Derrida dan Postmodernisme

Pemikiran Derrida lahir di era posmodernisme ketika modernisme dengan proyek pencerahannya mendekati kehancuran. Sebelumnya, modernisme di Barat merupakan pandangan-dunia yang berorientasi  kemajuan (the idea of progress) yang fondasi  epistemologinya dibangun berdasarkan asumsi; pengetahuan senantiasa bersifat objektif, netral, bebas nilai (free valued);  manusia merupakan subjek, sementara alam menjadi objek;  pengetahuan terhadap realitas adalah positif, gamblang dan jelas (distinctive);  rasio dan akal budi merupakan sumber satu-satunya otoritas yang memiliki kebenaran tak tergugat; manusia adalah pelaku dan penggerak sejarah dan karenanya memegang kendali (dan monopoli) atas berbagai perubahan sosial, politik, ekonomi dan aspek-aspek kehidupan lainnya. 

Kehadiran posmodernisme reaksi dan kritik (sistematis) atas modernisme dengan mempertanyakan klaimnya mengenai proyek pencerahan.  Lyotard[5] (1984) menyebut Grand Narratives (narasi-narasi besar) yang legitimasinya; rasionalisme, positivisme, materialisme, dan humanisme—Kebebasan, Kemajuan dan Emansipasi mempertegas posisi manusia sebagai subjek dan rasio sebagai pusat. Narasi-narasi besar tersebut terbukti otoriter; mentotalkan segala bentuk pengetahuan ke dalam suatu sistem yang koheren dan stabil.  Dari perspektif ini, “posmodernisme” hadir sebagai ketidakpercayaan terhadap segala bentuk narasi besar yang menjelma dalam filsafat metafisis, filsafat sejarah dan segala bentuk sistem pemikiran yang mentotalisasi, seperti; Hegelianisme, Marxisme, Liberalisme dan lain sebagainya. 

Posmodernisme bukan gerakan yang terpola pada satu pengertian, tetapi terbuka dan merangkul berbagai penafsiran yang berbeda, dengan satu tujuan; membendung ambisi modernisme sebagai proyek pemikiran dan konsekuensi-konsekuensi negatif yang dibawanya. Posmodernisme gerakan yang merayakan perbedaan dan pluralitas serta menolak mereduksi segala hal ke dalam satu pengertian atau pola tertentu yang diklasifikasikan menjadi tiga kategori:

1.    Pemikiran yang hendak merevisi paradigma kemodernan dengan merujuk kembali pola-pola berpikir pramodern—tidak dalam artian primitif. Misalnya, gerakan spiritual New Age, mengajak manusia modern kembali kepada kebijaksanaan kuno (philosophia perennis) atau metafisika Timur yang menjunjung tinggi nilai-nilai holistik dan kearifan. Tokohnya, Fritjof Capra, Frithjof Schuon, Garry Zukav, Illya Prigogine, dan Ken Wilber.

2.    Pemikiran yang hendak merevisi paradigma kemodernan dengan mengoreksi tesis-tesis tertentu dari modernisme, namun tanpa menolaknya secara total. Rasionalitas atau adanya keyakinan tentang kebenaran yang objektif diakui, namun sejauh terbuka untuk menerima pluralitas dan kritik. Mereka tidak menolak sains, tetapi mengecam saintisme yang mengklaim kemutlakan kebenaran ilmiah. Tokohnya, David Bohm, A.N Whitehead, Frederick Ferre, Davis Ray Grffin, dan J. Cobb Jr. Gerakan lain yang tergabung dalam kategori ini adalah mereka yang merumuskan ulang rasionalitas, emansipasi, objektivitas, dan tesis-tesis utama modernisme dan mendialogkannya dengan realitas plural masyarakat. Misalnya, Jurgen Habermas bisa dianggap representasi kelompok ini, selain itu juga ada Hans-Gerorg Gadamer dan Paul Ricour.

3.    Pemikiran yang terkait dengan literary studies dan banyak meminjam paradigma dan pendekatan disiplin kebahasaan (linguistik). Kata kunci kelompok ini adalah “dekonstruksi”—diperkenalkan Heidegger dan diradikalkan oleh Derrida. Kecenderungan kelompok ini mengatasi segala bentuk pandangan dunia modern melalui gagasan yang sama sekali anti-pandangan-dunia. Mereka merelatifkan, bahkan menihilkan segala unsur penting yang membentuk pandangan-dunia seperti; diri. Tuhan, tujuan, makna, dunia nyata, metafisika dan lain-seterusnya. Relativisasi ini berarti mencari sudut pandang alternatif yang cenderung disingkirkan oleh pandangan yang dominan. Nilai-nilai fundamental modernisme dibenturkan secara kontrakdiktoris dengan konsekuensi-konsekuensi logis paling ekstrem yang sering kali tak terduga dari modernitas itu sendiri. 

Derrida mendemonstrasikan kontradiksi-kontradiksi modernisme melalui sistem metafisika menjadi pandangan-dunianya lewat dua strategi; 1) Dia membaca teks-teks filsafat yang ditulis para filsuf Barat sejak era pencerahan. Dari telaahnya, tradisi filsafat Barat sepenuhnya “Logosentrisme” —sistem metafisik yang mengandaikan adanya logos atau kebenaran transendental di balik segala hal yang tampak di permukaan atau segala hal yang terjadi di dunia fenomenal.   Dalam teks-teks filsafat, kehadiran logos ditampilkan dengan hadirnya “pengarang” (author) sebagai subjek yang memiliki otoritas terhadap makna yang disampaikan. “Kehadiran” pengarang sebagai representasi dari atau bahkan logos yang diisyaratkan secara metaforis oleh Derrida disebut dengan istilah “Metafisika Kehadiran” (Metaphysics of Presence). 2) Membaca teks secara dekonstruktivistis yaitu membaca dan menafsir teks-teks filsafat lalu membandingkan satu sama lain untuk menemukan “kontradiksi internal” yang tersembunyi di balik logika atau tuturan teks. Derrida memilih sebuah teks yang dianggap representatif, lalu membubuhkan catatan kaki untuk mengorek dan mengusik “logika” yang stabil dari teks tersebut. Strategi ini membuat teks tidak lagi utuh sebagai sebuah karya, melainkan jalin-menjalin dengan karya-karya lain.

Derrida menyadari bahwa narasi muncul dari teks dan teks berurusan secara langsung dengan bahasa. Derrida kemudian mencari strategi pembentukan makna di balik teks, dengan mengeksplisitkan sistem-sistem perlawanan yang tersembunyi atau didiamkan oleh pengarang. Oleh karenanya Derrida mengasumsikan bahwa filsafat pada dasarnya adalah tulisan. Filsafat berurusan langsung dengan teks dan teks adalah tulisan. Menurut Derrida, tugas dekontruksi menghilangkan ide-ide ilusif yang selama ini menguasai metafisika Barat, yaitu ide yang mengatakan rasio bisa lepas dari bahasa dan sampai kepada kebenaran atau metode murni dan otentik dalam dirinya sendiri tanpa bantuan yang lain (Norris, 2003)[6]

Derrida menunjukkan bahwa setiap tulisan filosofis mengandung banyak kelemahan yang tidak bisa dibenahi dengan mengembalikan teks kepada strukturnya yang paling awal. Di balik teks-teks itu, tidak ada lagi pusat atau subjek yang dapat diacu oleh pengarang. Yang ada hanyalah kekuatan-kekuatan yang menyebar secara acak dan beragam yang tidak mungkin direduksi. “Di balik teks filosofis, yang terdapat bukanlah kekosongan”, “melainkan sebuah teks lain: suatu jaringan keragaman kekuatan-kekuatan yang pusat referensinya tak jelas”. Jadi, model realitas yang ditawarkan filsafat otomatis tidak seratus persen bisa diterima atau bermakna. Derrida mengajak kita; berpikir “tanpa konsep tentang kehadiran atau absensi, tanpa sejarah, tanpa tujuan, tanpa archia ataupun telos, berpikir tentang suatu tulisan yang akan mengacaukan dialektika, teologi, teleologi ataupun ontologi”. Bagi Derrida tidak ada kebenaran ilmu pengetahuan yang absolut, yang ada ialah hanya representasi khusus.

Proyek dekonstruksi Derrida; Pertama, menolak dikotomi konseptual antara “kehadiran” (presence) dan “absensi” (absence). Dengan kata lain, antara metafisika yang didasarkan pada kehadiran subjek dan ketiadaan subjek lainnya. Dengan menolak semua dikotomi maka yang terjadi adalah terbukanya peluang bagi subjek-subjek yang selama ini ditiadakan secara sistematis oleh filsafat/metafisika Barat untuk tampil ke permukaan. Kedua, Derrida menolak adanya “asal-usul” (archis, origins) yang diyakini secara metafisik sebagai sumber kebenaran atau fondasi bagi filsafat untuk membangun asumsi-asumsi filosofisnya. Derrida menyarankan meninggalkan konsep “tujuan” (telos) yang diandaikan dalam filsafat tradisional sebagai titik akhir dari seluruh proses pencapaian filosofis. Konsep telos bersangkut-paut dengan gagasan “kausa final” Aristotelian sebagai tujuan akhir dari tiga rangkaian; kausa material, kausa efisien, dan kausa formal.  Keempat kausa dimaksud merupakan proses kesinambungan yang terjadi secara metafisik pada segala sesuatu. Kausa material menjadi sebab eksistensi sesuatu di dunia material. Di dunia material kausa efisien menjadi penyebab segala hal yang memungkinkan segala sesuatu terjadi. Sementara itu, kausa formal menjadi penyebab yang memungkinkan sesuatu berkembang. Di antara ketiga kuasa ini, kausa final merupakan puncak dan akhir yang tidak memungkinkan apa pun lagi terjadi, karena “yang akhir” menandai segalanya telah sampai di tujuannya. Telos tidak saja mengisyaratkan bahwa segalanya telah sempurna, melainkan juga telah sampai pada realisasi akhir yang transenden dari segala jenis perubahan. 

Ketiga, Derrida mengajukan pertimbangan filsafat sebagai tulisan. Ini merupakan inti dari proyek dekonstruksi sebab dengan meletakkan filsafat dalam kapasitasnya sebagai tulisan, konsep-konsep khas metafisika kehadiran, seperti “subjek”, “pengarang” atau “pusat” dengan sendirinya luruh. “Tulisan” yang dimaksud Derrida adalah teks yang tidak lagi memiliki referensi yang menjadi pusat dari struktur atau teks yang memiliki kemungkinan tak terhingga untuk dibaca dan ditafsirkan. Dalam tulisan yang dibayangkan Derrida, stabilitas dan koherensi makna ditangguhkan dengan memberi ruang bagi munculnya penafsiran-penafsiran yang berbeda dari keinginan pengarang. Pada prinsipnya, “tulisan adalah metafor” tentang suatu kenyataan yang berjalin-jalin dan saling bertautan, yang bekerja tanpa mediasi oleh subjek. Tulisan mengatasi segala bentuk metafisika dan kehadiran. Melalui pembacaannya atas tradisi metafisika Barat, Derrida sampai pada kesimpulan bahwa tradisi itu mesti diakhiri.

 

2. Jejak Dekonstruksi Derrida

Pemikiran Derrida merupakan proyek emansipasi teks dan tanda sebagai dua hal yang bagi Derrida berakhirnya modernitas.  Buku adalah metafor tentang totalitas yang dibangun dengan membungkam perbedaan-perbedaan dan meringkusnya ke dalam satu keutuhan. Peradaban metafisika, kata Derrida adalah peradaban buku yang memuja totalitas dengan menyingkirkan perbedaan-perbedaan. Sejarah juga dibangun dengan prinsip buku yang menyeleksi, menormalisasi dan menstabilkan penyimpangan-penyimpangan yang dinilai berbahaya dan mengancam keutuhan dan integritas wacana. Sebuah buku yang dirangkai secara sistematis dan disajikan sebagai sebuah kesatupaduan yang komprehensif tetaplah terdiri atas huruf-huruf, aksara-aksara dan barangkali juga angka-angka. Di dalam huruf yang tampak bisu dan diam itu, tersembunyi kekuatan yang tak mungkin selamanya dirangkum ke dalam totalitas. Sebuah huruf yang merapat di antara barisan kata-kata terkadang menyuarakan sesuatu yang lain–semacam enigma yang tak terselami, tetapi memikat dan barangkali juga tak terlalu mudah untuk dijinakkan.

Dekonstruksi bermula dari huruf. Sebuah huruf yang tampak tersisih ternyata dapat dijadikan strategi tekstual untuk merombak bangunan metafisika yang megah dan tegak menjulang. Al-Fayyadl (2005:166)[7] membandingkan nasib metafisika dengan menara Babel dalam Perjanjian Lama: sebuah menara yang tinggi maha luas dengan ribuan kamar dibangun untuk menjangkau langit dan menyaingi keakraban Tuhan. Namun Tuhan tidak berkenan dan menghancurkan dan mengacaukan rencana manusia “sehingga mereka tidak mengerti lagi bahasa masing-masing”.

Mereka pun berserakan ke seluruh penjuru bumi. Mungkin kehancuran menara Babel hanya ada di dalam mitos, tetapi pesan metafor kehancuran terasa begitu kuat—kita tidak mungkin membangun sebuah totalitas yang utuh selain mengikuti perbedaan yang merupakan kodrat dari kehidupan. Derrida menyamakan kehancuran menara babel dengan dekonstruksi, yang tidak saja “memperlihatkan ketidakmungkinan mereduksi kemajemukan bahasa, tetapi juga menunjukkan sebuah ketidaksempurnaan, ketidakmungkinan untuk menyelesaikan, untuk mentotalkan, untuk memenuhi dan untuk menyempurnakan sesuatu di atas tataran perbaikan, konstruksi arsitektural, sistem dan arsitektonik”. 

Dekonstruksi mengingatkan bahwa ada perbedaan–difference–yang tak selamanya tertaklukkan, pelbagai jejak dari masa silam yang tidak memungkinkan kita membawa makna sebuah teks pada kepenuhannya. Dalam perbedaan-perbedaan yang menyebar dan tak tertampung oleh totalitas itu, sebuah sistem pemikiran yang hendak meleburkan segalanya akan terbentur dengan berbagai perubahan di masa depan. Metafisika yang selama ini dipertahankan dalam peradaban barat terbukti mengalami krisis mendalam ketika dihadapkan pada tuntutan masa depan yang penuh dengan ketidakpastian dan pelbagai kemungkinan.

Teks adalah universum tanpa batas. Teks adalah sebuah bentangan pemaknaan yang menghampar, bertaut tanpa akhir, jalin-menjalin, melimpah-ruah ke segala penjuru, terus-menerus, mengalir tak henti-henti. Yang tergambar adalah sebuah gerak tak berarah yang bergulir dari satu medan ke medan baru, menerabas batas dan menembus ruang yang tersembunyi. Gerak sebuah teks tak punya awal dan tak kunjung final. Ia lebih menyerupai sebuah avontur, sebuah gerak menjelajah yang tak punya tujuan pasti kecuali mengikuti arah angin yang tak selamanya tetap.

Sebuah teks, ibarat sebuah gurun pasir tak bertepi yang menelantarkan kafilah dari tujuannya. Dalam gurun yang cuma dihuni oleh kaktus dan semilir angin malam, seorang pengembara hanya bisa berjalan mengikuti bayang-bayang fatamorgana yang tak terkejar. Ia tak akan pernah mampu merengkuh apa yang diinginkannya. Ia hanya bisa bergegas mencari mata angin, tetapi yang ditemukannya tetaplah bayang-bayang dan jejak-jejak yang bertaburan entah dari mana.

Dalam kerangka inilah sebuah teks tidak pernah berpretensi hadir sebagai sesuatu yang “bulat” dan selesai. Di sana ada proses yang tak kunjung menemukan format akhirnya dalam sebuah rumusan yang mutlak. Sebuah teks tak pernah menuntut sebuah formula yang komprehensif. Yang hadir di sana lebih merupakan sebuah undangan menuju penafsiran yang tak kunjung putus, yang merangsang pembacanya untuk mempertanyakannya kembali apa yang telah diperolehnya. Dengan demikian dalam sebuah teks tak ada lagi acuan tunggal yang dapat dijadikan tumpuan makna. Semuanya menyebar ke segala arah dan menciptakan pusat-pusat yang tak stabil, yang dengan segera digantikan dengan pusat-pusat baru yang berangkai, berjalin-kelindan, dan beralih rupa dari satu tempat ke tempat yang lain.

Petualangan teks adalah sebuah peziarahan literer yang tidak mengenal kata akhir. Teks tampak bagaikan sebuah medan yang menjanjikan tantangan dan pengembaraan menuju ruang-ruang kehidupan yang tak pernah terjamah oleh tangan-tangan manusia. Sebuah perjalanan tidak harus selalu mengantarkan kita untuk tetirah dan mencari tempat berlindung. Sebuah perjalanan yang menyenangkan ada kalanya menggoda kita untuk berhujan-hujan di bawah badai dan terjun ke dalam sesuatu yang sama sekali tak terduga. Mungkin kita menemukan analogi tentang hal ini dari sesuatu yang barangkali tak pernah ada dalam sejarah, namun selalu hadir dalam mimpi dan ingatan manusia sejak dulu hingga kini; Labirin.  Labirin adalah lorong bentuk yang dipenuhi jalan-jalan setapak dan bercabang-cabang serta lorong-lorong maut yang gelap dan menyesatkan. Labirin tetaplah sebuah metafor yang akan selalu hadir dalam lambo ingatan manusia, sebab itulah satu-satunya metafor yang dengan lirih menunjukkan betapa kita sungguh tak berdaya dan betapa semua hanyalah permainan tanpa henti, jejak-jejak yang mengundang kita untuk berteka-teki sekaligus bertaruh.

Labirin juga simbol dari kegilaan dan hasrat penasaran yang tak pernah lekang akan permainan, juga kecanduan manusia akan misteri dunia yang tak kunjung jemu. Menapaki sebuah labirin bagaikan bertualang dalam dunia yang berbaur, di mana lapis-lapisnya tampak semu dan menyusupkan sesuatu yang tak pernah mudah terengkuh oleh indera. Sebuah labirin adalah sebuah dunia dalam wajah yang paling tak lazim. Di sini kita sirna dan tersedot dengan ketakjuban tiada henti, kecemasan yang berkecamuk antara bermain-main dan mencari ujung lubang. Mungkin sebab itulah sebuah labirin tak pernah sungguh-sungguh hadir untuk kita. Dengan kata lain, labirin barangkali hanya sebuah jejak (sekali lagi, hanya) dari nostalgia akan sesuatu yang hilang dan tak selamanya mengejawantah kecuali bersulang dalam bayang-bayang: kehadiran. Labirin adalah teks. Kehampaan. Sebuah etalase tanda. Dan rimba jejak.

 

3. Wajah Relatif Kebenaran

Dekonstruksi merupakan tantangan terhadap totalitas makna, penafsiran atau pengetahuan yang terlembagakan dalam sejarah, institusi sosial, kultur dan pelbagai order of things yang ingin menata dunia ke dalam satu sistem tunggal dan koheren. Dari sudut pandang ini dekonstruksi sebuah “hermeneutika radikal”. Ia menyajikan tafsir atas kenyataan, tetapi tak pernah berpretensi menjadikan tafsir itu satu-satunya penjelas atau pemilik otoritas yang sepenuhnya menguasai apa yang dihadapinya. Tafsir dekonstruksi berasal dari kepekaan adanya perbedaan yang mungkin hadir, entah kapan dari suatu benda, suatu pengalaman atau ingatan. Perbedaan itu mungkin tersembunyi, terselip di balik lipatan-lipatan waktu dan karenanya tak tertangkap indera. Sebuah penafsiran senantiasa dimulai dengan pengakuan bahwa penafsiran tidak pernah memadai menangkap fenomena seutuhnya dan mereduksinya ke dalam kategori pengetahuan yang dimiliki. Yang-lepas dan yang-tak-terbahasakan itu bergerak sangkarut, bertaut dari satu ujung ke ujung lain bagaikan tali-temali yang dihampar dari langit dan menjuntai ke bawah, ke dalam bumi yang tak berdasar.

Sebuah tafsir dekonstruksionis membentang kemungkinan-kemungkinan yang tak terbatas, tetapi yang juga tak pernah dapat dilihat atau diramalkan dengan penglihatan. Sebuah penglihatan merupakan salah satu bentuk kekerasan metafisika terhadap “yang lain”. Di dalam penglihatan yang menyorot tajam ke muka, ada cahaya dan semangat untuk mencerahkan bayang-bayang dan kegelapan yang tak terjangkau oleh indera. Ada juga semangat untuk menaklukkan “yang lain”—yang berbayang-bayang dan gelap itu—ke dalam pangkuan pengetahuan dan abstraksi yang kita punyai. Dari keinginan untuk menjangkau dan merengkuh perbedaan ke dalam sebuah kategori itu, samar-samar muncul kehendak untuk menguasai, menaklukkan “yang beda” dan “kekerasan cahaya” (the violence of light).  Tentu saja dekonstruksi bukan sebuah ajakan untuk bersikap nihilistik terhadap makna dan kebenaran.   Dekonstruksi melampaui nihilisme naif dengan membabi buta mempercayai bahwa tidak ada lagi kebenaran yang dapat dipegang.

Dekonstruksi melampaui dogmatisme tradisional yang percaya hanya ada satu kebenaran melainkan sebuah rangsangan untuk tidak melihat kebenaran yang diyakini sebagai satu-satunya kebenaran. Ada banyak kebenaran, terlalu banyak dan kita dapat memilih berbagai kebenaran sejauh yang kita butuhkan. Mengingat begitu banyak kebenaran maka kebenaran itu sendiri tidak akan pernah tercapai dalam totalitas yang bulat. Perjalanan mencari kebenaran tidak akan pernah sampai pada kebenaran yang akhir dan final; sebagai sebuah proses, ia adalah perjalanan mencari kemungkinan-kemungkinan itu sendiri. Namun, kendati kebenaran selalu berupa kemungkinan, pada dasarnya ia adalah ketidakmungkinan, yakni sesuatu yang mustahil direngkuh kecuali dalam difference dengan segenap kemajemukannya—sans savoir, sans voir, sans avoir (tidak mengetahui, tidak melihat, tidak memiliki).

Sans savoir–tidak mengetahui–menggambarkan bahwa sebuah teks tidak selalu dapat ditangkap oleh penafsir dalam totalitasnya. Dengan begitu penafsir tidak mempunyai otoritas pengetahuan atas tafsirannya. Tak ada “subjek yang menyarankan makna” dalam proses penafsiran. Setiap penafsiran harus dikembalikan kepada watak intertekstualitas dari teks dan difference. “Menafsirkan” menurut Heidegger adalah sebuah laku yang tidak dapat dikerjakan melulu dengan pikiran; ia menuntut kita untuk bergerak dengan kesadaran holistik yang melibatkan segenap eksistensi. Derrida lebih radikal lagi. Dengan menafsir, ketersingkapan Ada dibawa sampai batas-batas epistemologinya sehingga kita pun mustahil mengetahui dengan sepenuhnya apa yang ingin kita tafsirkan. Ketidaktahuan ini merupakan bentuk penundaan terhadap klaim epistemologis atas kebenaran.

Penafsiran selalu berupa “penghampiran” terus-menerus atas kebenaran yang tidak pernah sampai pada totalitasnya (Presque Totalite). Sans voir–tidak melihat–mengisyaratkan sebuah keterbatasan indera dan penglihatan akan kebenaran. Ia juga mengisyaratkan sesuatu yang lain: sebuah ekstasis akan ketakjuban misteri yang berada di luar penglihatan normal. Dalam keadaan buta, dengan mata terpejam, seorang penafsir terlempar ke dalam ngarai tanpa dasar yang tidak memungkinkan dia kembali membangun fondasi penafsirannya di atas sesuatu yang kukuh.

Penafsiran menyebar, mengalami diseminasi, memproduksi teks-teks baru yang tak pernah stabil atau selesai. Sans avoir – tidak memiliki---kebenaran dievaluasi dari klaim otoritatifnya. Kebenaran tidak lagi berada di pangkuan penafsir, melainkan bergerak menyebar ke penafsiran-penafsiran lain yang beda. Tak ada lagi otoritas atau pengarang (author) transendental yang memiliki kuasa mutlak atas teks, yakni meleburnya batas-batas antara pengarang dan teksnya. Teks memiliki otonominya sendiri dan berjalan seiring dengan dinamika penafsir dan pembaca. Pengarang telah mati dan bunuh diri atau bermetamofosis menjadi penafsir dan homo reader.

Dekonstruksi lebih merupakan strategi pembacaan dari pada sebuah metode yang memiliki sebuah ancangan yang jelas dan sistematis. Dekonstruksi meradikalkan permainan makna sehingga menuntut penafsir untuk memperbarui penafsirannya setiap saat dan memulai tafsirannya dengan semangat baru, sudut pandang baru, strategi baru dan pendekatan baru yang lebih menantang. Derrida mengakui bahwa dekonstruksi akan mencemaskan sang pemburu makna. Proses penulisan, penafsiran terus-menerus yang meradikalkan difference, selalu diiringi oleh hasrat akan pusat yang stabil. Impian akan pusat yang mengatasi perubahan dan kontingensi absolut ini terus-menerus menghantui proses penulisan.

Tidak ada penafsiran yang terbebas dari nostalgia akan kehadiran yang hilang. Sebuah proses penafsiran akan terus diliputi hasrat akan kembalinya kehadiran. Namun, kita harus membiarkan impian itu hadir, karena hanya dengan demikian proses penulisan itu terjadi. Ketegangan antara impian akan pusat yang stabil dan arus perubahan menunjukkan bahwa penulisan adalah difference yang tak mungkin dipenuhi. Selalu ada dan kurang dan kekurangan ini harus ditebus dengan penafsiran dan penulisan yang baru. Sebuah penulisan mendapatkan energinya dari permainan teks yang dilakukan untuk membuat makna tidak stabil dan selalu terbuka untuk ditafsirkan ulang. Sebuah dekonstruksi memang tampak seperti sebuah tafsir ekstatik.

Sebuah permainan yang dicetuskan oleh dekonstruksi membawa kita pada keadaan trance sehingga teks tampak bagaikan sebuah luapan air yang mengalir deras tanpa pernah berhasil ke bendungan. Dalam pusaran tafsir yang tidak henti-hentinya mengalir dan bersambung itu, sebuah permainan dirayakan untuk menyambut datangnya makna-makna baru yang disingkirkan oleh penafsiran yang dominan dan pemahaman yang lebih segar yang dinafikan oleh logika teks yang distabilkan oleh kuasa kepengarangan.

Derrida menganggap bahwa dekonstruksi merupakan strategi pembacaan yang ateologis dan ateleologis, sebab yang dipentingkan bukan bagaimana penafsir mengapresiasi teks memperoleh tujuan yang diinginkan, melainkan bagaimana membebaskan teks dari pra-niat-an dan pra-andai-an penafsiran itu sendiri. Jika ia telah sepenuhnya mengakui otonomi teks dengan membebaskan teks dari beban makna, berarti ia tengah membiarkan kekuatan teks bekerja dan menciptakan medan-medan permainan yang baru. Permainan yang tak putus-putus dari satu teks ke teks lain, dari satu penanda ke penanda lain, bergerak tak beraturan menuju masa depan yang jauh, bertaut dari satu jejak ke jejak lain. Sebuah gerakan yang disamakan dengan gerak acak “kuantum” yang datang secara mendadak dan menciptakan lompatan-lompatan besar dalam tubuh sains, yang belum pernah terbayangkan dalam sejarah peradaban manusia.

 

4. Teologi Apokaliptik–Agama tanpa (sains) Agama

Dekonstruksi juga mempunyai dimensi “teologis”. Meskipun begitu, kata, “teologis” di sini tidak dapat dipahami dalam kerangka metafisika kehadiran, yang merujuk pada adanya sebuah logos atau kebenaran tertentu yang transenden. Dimensi “teologis” dalam dekonstruksi lebih menunjuk pada ketidakmungkinan itu sendiri, yakni ketidakmungkinan untuk membicarakan “Tuhan”—atau berbicara tentang Tuhan karena pengaruh atau efek dari difference yang muncul dari penghormatan akan Yang Lain, tout autre, Yang Lain sama sekali daripada yang lain. Dekonstruksi telah memperlihatkan bahwa ketidakmungkinan untuk mencapai kebenaran (atau kebenaran sebagai yang tak mungkin) berasal dari tidak adanya lagi horizon pemaknaan yang dapat dibangun untuk mengetahui kebenaran.

Horizon itu telah hancur (atau setidaknya tertunda) karena kebenaran dalam teks kebenaran yang diivensikan dalam tekstualitas difference tulisan tidak pernah hadir selain sebagai jejak yang terus menunda kemungkinan untuk mencapainya. Sans savoir, sans voir, sans avoir.  Seluruh filsafat Derrida lahir dari penghayatannya akan yang-tak-mungkin ini. Dalam tulisan-tulisannya, Derrida berbicara tentang iman yang tak mungkin. Di sana Derida menemukan hasrat yang “lain”, hasrat dan gairah religius yang melampaui dogma – sebuah kerinduan spiritual yang tak terbahasakan akan “AIlah” yang tak mungkin untuk diketahui. Pengalaman religius Derrida dengan agama Yahudi yang dianutnya lambat-laun ia “melampaui” agama itu beralih masuk ke dalam “agama tanpa-agama”, agama yang lahir dari kegairahan total akan Ilahi, Yang Tak Mungkin.

“Agama tanpa agama” tentu bukanlah agama dalam pengertiannya yang konvensional. “Agama” ini lebih merupakan pengalaman religius dan cara pandang kita mendekati Yang Ilahi sebagai Yang Tak Mungkin. Perbedaan yang membuat “agama” ini unik adalah penekanannya pada gairah total akan Yang Ilahi sebagai the wholly other yang tidak mungkin dibahasakan, melampaui pengetahuan dan tak terjemahkan (untranslatable). Gairah inilah yang membutakan iman kita membuat kita hanya bisa berkata dalam kata-kata Derita “je ne sains pas, il faut croire” (saya tidak tahu apa-apa saya hanya bisa beriman). Kebutaan ini merupakan konsekuensi dari dimensi “teologis” dalam dekonstruksi, di mana tidak ada lagi pengetahuan atau kesadaran yang menerangi hubungan kita dengan Yang Lain. Kita sepenuhnya tenggelam pada kegelapan dan membiarkan Yang Lain tak terjamah oleh kekerasan yang terpencar dari penglihatan kita.

“Agama tanpa agama” tidak menafikan hadirnya institusi agama yang selama ini kita temui dalam sejarah. Ia lebih merupakan sebuah undangan menuju keberagamaan baru dan upaya untuk memaknai pengalaman religius dalam kaitannya dengan Yang Ilahi. “Agama tanpa agama” hanya ingin melampaui tradisi atau institusi agama dan membebaskan pengalaman religius kita dari keterbatasan tradisi atau institusi agama itu sendiri. Pengalaman ini menuntut agama untuk menjalani keberagamaan mereka dengan penghayatan tinggi akan keterbatasan Tuhan dan keterbatasan bahasa manusia. Menghayati agama jelas lebih dari sekadar agama dengan penganut dogma atau melaksanakan ritual yang diwajibkan oleh institusi agama. menghayati berarti mempertanyakan, menggugat, dan menjadikan keimanan kita dengan Yang Ilahi. Di sana tidak ada “Iman” yang selesai. Iman selalu berproses dan tak pernah punya akhir.

Bagi Derrida, makna religius kehidupan bertolak dari pergulatan diri dengan ketidakpastian yang radikal, kejutan-kejutan yang tak teramalkan, atau risiko yang sewaktu-waktu muncul dan membuat keimanan goyah. Pergulatan ini hanya mungkin apabila seorang religius membuka diri terhadap masa depan absolut, yakni masa depan yang tidak dapat diantisipasi pada masa sekarang. Di masa depan yang jauh itu, iman akan selalu diuji dengan pengalaman-pengalaman baru yang mungkin jauh lebih radikal. Tantangan masa depan yang tak terbatas itu tidak mungkin dirangkum dalam kekinian atau kemungkinan-kemungkinan yang dibentuk oleh masa sekarang (temporal present) atau kehadiran kita pada saat ini. Dengan kata lain, masa depan absolut merupakan penundaan terhadap kehadiran.  Dekonstruksi berpangkal dari keterbukaan iman kepada masa depan absolut. Dengan semangat ini, seorang religius menyambut masa depan itu sebagai momen apokaliptik bagi datangnya sang Other yang ditunggu, yang tak teramalkan dan melampaui batas-batas horizon antisipasi kita sesuatu yang kemungkinannya tidak dapat kita tebak atau kita bayangkan. The Other ini adalah sesuatu yang mustahil, yang tak mungkin, atau yang belum mungkin.

Oleh karena itu, kedatangannya akan menjadi momen yang sangat mengejutkan dan menggetarkan. Datangnya the Other melampaui kemungkinan-kemungkinan dan mengubah iman kita menjadi tak mungkin. Pada momen ini, iman menjadi amat berisiko, rentan, tak stabil dan penuh ketidakpastian. Iman menjadi pertaruhan akhir yang menggerakkan kita menuju masa depan yang terbuka. Iman kehilangan kendalinya karena pesona the Other yang tak terbahasakan oleh pengalaman religius yang biasa.

“Agama” Derrida adalah agama apokaliptik, yakni iman yang terbuka kepada the Other, yang mempersilakan the Other datang dan membuat religiusitas kita menjadi tak mungkin, dan yang menjadikan iman kita sebuah lawatan tanpa akhir menuju yang-tak-mungkin. Pengalaman apokaliptik dengan the Other (the wholly other) mentransendensi keterbatasan bahasa manusia karena ketidakmungkinan dari the Other itu sendiri untuk dinamai dengan sebuah sebutan yang memadai. Oleh karena itu pengalaman dengan the Other, selain apokaliptik juga apophatic, yakni menghindari upaya apapun untuk mengatributkan sebuah nama kepada the Other.

Pada kedua momen apokaliptik dan apofatik ini, Derrida berbicara tentang tema yang pernah disinggung Levinas: sebuah undangan menuju Yang Lain sebagai ajakan untuk berbuat adil dan melakukan kebaikan. Seperti Levinas, Derrida juga berbicara tentang etika yang mendahului metafisika karena ketidakmungkinannya untuk direduksi. Etika ini merupakan struktur awal  dari setiap perjumpaan kita dengan Yang Lain; sebuah etika yang berangkat dari “pikiran yang murni heterologis” yang mengajak kita meninggalkan interioritas ego menuju alteritas absolut Yang Lain. 

Levinas menjadikan momen perjumpaan dengan Yang Lain sebagai pintu pembuka menuju “masa depan eskatologis” yang mengatasi kemungkinan. Dengan demikian momen perjumpaan dengan Yang Lain tidak sekadar memiliki dimensi etis, melainkan juga dimensi eskatologis.  Dimensi terakhir ini diradikalkan Derrida melalui apokalioptik viens (datanglah) yang bergerak melampauai horizon kemungkinan dan menandai lahirnya sebuah transgresi menuju Yang Lain.

 

5. Masa Depan Tak Terbatas – Etika Historisitas dan Politik Dekonstruksi

Metanarasi, metafisika Barat, dimulai dengan satu titik dan berakhir dalam satu titik: Sejarah. Sejarah pun menjadi kanon yang dibaca, terus-menerus, sebagai kisah besar, cerita tentang kejayaan logos, sang hero.  Dekonstruksi ingin membalikkan bandul sejarah yang terlanjur mengakar dalam konsepsi metafisika ketika memandang dunia. Sejarah yang kita terima selama ini adalah sejarah yang dikuasai oleh nostalgia akan masa lalu dan keinginan mengontrol masa depan. Sejarah inilah yang diwariskan modernitas dan semangat pencerahan. Dalam gestalt sejarah semacam ini, perbedaan akan dilihat sebagai ancaman terhadap perkembangan dan kemajuan yang diidamkan. Sejarah dipahami sebagai “sejarah ideal” yang berproses secara teleologis, bergerak ke arah kesempurnaan.  Konsepsi sejarah ini mendominasi metafisika Barat dan terbukti pandangan ini membawa modernitas ke ambang kejatuhannya. 

Dekonstruksi memperlihatkan bahwa perbedaan itu perlu dan tak mungkin dihilangkan sehingga sejarah masa depan, sejarah yang tak lagi dikuasai oleh nostalgia masa lalu dan kehadiran tetapi dibangun dari penghormatan akan perbedaan. Sejarah yang telah mendekonstruksi narasi tunggalnya dan menjadi sejarah. Sejarah faktis atau sejarah empiris, yakni sejarah sebagaimana dialami oleh individu atau sekelompok orang. Sejarah ini akan selalu berubah, mengalami pasang surut dan tidak selamanya konstan.  Derrida mengajak kita berpikir tentang sejarah sebagai kemungkinan-kemungkinan, yakni “kepastian adalah fiksi dari kehadiran yang diselubungi oleh hasrat untuk mengutuhkan sesuatu yang retak”.

Derrida ingin meyakinkan melalui dekonstruksi bahwa sejarah ideal tidak terpisah dari sejarah faktis. Setiap sejarah mengidealkan suatu tujuan bersama harus mengakui dimensi-dimensi faktor yang membentuknya. Sejarah faktis juga tidak dapat dianggap sebagai sesuatu yang eksterior dari sejarah ideal. Setiap cita-cita yang diimpikan oleh sejarah ideal juga dipengaruhi oleh pasang-surut perubahan (contingency). Sejarah ideal tidak netral dari difference. Idealitas makna dan kebenaran di dalamnya terstruktur dari perbedaan-perbedaan yang implisit, diakibatkan oleh beragam pengalaman eksistensial dari masyarakat atau individu yang bersangkutan.

Perbedaan dan perubahan akan selalu melekat pada cita-cita sejarah apa pun. Perbedaan dan perubahan menentukan dinamika dari sejarah dan kita tidak dapat menepikan begitu saja efek dari perbedaan itu terhadap sebuah cita-cita tertentu. Aspek kesejarahan yang penting adalah temporalitas yang diradikalkan, “sebuah pemikiran lain tentang historialitas” yang melampaui sejarah sebagai institusi dan cita-cita teleologis. Temporalitas berarti perubahan dan semangat untuk berproses dalam sebuah dinamika. Dalam arus perubahan yang penuh ketidakpastian, masa depan yang dibayangkan secara linear menjadi tidak memadai. Kita harus menghadapi masa depan yang terstruktur secara radikal oleh ketidakmungkinan, yakni masa depan yang absolut yang tak terbatas dan tak mungkin, baik untuk diproyeksikan ataupun diprediksi dengan apa yang kita miliki saat ini.

Ketidakmungkinan masa depan, masa depan yang tak mungkin diontologisasi dengan kehadiran, bergerak melampaui horizon yang tak dapat kita lihat.  Ketidakpastian di masa depan dan kian terbukanya masa depan ke arah kemungkinan-kemungkinan yang tak terduga menunjukkan bahwa tuntutan etis di masa depan hampir sepenuhnya “utopis” dan karenanya tidak mungkin diwujudkan sekarang juga. Nilai-nilai etis, seperti keadilan atau demokrasi misalnya, tidak bisa sepenuhnya direalisasikan saat ini. Kata Derrida (2002)[8], kita hanya bisa berkata tentang “demokrasi yang akan datang” atau “keadilan yang akan datang” etika yang dituntut oleh masa depan absolut adalah etika yang tak mungkin, yang harus terus-menerus diupayakan untuk dicapai, dan tak pernah definitif. Kita tidak akan pernah sampai pada sebuah realisasi yang memadai tentang suatu capaian etis tertentu. Sebaliknya, kita harus mengupayakan untuk mewujudkan nilai-nilai etis itu seraya tetap menjaga “jarak” agar nilai-nilai itu tetap mengilhami langkah kita menuju masa depan dengan tanpa mengklaim bahwa kita telah berhasil melaksanakannya dengan sempurna.

Dekonstruksi memberikan perspektif lebih segar terhadap wawasan politik postmodern. Ketidakmungkinan nilai-nilai etis direalisasikan secara utuh akan menghindarkan setiap subjek politik yang terlibat dalam ruang-ruang politis untuk mendefinisikan politik secara sepihak. Dengan cara yang sama, nilai-nilai etis akan memberikan kesempatan lebih besar kepada yang terpinggirkan secara politis untuk berpartisipasi dalam memaknai politik.  Sebuah ruang politis adalah medan permainan yang terus-menerus diwarnai ketegangan antara pusat yang stabil dan munculnya pusat-pusat baru. Permainan politis ini tidak pernah dapat dilembagakan dalam suatu institusi yang stabil, seperti negara maupun masyarakat, melainkan terus-menerus menciptakan ruang-ruangnya sendiri yang terlepas dan menyebar ke segala arah.

Dengan demikian ruang politis tidak pernah stabil dan selalu pragmenter karena ketidakmungkinan untuk merangkul semua elemen yang terlibat di dalamnya ke dalam satu keutuhan. Hal ini, kata Derrida, membuat setiap upaya “konsensus” atau “kesepakatan sosial” yang dibayangkan oleh ilmu sosial menjadi tak mungkin. Sebuah ruang politis bukanlah sebuah medan permainan yang otonom. Di dalamnya selalu ada kehendak untuk menguasai dan menaklukkan Yang Lain. Oleh karena itu ruang politis tidak akan pernah sampai pada rumusan definitif karena selalu ada yang tersisa (reste) dan yang tak tereduksi—yakni jejak dari kehadiran-kehadiran yang terus tertunda.  Menurut Derrida, kita tidak akan pernah mencapai sebuah pengertian definitif tentang ruang politis karena ada permainan kuasa dan kehendak yang ikut terlibat di dalamnya.

Oleh karenanya, Derrida mempersoalkan kemungkinan mencapai sebuah rasionalitas dalam ruang publik, problemnya terletak pada “rasionalitas” itu sendiri, yang tidak pernah monologik dan satu dimensi. “Rasionalitas” adalah istilah yang problematis karena masih mengandaikan adanya sebuah rasio-bersama yang objektif dan stabil, sementara dalam ruang politis, rasio-bersama itu hanyalah produk dari norma-norma inteligibilitas yang tidak stabil.

Rasionalitas dalam ruang politis dihasilkan dari norma-norma inteligibilitas yang dipengaruhi oleh permainan kuasa dan hasrat untuk menundukkan yang-lain, sehingga tidak pernah terdapat rumusan yang gamblang dan final tentang apa yang diinginkan oleh masing-masing pihak. Karena itu Derrida menolak ruang publik sebagai representasi kehendak kolektif dari individu atau masyarakat. Ruang publik sebagai medan permainan adalah penundaan terus-menerus terhadap kemungkinan mencari pemahaman yang definitif terhadap sesuatu. Oleh karena permainan yang tak putus-putus dan tegangan relasi kuasa di dalamnya, dapat dipahami jika dengan sendirinya ruang publik itu problematic—Kita tidak dapat mengatakan bahwa ruang publik sepenuhnya merepresentasikan keinginan kolektif sebuah masyarakat karena perbedaan interpretasi dan ketidakmungkinan mereduksi perbedaan itu ke dalam satu penafsiran yang tunggal atau representasi yang benar-benar utuh.

Dekonstruksi melampaui institusi-institusi yang dibentuk oleh sejarah, masyarakat atau lembaga politik. Oleh karena itu pembicaraan Derrida terhadap suatu problem yang terkait dengan institusi tidak pernah menyentuh basis empiris yang menjadi landasan institusi tersebut. Derrida lebih tertarik mempersoalkan pijakan metafisik yang memungkinan institusi itu ada dan disituasikan dalam sejarah atau masyarakat. Untuk itu, Derrida mengajak kita berpikir ke belakang, ke suatu keadaan “primordial” ketika sama sekali tidak ada institusi atau lembaga apapun yang membentuk pengetahuan dan kesadaran kita. Disinilah sumbangan penting dari dekonstruksi. Dengan dekonstruksi, kita diajak melampaui sejarah atau institusi dengan mempertanyakan legitimasi metafisik apa yang membentuk sejarah atau institusi tersebut. Dengan demikian, kita memahami alasan Derrida menyatakan bahwa etika mendahului hukum atau keadilan dan nilai-nilai etis tidak pernah mungkin direalisasikan.

Derrida ingin membebaskan kita dari konseptualisasi yang dilakukan oleh institusi manapun yang hendak membakukan penafsiran dan interpretasi kita terhadap Kebenaran. Derrida mengingatkan bahwa etika mendahului metafisika atau ontologi. Setiap institusi yang dibangun dalam kultur atau lingkungan sosial tertentu tidak dapat mendefinisikan etika sesuai dengan konteks historisnya yang terbatas. Etika adalah ketakterbatasan atau Yang Tak Terbatas itu sendiri, dan karenanya ia hanya bisa didekati jika kita dapat berpikir melampaui institusi dengan “menjangkarkan” harapan kita akan terwujudnya nilai-nilai tersebut pada masa depan absolut yang tak terbatas pula. Derrida ingin melampaui institusi dalam rangka menyelamatkan nilai etis yang tak terbatas itu. Hal inilah yang membuat dekonstruksi tampak sebagai sebuah pembebasan. Pembebasan menuju masa depan absolut dan permainan terus-menerus menuju Kebenaran yang-tak-mungkin.

 

6. Menuju “Rasionalitas” Pascametafisik

Ketika modernitas mulai surut sebagai proyek pengetahuan muncul, kesadaran bahwa rasionalitas tidak setangguh yang diperkirakan. Rasionalitas hanyalah jalinan kuasa dari berbagai kepentingan dan selama ia terkait dengan kepentingan, dengan kuasa, maka pada saat yang sama ia tak pernah stabil.  Derrida membawa rasionalitas ke tubir ambiguitas, dengan mempertanyakan secara radikal asumsi-asumsi kehadiran yang menghuni gagasan rasionalitas itu sendiri. Derrida mengibaratkan dekonstruksi sebagai upaya “berfilsafat dengan palu”. Palu itu, kini telah menghancurkan sebuah “berhala” bernama Rasio, yang dipuja para filsuf Pencerahan, namun segera kehilangan daya magisnya setelah Nietzsche mengumandangkan untuk “membunuh Tuhan”.

Menurut Derrida rasionalitas adalah gagasan yang sangat problematis dan benar-benar riskan. Ambiguitas pengertian “rasionalitas” terletak pada pertautannya dengan relasi-relasi kuasa dan konteks historis yang berubah. Sementara rasionalitas dipahami secara tunggal, sebagai Akal, pemahaman terhadap rasionalitas tidak pernah definitif dan selalu berubah; tidak stabil dan kontingensi. Gadamer (2004)[9] mengatakan bahwa rasionalitas harus dipahami secara pragmatis yakni sebuah pengertian praktis untuk mengetahui bagaimana menerapkan skema-skema ilmiah dan epistemologis pada keadaan yang konkret, sekaligus memberi ruang bagi perbedaan.

Bagi Gadamer, nalar pragmatis akan mengurangi klaim otoritatif dari pengetahuan apa pun, seraya mengakui keterbatasan masing-masing perspektif. Hal sama dilakukan Rorty (1979)[10] mereduksi tegangan itu dengan mengakui keserbamungkinan dari setiap bahasa dan komunikasi. Rasionalitas yang terbentuk dari relasi-relasi pragmatis secara otomatis dilucuti dari klaim metafisikanya. Rorty secara radikal menolak metafisika dengan menekankan pluralitas fragmentatif pengetahuan. Memasuki era pasca metafisik, mempertahankan rasionalitas akan tampak problematis, karena gagasan rasionalitas berkembang dengan epistemologi dan wawasan modern yang telah usang dan mengalami kebangkrutan internal.

Satu-satunya jalan menyelamatkan “rasionalitas” dengan memodifikasi pengertian rasionalitas sesuai kebutuhan masyarakat postmodern yang fragmenter, centang-perenang dan plural. Inilah alasan Derrida mengatakan bahwa dekonstruksi bukan nihilisme naif yang sama sekali menolak kebenaran. Dekonstruksi ingin memperlihatkan ketidakmungkinan untuk mencapai sebuah pengertian tunggal terhadap kebenaran. Kebenaran tersebut dengan sekian banyak permainan-bahasa yang bergerak terus-menerus dalam sebuah dinamika intertekstual yang tak putus-putus. Rasionalitas tidak dapat diselamatkan dalam ruang yang terpisah dari permainan-bahasa yang lain. Ia, sebaliknya, dikonstruksi dari perbedaan takfsir dan penundaan-penundaan (difference).

Tesis Derrida menegaskan bahwa segala sesuatu bermain dan berubah. Sebuah rasionalitas pasca metafisik tentu saja harus bermain dan mempermainkan dirinya, jika ia ingin bebas dari beban kehadiran. Rasionalitas pasca metafisik harus dilepaskan dari asumsi-asumsi ontologisnya melalui permainan dan dekonstruksi-diri terus-menerus. Bidang-bidang epistemologis yang ada saat ini---dari yang spekulatif, seperti filsafat, hingga yang matematis, seperti sains---harus dibebaskan dari beban ontologi. Jika filsafat telah mendekonstruksi dirinya dengan menegaskan kematian metafisika maka sains yang ilmiah dan tampak positif itu harus memulai permainan ini sekarang juga. Feyerabend (1993)[11] dengan prinsipnya Anything Goes memperlihatkan bagaimana sains yang ilmiah mengalami krisis dan instabilitas makna; segala riset ilmiah dapat melakukan kegiatannya dengan metode dan pendekatan apapun, baik formal dan informal—apapun boleh. Selama riset dilakukan untuk memodifikasi suatu temuan sanins tertentu, gaya pendekatan apapun sah dilakukan. Feyerabend meradikalkan temuan Thomas Kuhn tentang anomali dan pergeseran paradigma dalam sains posmodern. Jika Kuhn menemukan sanis mengalami krisis parah dan anomali-anomali sehingga membutuhkan revolusi-revolusi besar maka kata Feyerabend bisa sesuka hati mendekati sains dengan model pendekatan apa pun. Sains adalah ruang permainan. Di sana kita dapat bebas meryakan apa pun, termasuk mempermainkan sebuah teori yang sudah mapan. Feyerabend bahkan mensubversi pengertian sains normal yang dipahami oleh Kuhn karena menurutnya, pengertian “normal” itu sendiri sangat problematis dan memiliki banyak varian.

Salah satu alasan mengapa “rasionalitas” sains tampak problematis karena penalaran logis para ilmuwan dari masa ke masa selalu berubah dan tidak pernah sepenuhnya memadai untuk menjelaskan sebuah fenomena ilmiah pada suatu masa tertentu. Logika ilmiah juga terkait erat dengan prasangka, peristiwa-peristiwa kebetulan, kondisi material peneliti, kekeliruan, imajinasi, dan khayalan yang berkembang ketika ilmuwan hidup atau bahkan mitos rekaan dari masyarakat di mana ia meneliti. Akan tetapi, sains juga rasional, karena riset ilmiah yang dilakukan pada suatu periode tertentu juga memakai logika dan standar rasionalitas yang lazim pada saat tersebut.  Harus diakui bahwa sains, bagaimanapun adalah salah satu bentuk penafsiran terhadap dunia dan fakta, dan sejauh ia merupakan penafsiran maka pada saat itu ia tentatif dan dapat dipertanyakan ulang.

Oleh karena itu Feyerabend (1993) menyebut metodologinya yang “anarkhis” itu sebagai “counter inductionism” karena menolak setiap klaim ilmiah tentang stabilitas sebuah paradigma ilmiah dalam sains.   Dekonstruksi membantu sains keluar dari jepitan otoritarianisme. Metodotologinya memperkenalkan permainan terus-menerus terhadap konsep yang terlanjur mapan. Permainan akan membuat sains terus memeriksa asumsi-asumsi teoritisnya dari melakukan klasifikasi menyeluruh terhadap rancang-bangun epistemologinya. Ruang lebar yang dimungkinkan oleh permainan akan membawa sains pada batas-batas sendiri sehingga setiap pencarian ilmiah akan terhindar dari dogmatisme buta terhadap sebuah teori atau paradigma. Upaya ke arah itu tidak akan pernah selesai. Dekonstruksi adalah proses yang selalu “menuju”. Ia tak punya akhir, juga awal. Sebuah perjalanan menuju yang-tak-mungkin.

 



[1] suatu keadaan yang diorganisir oleh kesukuan atau mengadvokasi gaya hidup kesukuan. Evolusi manusia terutama terjadi dalam kelompok-kelompok kecil, yang bertentangan dengan massa yang di dalam masyarakat, dan manusia secara alami memelihara jejaring sosial. Dalam budaya populer, tribalisme juga dapat merujuk pada cara berpikir atau berperilaku setia hanya kepada kelompok sosial mereka saja di atas segalanya, atau, merendahkan kelompok lain, sejenis diskriminasi atau permusuhan berdasarkan perbedaan kelompok.

[2] Jencks, Charles. 1960.The Language of Post-Modern Architecture. London: Academy Editions and New York: Rizzoli.

[3] Arnold Toynbee, Sejarah Umat Manusia, alih bahasa Ahmad Baihaqi, dkk (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2005

[4] Rosenau, Pauline. 1992. Postmodernism and Social Sciences: Insights, Inroads, and Intrusion. Princeton: Princeton University Press.

[5] Lyotard, Jean Francois. 1984. The Postmodern Condition: a Report on Knowledge. Manchester.

[6] Norris S.P. and Phillips L.M. 2003. How Literacy In Its Fundamental Sense Is Central To Scientific Literacy, Science Education.

[7] Al-Fayyadl, Muhammad, 2005, Derrida, Yogyakarta: LKiS.

[8] Derrida, Jacques. 2002. Dekonstruksi Spiritual: Merayakan Ragam Wajah Spiritual, Yogyakarta: Jalasutra.

[9] Gadamer, Hans-georg. 2004. Kebenaran dan Metode, Yogyakarta: Pustaka Belajar.

[10] Rorty, Richard. 1979. Philosophy and the Mirror of Nature, NJ: Princeton University Press.

[11] Feyerabend, Paul Karl. 1993. Against Methode, New York: Verso.

 


0 Response to "PEMIKIRAN POSTMODERNISME DARI JACQUES DERRIDA"

Posting Komentar