Dominasi Maskulin

blogger templates

Perempuan memang dikondisikan untuk selalu menyingkir dan diam. Oleh karena itu, mereka tidak bisa menggunakan suatu kekuatan kecuali mengembalikannya kepada laki-laki. Piere Bourdieu

Perempuan harus melawan dunia, agar bisa terbang tinggi. Di penghujung perjuangan itu, ia akan menyadari bahwa laki-laki harus dilawan dan ditaklukkan untuk menemukan otonomi absolut. Muhamad Arsat

A. Pendahuluan[1]
Pembagian secara seksual selalu berbicara tentang segala yang normal, natural, agar hal itu bisa dianggap tidak terhin­darkan: pembagian itu hadir sekaligus, dengan keadaan terobjektifikasi, dalam hal-hal (misalnya di rumah, yang seluruh bagian-bagiannya telah "di-seks-kan"), dalam seluruh dunia seksual, hadir dengan keadaan terbentuk, dalam tubuh, dalam kebiasaan para agen, dengan berfungsi sebagai sistem-sistem skema-skema yang mengatur persepsi, pikiran dan tindakan. Kata "kategori" menjadi wajib digunakan sebab kata itu bisa mengacu sekaligus pada suatu kesatuan sosial—misalnya ka­tegori petani—dan suatu struktur kognitif dan sanggup memperlihatkan hubungan yang mengaitkan kesatuan dan struktur kognitif itu. Persetu­juan antara struktur-struktur objektif dan struktur-struktur kognitif, antara konformasi keberadaan [retre] dan bentuk-bentuk pengetahuan [le connaitre], antara berjalannya dunia dan harapan-harapan orang atas dunia itulah yang membuat mungkin terjadinya hubungan yang digambarkan Husserl dengan nama "sikap natural" atau "pengalaman doxique"—tetapi Husserl tidak menjelaskan kemungkinan kondisi­kondisi sosial. Pengalaman itu mencakup dunia sosial dan pembagian­pembagian arbitrernya, mulai dari pembagian yang dibuat secara sosial antarseks, sebagai yang natural, terlihat jelas, dengan begitu maka pe­ngalaman itu mengandung suatu pengakuan yang utuh tentang legiti­masinya. Ada aksi mekanisme-mekanisme mendalam, seperti misalnya mekanisme yang mendasari kesesuaian struktur-struktur kognitif dan struktur-struktur sosial.
Kekuatan tatanan maskulin terlihat pada fakta bahwa tatanan itu hadir dengan justifikasi; Visi androsentris diwajibkan sebagai yang netral dan tidak perlu disebutkan dalam diskursus yang me­mang dibuat untuk melegitimasinya. Tatanan sosial berfungsi se­perti sebuah mesin yang sangat besar dan berkecenderungan me­ratifikasi dominasi maskulin yang mendasarinya: tatanan itu adalah pembagian kerja secara seksual, yaitu sebuah distribusi yang sangat ketat tentang aktivitas-aktivitas yang dibagi-bagi kepada masing-­masing seks, yaitu tentang tempat kerja, jam kerja, dan alat-alat kerja mereka. Tatanan itu adalah struktur ruang, yang dilengkapi dengan oposisi antara tempat berkumpul atau pasar yang dikhususkan untuk laki-laki dan rumah yang diperuntukkan bagi perempuan. Di da­lam rumah pun, ada pembagian antara bagian yang maskulin yaitu dapur perapian dan bagian feminin yaitu kandang, air dan kebun sayuran. Tatanan ini adalah struktur waktu, hari, tahun pertanian, atau siklus kehidupan, dengan momen-momen keterputusan yang bersifat maskulin dan periode-periode panjang pertumbuhan, yang bersifat feminin.
B.   Kekerasan Simbolik
Dominasi maskulin mendapati semua kondisi penerapannya dalam keadaan menyatu. Kehormatan yang secara universal diakui untuk laki-laki diafirmasikan dalam objektivitas struktur-struktur sosial dan objektivitas aktivitas-aktivitas produktif dan reproduk­tif. Struktur-struktur sosial dan struktur-struktur aktivitas-aktivitas produktif dan reproduktif itu hadir atas dasar pembagian seksual kerja produksi dan reproduksi biologis dan sosial yang memberi­kan bagian terbaik bagi laki-laki. Kehormatan juga diafirmasikan dalam skema-skema yang terdapat dalam semua habitus. Habitus­habitus dibuat oleh kondisi-kondisi serupa. Jadi secara objektif habitus-habitus memang sudah disesuaikan. Karenanya, habitus­-habitus berfungsi sebagai matriks-matriks dari persepsi-persepsi, pemikiran-pemikiran, dan semua tindakan yang dilakukan oleh semua anggota masyarakat. Habitus-habitus berfungsi juga seba­gai hal-hal transendental historis yang dipaksakan kepada setiap agen sebagai yang transendental, sebab habitus-habitus itu ada di setiap orang secara universal. Oleh karena itu, representasi an­drosentris tentang reproduksi biologis dan reproduksi sosial hadir dengan baju objektivitas suatu pemahaman umum yang dianggap sebagai konsensus bersifat praktik, doxique, tentang makna dari segala bersifat praktik. Ada skema-skema pemikiran yang merupakan produk dari pembentukan relasi-relasi kekuasaan dan dinyatakan dalam oposisi-oposisi yang mendasari tatanan simbolik. Perempuan mengaplikasikan skema-skema itu atas semua realitas. Terutama, mereka mengaplikasikannya atas relasi-relasi kekuasaan yang me­merangkap mereka. Selanjutnya harus dikatakan bahwa tindakan­tindakan pengetahuan [yaitu tindakan untuk mengetahui] yang dilakukan perempuan merupakan tindakan-tindakan pengakuan praktik, persetujuan atas doxa dan keyakinan. Tindakan-tindakan pengakuan praktik, persetujuan atas doxa dan keyakinan bukan untuk dipikirkan dan diafirmasi sebagaimana adanya demikian, tindakan-tindakan itu dalam arti tertentu "merupakan" kekerasan simbolik yang dialami oleh perempuan."
Memahami istilah "simbolik" harus memper­lawankannya dengan istilah nyata dan efektif. Kalau demikian, maka orang bisa saja menganggap bahwa kekerasan simbolik hanyalah suatu kekerasan murni bersifat "spiritual" dan dengan begitu diang­gap bahwa kekerasan simbolik tidak memiliki efek nyata. Pembe­daan semacam itu naif, dan khas dilakukan orang dalam materi­alisme awal. Pembedaan inilah yang ingin dihancurkan oleh teori materialis ekonomi harta simbolik, dengan memberi tempat bagi objektivitas pengalaman subjektif tentang relasi-relasi dominasi da­lam teori itu.
Bourdieu mencoba memperlihatkan fungsi-fungsi heuristik referensi ke etnologi. Referensi ke etnologi ini dianggap merupakan suatu cara merestorasi mitos tentang "feminin kekal" (atau maskulin) dengan baju ilmiah dan sekaligus menyatakan bahwa struktur-struktur dominasi itu adalah produk dari suatu kerja reproduksi tanpa henti (jadi bersifat historis), dilakukan oleh beberapa agen tunggal (termasuk para laki­laki dengan senjata-senjatanya seperti kekerasan fisik dan kekerasan simbolik). Dan beberapa institusi (keluarga, Gereja, Sekolah, Negara) yang turut punya andil dalam menghadirkan produk itu.
Ada beberapa kategori dibuat dengan titik pandang kaum domi­nan. Kaum terdominasi mengaplikasikan kategori-kategori itu ketika berusaha memahami relasi-relasi dominasi. Dengan begitu, maka mereka membuat kategori-kategori itu tampak natural. Hal ini mem­buat orang melakukan sejenis depresiasi diri, bahkan penjelek-jelekan diri yang sistematis. Depresiasi diri dan penjelek-jelekan diri itu bisa dilihat terutama dalam representasi-representasi yang dibuat perem­puan Qubail tentang kelamin mereka. Mereka menganggap kelamin mereka sebagai suatu barang rusak, jelek, bahkan memuakkan (atau di dunia kita bisa dilihat dalam visi sejumlah perempuan bahwa tubuh mereka tidak sesuai dengan kanon-kanon estetis yang diberlakukan oleh mode). Dan secara lebih umum, penjelek-jelekan diri (depresiasi diri) itu bisa dilihat dalam ikutnya perempuan untuk mendukung suatu citra yang merendahkan perempuan." Kekerasan simbolik dilembagakan lewat perantaraan kesepakatan yang tidak bisa dilaku­kan oleh si terdominasi kepada si dominan (yaitu kepada dominasi) ketika si terdominasi itu tidak memiliki apa pun kecuali instrument-­instrumen pengetahuan yang juga dimiliki oleh si dominan.
Orang bisa melihat bahwa sebagian besar kaum perempuan Prancis menyatakan bahwa mereka menginginkan pasangan lebih tua dan secara koheren mengharapkan laki-laki lebih besar daripada mereka. Dua pertiga dari seluruh perempuan Prancis bahkan secara eksplisit menolak laki-laki lebih kecil daripada me­reka. Apa arti penolakan yang dilakukan perempuan terhadap le­nyapnya tanda-tanda biasa "hierarki" seksual? Atas pertanyaan itu, Michel Bozon menjawab, "Menerima pembalikan kenampakan sama saja dengan membuat orang berpikir bahwa perempuanlah yang mendominasi, hal semacam ini akan (secara paradoksal) merendah­kan perempuan itu secara sosial: perempuan merasa mengecil jika kawin dengan laki-laki yang kecil." Jadi tidak cukup kalau orang melihat bahwa kaum perempuan umumnya memang setuju dengan laki-laki (dari pihak mereka menginginkan perempuan lebih muda) untuk menerima tanda-tanda luar suatu yang terdominasi. Dalam representasi yang mereka buat tentang hubungan mereka dengan la­ki-laki yang (akan) mereka lekatkan dengan identitas sosial mereka, kaum perempuan memperhitungkan representasi yang cenderung dibuat oleh semua laki-laki dan perempuan tentang laki-laki, de­ngan mengaplikasikan skema-skema persepsi dan apresiasi yang ada di semua orang secara universal (dalam kelompok bersangkutan). Secara diam-diam dan secara tidak terbantahkan, prinsip-prinsip bersama itu menuntut bahwa laki-laki menduduki posisi dominan di antara mereka berdua, dalam kenampakan dan dalam kaitannya dengan segala yang eksternal. Posisi dominan itu harus untuk laki-laki, untuk kehormatan yang diakui perempuan a priori dan diinginkannya agar diakui secara universal. Tetapi posisi dominan itu juga untuk perempuan itu sendiri, untuk kehormatan mereka sendiri. Perempuan hanya bisa menginginkan dan mencin­tai iaki-laki yang kehormatannya jelas telah terafirmasi dan dibuktikan dalam serta lewat fakta bahwa secara jelas "laki-laki itu telah melebihinya". Jelas hal itu terjadi di luar segala perhitungan, lewat arbitrer yang terlihat pada suatu inklinasi yang tidak dipersoalkan dan tidak dinalar, tetapi tidak bisa lahir dan lengkap kecuali dalam pengalaman superioritas, sebagaimana dilaporkan oleh pengamatan tentang perbedaan-perbedaan yang diinginkan. Karenanya, umur dan ukuran badan (dijustifikasi sebagai indeks-indeks dari ke­dewasaan dan jaminan kepastian) menjadi tanda-tanda paling tidak dipersoalkan dan diakui oleh semua orang.
Untuk sampai pada ujung paradoks-paradoks yang hanya bisa dipahami dengan suatu visi disposisionalis itu, maka perempuan yang paling memperlihatkan diri mereka sebagai yang paling taat kepada model "tradisonar—dengan mengatakan bahwa mereka menginginkan selisih umur be­sar dengan suaminya—bisa ditemukan terutama di kalangan para pengrajin, para pedagang, orang desa dan juga di kalangan pekerja. Dalam kategori-kategori itu, bagi perempuan, perkawinan tetap merupakan cara istimewa untuk mendapatkan suatu posisi sosial. Disposisi-disposisi kepatuhan merupakan produk dari penyesuaian diri tidak sadar pada probabilitas-probabilitas yang diasosiasikan dengan suatu struktur objektif dominasi. Disposisi-disposisi itu diungkapkan dalam preferensi-preferensi. Sehingga seolah disposisi­-disposisi itu menghasilkan ekuivalen dari suatu hitung-hitungan kepentingan yang dipahami dengan balk. Sebaliknya, disposisi-­disposisi ini cenderung semakin lemah ketika dependensi objek­tifnya juga menurun—tentu saja dengan efek-efek hysteresis yang bisa dijelaskan dengan analisis variasi praktik-praktik bukan hanya berdasarkan posisi yang diduduki tetapi juga menurut trajektorinya. Dependensi objektif ini ikut menghadirkan dan mempertahankan disposisi-disposisi itu. Logika penyesuaian disposisi-disposisi dengan kesempatan-kesempatan objektif bisa dipakai untuk men­jelaskan mengapa orang bisa mendapati bahwa akses yang dimiliki perempuan untuk pekerjaan profesional adalah suatu faktor penting yang membuat perempuan memiliki akses lebih besar untuk me­minta cerai". 
Hal ini cenderung menegaskan bahwa, berlawanan dengan representasi romantis, tendensi percintaan bukan hal yang tidak dipengaruhi oleh suatu bentuk rasionalitas yang tidak ada hubungannya dengan hitungan rasional, atau dengan kata lain, sebe­narnya sebagian cinta merupakan amor fati, cinta akan nasib sosial.
Kekuatan simbolik adalah suatu bentuk kekuasaan yang diber­lakukan atas tubuh secara langsung. Kekuasaan itu diberlakukan atas tubuh tanpa menggunakan kekangan fisik apa pun. Kekuatan simbolik bisa bekerja seperti tombol pengaktif, yaitu dengan penggunaan energi yang sangat kecil. Hal itu demikian karena kekuatan simbolik hanya sekadar mengaktif­kan disposisi-disposisi yang ditempatkan oleh kerja inkulkasi dan pembentukan di dalam laki-laki atau perempuan yang memberikan diri mereka untuk dikuasai oleh kerja itu. Dengan kata lain, kekuat­an simbolik itu mendapatkan kondisi-kondisi kemungkinan dan sisi ekonominya (dalam pengertian diperluas dari istilah ini) dalam kerja besar yang dilakukan sebelumnya. Kerja itu harus ada untuk melaksanakan suatu transformasi yang bertahan lama atas tubuh dan untuk menghasilkan disposisi-disposisi yang permanen, bisa dihidupkan dan dibangunkan. Aksi transformasi akan sedemikian menguat jika dilakukan dengan cara yang tidak terlihat dan rumit, lewat familiarisasi yang tidak terasa, dengan suatu dunia fisik yang telah terstruktur secara simbolik, dan melalui pengalaman tentang interaksi-interaksi yang didiami oleh struktur-struktur dominasi.
Tindakan-tindakan dalam pengetahuan dan pengakuan praktik tentang batas magis antara kaum dominan dan kaum terdominasi seringkali hadir dalam bentuk emosi-emosi jasmaniah/badaniah­ rasa malu, rendah diri, penakut, kekhawatiran, rasa bersalah—atau dalam bentuk hasrat-hasrat dan perasaan-perasaan—cinta, keka­guman, rasa hormat. Tindakan-tindakan dalam pengetahuan dan pengakuan praktik itu dihidupkan oleh kekuatan simbolik. Sering­kali tanpa sepengetahuan mereka, kadang meski tidak mereka su­kai, tindakan-tindakan itu memperkuat dominasi yang dialami oleh kaum terdominasi itu sendiri, karena kaum terdominasi itu mene­rima aturan-aturan yang dipaksakan kepada mereka. Emosi-emosi itu akan semakin menyakitkan, bilamana emosi-emosi itu muncul dalam manifestasi yang terlihat orang, seperti wajah yang memerah, perkataan yang gagap, gerak-gerik yang kikuk, badan gemetaran, ke­marahan atau kemurkaan yang tak berdaya. Semua itu adalah cara-­cara untuk menjadi tunduk terhadap penilaian dominan, meskipun mereka tidak menyukainya dan meski tubuhnya menolak melakukan itu. Kadang dalam konflik internal dan perpecahan diri, semua emosi itu adalah cara-cara untuk menyetujui dukungan tersembunyi yang dihidupi suatu tubuh, dengan pengawasan sensor-sensor in­heren pada struktur-struktur sosial, sebab tubuh itu menyerah kepada arahan kesadaran dan keinginan.
Hasrat-hasrat habitus terdominasi (dalam hal gender, etnik, ke­budayaan atau bahasa) adalah relasi sosial tersomatisasi, yaitu hukum sosial dikonversikan menjadi bangunan hukum. Hasrat-hasrat itu bukanlah sejenis dengan hasrat-hasrat yang bisa kita kendalikan hanya dengan suatu kekuatan keinginan, hadir berdasarkan suatu kesadaran pembebas. Orang akan menjadi korban ilusi, jika mem­percayai bahwa kekerasan simbolik bisa dikalahkan dengan meng­gunakan senjata kesadaran dan keinginan. Hal itu karena efek-efek dan kondisi-kondisi kekuatan kekerasan simbolik itu telah lama ter­tera pada bagian terdalam tubuh, dalam bentuk disposisi-disposisi. Orang bisa melihat hal itu terutama dalam kasus relasi kekerabat­an. Dalam kasus itu, kecenderungan-kecenderungan durabel tubuh sudah tersosialkan diungkapkan dan dihidupi dalam logika perasaan (cinta kepada anak, saudara, dan lain-lain) atau dalam logika kewajiban bisa hidup lama meski kondisi-kondisi sosial produksinya sudah tiada. Logika kewajiban ini seringkali menyatu dalam pengalaman rasa hormat dan pemberian diri afektif. Dengan demikian orang bisa melihat bahwa, ketika batasan-batasan luar dihilangkan dan kebebasan-kebebasan formal—seperti hak pilih, pendidikan, akses ke segala profesi, termasuk profesi politik—sudah didapatkan, maka penyingkiran diri dan "vokasi" (yang "berlaku" baik dengan cara negatif maupun positif) akan hadir menjadi peng­hubung dari eksklusi sengaja. Misalnya, penolakan kepada perem­puan supaya mereka tetap berada di luar tempat publik. Ketika diungkapkan secara eksplisit seperti di kalangan orang Qubail, pe­nolakan ini mengutuk perempuan agar berada di tempat terpisah dari laki-laki. Selain itu misalnya juga, perempuan yang mencoba mendekati suatu ruang maskulin seperti tempat pertemuan, dianggap melakukan suatu pelanggaran berat. Penolakan semacam itu bisa terjadi di manapun dengan cara seberhasil itu, lewat sejenis ago­raphobia yang diberlakukan secara sosial. Agoraphobia itu bisa terus hidup bahkan berlangsung lama setelah penghapusan larangan itu diberlakukan. Dan agoraphobia itu cenderung membuat perempuan melakukan eksklusi diri mereka sendiri terhadap agora.
Mengingatkan orang tentang jejak-jejak dominasi tercetak da­lam tubuh dan mampu menceritakan dampak-dampak yang ditim­bulkan jejak-jejak itu tidak sama dengan memberikan senjata-senja­ta bagi cara sangat jahat untuk meratifikasi dominasi yang dilakukan dengan melemparkan kepada perempuan tanggung jawab akan pe­nindasan yang mereka alami, dengan mengatakan bahwa mereka memang memilih untuk menggunakan praktik-praktik penunduk­kan atau de­ngan mengatakan bahwa perempuan memang menyukai dominasi dan "menikmati" perlakukan-perlakuan buruk yang mereka alami, lewat suatu masokisme yang memang sudah merupakan bagian dari sifat kodrati mereka. Harus diakui bahwa disposisi-disposisi yang "tertundukkan" kadang digunakan orang untuk "menyalahkan korban" yang merupakan produk dari struktur-struktur objektif. Kemudian bahwa struktur-struktur itu tidak akan berhasil kecuali dengan didukung oleh disposisi-disposisi yang dihidupkannya serta memberi andil dalam produksi dari struktur-struktur objektif itu. Kekuatan simbolik tidak bisa digunakan tanpa adanya andil dari mereka yang mengalaminya dan tidak akan mengalaminya, kecuali bila mereka mengonstruksi kekuatan simbolik itu demikian rupa. Akan tetapi agar kita tidak berhenti pada temuan ini (seperti dilaku­kan oleh konstruktivisme idealis, etnometodologi atau yang lain), maka kita harus bertindak dan membicarakan konstruksi dunia dan konstruksi kekuatan-kekuatannya. Konstruksi praktik sangat bukan merupakan tindakan intelektual yang sadar, bebas, dan dengan se­ngaja dilakukan oleh seorang "subjek" sendirian. Orang harus bisa melihat dengan jelas bahwa konstruksi praktik itu adalah efek dari suatu kekuatan. Kekuatan itu tertera secara durabel dalam tubuh kaum terdominasi, dalam bentuk skema-skema dari persepsi dan dari disposisi-disposisi (yang memang untuk dikagumi, dihormati, disukai, dan lain-lain) yang membuat manifestasi-manifestasi sim­bolik tertentu dari kekuatan simbolik menjadi bisa dirasakan.
Pengetahuan tentang dominasi bisa muncul untuk hadir ber­dasarkan kekuatan materiil, misalnya dengan kekuatan senjata atau uang. Pengetahuan itu selalu mengandaikan adanya suatu tindakan pengetahuan. Jika itu benar demikian, maka pengetahuan tentang dominasi tidak selalu mengimplikasikan bahwa orang harus meng­gunakan bahasa kesadaran untuk menggambarkan bahwa dominasi itu memang hadir untuk mengharapkan pembebasan perempuan dari konsekuensi otomatis "penggunaan kesadaran", dengan mengabaikan kerumitan dan inertia yang berasal dari terpolanya struktur-struktur sosial dalam tubuh, karena teori tentang disposisi praktik tidak me­reka miliki.
Jeanne Favret-Saada mungkin telah memperlihatkan betapa tidak memadainya pengertian "persetujuan" yang didapatkan lewat "persuasi dan bujukan". Tetapi dia tidak berhasil keluar dari alternatif antara larangan dan persetujuan sebagai "penerimaan bebas" dan "kesesuaian eksplisit", sebab seperti Marx yang menggunakan ko­sakata "alienasi—berbicara demikian tentang "kesadaran terdominasi, terfragmen­tasi, kontradiktif yang dimiliki oleh kaum tertindas atau dia berbicara juga tentang "penyerbuan atas kesadaran perempuan yang dilakukan oleh kekuatan fisik, yuridis dan mental kaum laki-laki"). Karena tidak mampu menjelaskan dampak yang bertahan lama yang diberlakukan oleh tatanan maskulin atas tubuh, maka dia tidak bisa memahami secara memadai kepatuhan yang terjadi akibat pesona, yang merupakan efek khas dari kekerasan simbolik. Bahasa tentang "imaginarium" yang digunakan di sana-sini, sedikit menyimpang dan bermasalah, tentu saja memang lebih tidak memadai daripada bahasa tentang "ke­sadaran", dalam hal bahwa bahasa imaginarium itu cenderung melu­pakan bahwa prinsip visi dominan bukanlah suatu representasi men­tal sederhana, bukan suatu imajinasi (yaitu "gagasan-gagasan yang ada di kepala"), bukan suatu "ideologi, melainkan sebuah sistem yang ter­susun oleh struktur-struktur yang lama tertera dalam hal-hal dan tu­buh.
Distingsi-distingsi kritik itu tidak mem iliki apa pun yang gratis: sebab kritik-kritik itu mengimplikasikan bahwa revolusi simbolik yang ingin diadakan oleh gerakan feminis tidak bisa disamakan de­ngan suatu konversi simpel yang dilakukan orang atas kesadaran- kesadaran dan keinginan-keinginan. Dasar dari kekerasan simbolik bukan berada dalam kesadaran-kesadaran yang termistifikasi sehingga orang cukup menjelaskannya saja, melainkan berada dalam disposisi-disposisi yang disesuaikan dengan struktur-struktur dominasi yang telah menghadirkan disposisi-disposisi itu. Karena itu, maka orang tidak bisa mengharapkan adanya suatu pemisahan antara relasi pendukungan yang diberikan oleh korban dominasi simbolik kepada kaum yang mendominasi, kecuali jika terjadi suatu transformasi radikal atas kondisi-kondisi sosial produksi disposisi­-disposisi yang membuat si terdominasi berada di atas si dominan dan membuat si terdominasi itu menggunakan titik pandang si dominan atas diri mereka sendiri. Kekerasan simbolik tidak akan terjadi kecuali melalui suatu tindakan mengetahui [connaissance] dan tindakan menganggap buruk [meconnaissance] praktik yang dilakukan di luar kesadaran dan keinginan. Tindakan mengetahui dan menganggap buruk praktik itu menghadirkan "kekuatan hipnotis"- nya pada segala manifestasinya, yaitu larangan, saran, bujukan, an­caman, kecaman, perintah atau peringatan tentang tatanan. Tetapi, suatu hubungan dominasi, yang hanya berfungsi lewat dukungan disposisi-disposisi, untuk pelestarian atau transformasinya, akan bergantung pada pelestarian atau transformasi struktur-struktur yang memproduksi disposisi-disposisi.

C.   Perempuan Dalam Ekonomi Harta Simbolik
Disposisi-disposisi (yaitu habitus) menjadi tidak bisa dipisahkan dari struktur-struktur (habitudines, dalam penger­tian yang diusulkan Leibniz) yang memproduksi dan mereproduk­sinya, baik di kalangan laki-laki maupun di antara perempuan. Dan terutama disposisi-disposisi itu tidak bisa dipisahkan dari struktur aktivitas-aktivitas tekniko-ritual yang mendapatkan dasarnya dalam struktur pasar harta simbolik. Ketimpanan fundamental antara subjek dan objek, antara agen dan instrumen merupakan prinsip dari inferioritas dan eksklusi perempuan. Prinsip itu diratifikasi dan diamplifikasi oleh sistem mitiko-ritual, supaya menjadi prinsip pembagian bagi seluruh alam semesta. Ketimpangan itu terdapat antara laki-laki dan perempuan di lapangan pertukaran-pertukaran simbolik, lapangan hubungan-hubungan produksi dan reproduksi modal simbolik. Inti dispositif dari lapangan berisi pertukaran dan hubungan itu adalah pasar matrimonial (perkawinan). Pasar itu juga merupakan dasar dari seluruh tatanan sosial. Di pasar matrimonial ini, perempuan tidak bisa muncul kecuali sebagai barang atau lebih tepatnya sebagai simbol-simbol yang maknanya berada di luar diri mereka, dan fungsinya adalah untuk mendukung pelestarian atau peningkatan modal simbolik yang dipegang oleh laki-laki. Modal simbolik adalah kesejatian status yang diberikan kepada perempuan. Kesejatian ini akan terlihat kontradiktif (a contrario) dalam situasi yang membatasi. Dalam situasi semacam itu, untuk menghindari le­nyapnya garis keturunan, maka sebuah keluarga yang tidak memili­ki keturunan berkelamin laki-laki tidak bisa berbuat apa pun kecuali harus mengambil seorang laki-laki dari luar untuk anak perempuan­nya. Laki-laki itu disebut awrith. Sementara itu, berlawanan dengan tradisi patrilokal, ia harus tinggal di rumah istrinya dan dengan be­gitu maka ia tersirkulasi seperti seorang perempuan, yaitu seperti barang ("laki-laki itu menjadi istri", kata orang Qubail). Dengan de­mikian, maskulinitas itu sendiri dipertanyakan.
D.  Kekuatan Struktur
Ada suatu pemahaman yang sangat relasional tentang hubungan dominasi antara laki-laki dan perempuan, sebagaimana hubungan itu terbangun dalam keseluruhan ruang dan sub-ruang sosial, yaitu bu­kan hanya dalam lingkup keluarga, tetapi juga dalam lingkup sekolah, dunia kerja, lapangan birokrasi dan dalam wilayah media. Pemahaman itu membuat orang bisa memecah-mecah citra fantasi yang mengilusi tentang suatu "feminin yang abadi", sehingga orang bisa memperlihat­kan dengan lebih jelas kondisi konstan struktur relasi dominasi antara laki-laki dan perempuan. Kondisi konstan ini dipertahankan tanpa memperhitungkan perbedaan-perbedaan substansial kondisi-kondisi yang terkait dengan momen-momen sejarah dan yang terkait dengan posisi-posisi orang di ruang sosial. Tidak seperti yang dipercaya ba­nyak orang, kondisi konstan transhistoris pada relasi dominasi masku­lin itu tidak menghasilkan suatu dampak dehistorisasi dan denatural­isasi. Dan temuan tentang kondisi konstan ini mengharuskan orang membalik problematika biasa, yang didasarkan pada temuan tentang perubahan-perubahan yang paling terlihat pada kondisi perempuan. Temuan tentang kondisi konstan itu mengharuskan orang memper­soalkan kerja historis yang selalu berulang, yang harus ada untuk menghadirkan dominasi maskulin dalam sejarah dan yang harus ada untuk menghadirkan beberapa mekanisme dan aksi historis. Meka­nisme dan aksi itu bertanggung jawab atas terjadinya dehistorisasi, yang sebetulnya palsu. Mekanisme dan aksi itu juga harus dikenali oleh segala politik yang ingin melakukan transformasi historis, sebab jika tidak maka politik semacam itu akan lumpuh.
Gender bukanlah sekadar "peran-peran" sederhana yang bisa dipermain­kan orang sekehendak hati. Gender tertera dalam tubuh dan dalam dunia yang memberi tubuh itu kekuatan. Tatanan gender itulah yang mendasari kekuatan performatif kata­kata—terutama kekuatan performatif makian—tatanan itulah yang juga resisten terhadap redefinisi-redefinisi yang secara palsu bersifat revolusioner yang dilakukan oleh kehendak subversif.
Michel Foucault bermaksud mengupayakan dehistorisa­si seksualitas untuk melawan naturalisasi psikoanalisis, dengan mendeskripsikan suatu genealogi manusia barat sebagai "subjek keinginan; dalam bukunya Histoire de la sexualite yang dirancang sebagai "suatu arkeologi psikoanalisis". Menghubungkan ketidaksadaran yang mengatur relasi-relasi seksual, dan secara lebih luas yang mengatur relasi-relasi antarseks, bukan hanya dengan ontogenesis individualnya, tetapi juga dalam filogenesis kolektifnya. Yaitu bah­wa orang harus menghubungkan relasi-relasi itu dengan sejarah panjang yang sebagian tidak beranjak tentang ketidaksadaran an­drosentris. Tetapi untuk menjalankan proyek untuk memahami segala yang merupakan karakter pengalaman modern seksualitas itu, orang tidak bisa membatasi diri hanya berbicara tentang segala yang membedakan pengalaman Yunani atau peradaban kuno Romawi. Dalam kedua peradaban kuno itu, orang akan kesulitan menemukan suatu pengertian yang mirip dengan pengertian "seksualitas" atau pengertian "daging" yang sekarang kita punya, yaitu bahwa orang sulit menemukan "suatu pengertian yang mengacu kepada suatu en­titas yang tunggal dan yang membuat orang bisa mengelompokkan fenomena-fenomena yang bermacam-macam dan tampaknya jauh satu sama lain, menggolong golongkan perilaku-perilaku, dan juga bermacam sensasi, citra, keinginan, insting, hasrat, karena semua hal itu memiliki sifat kodrati yang sama" dan munculnya seksualitas yang demikian itu tidak bisa dipi­sahkan dari munculnya sekumpulan lapangan-lapangan dan agen­-agen dalam perlombaan untuk mendapatkan monopoli definisi sah praktik-praktik dan diskursus-diskursus seksual, yaitu lapangan re­ligius, hukum, birokrasi; yaitu lapangan dan agen yang bisa memak­sakan definisi itu dalam praktik, terutama dalam konsep keluarga dan visi famiIiali.
Skema-skema ketidaksadaran yang tersekskan bukanlah "al­ternatif-alternatif fundamental yang menstrukturasi" (fundamental structuring alternatives), seperti yang dimaksud Coffman, tetapi merupakan struktur-struktur yang bersifat historis, dan yang sangat terdiferensiasi, yang berasal dari suatu ruang sosial yang juga sangat terdiferensiasi. Ruang sosial itu hadir lewat pembelajaran-pembela­jaran yang terikat dengan pengalaman yang dilakukan para agen atas struktur-struktur ruang-ruang sosial itu. Begitu juga halnya dengan insersi yang dilakukan orang dalam bermacam lapangan yang teror­ganisasi berdasarkan oposisi-oposisi (antara kuat dan lemah, besar dan kecil, berat dan ringan, gendut dan kurus, ketat dan longgar, keras dan lembut, dan lain-lain). Insersi itu selalu mengandung suatu relasi homologi dengan distingsi fundamental antara maskulin dan feminin. Distingsi fundamental itu diungkapkan dalam alternatif­-alternatif sekunder (mendominasi/terdominasi, di atas/di bawah, aktif-melakukan penetrasi/pasif-mengalami penetrasi)".
Oposisi-oposisi yang berada dalam struktur sosial aspek kehidupan berguna sebagai dukungan bagi struktur-struktur kognitif, yaitu taksonomi-taksonomi praktik yang seringkali ter­catat dalam beberapa sistem kata sifat. Sistem-sistem kata sifat itu membuat orang bisa membuat penilaian-penilaian yang berkaitan dengan etika, estetika, dan kognitif. Di level universitas misalnya, sistem-sistem kata sifat ini adalah oposisi antara disiplin-disiplin yang dominan secara temporal, yaitu disiplin-disiplin hukum dan kedokteran, dan disiplin-disiplin yang terdominasi secara temporal, yaitu disiplin-disiplin ilmu-ilmu dan sastra. Di dalam disiplin-disi­plin yang terdominasi itu, ada oposisi antara ilmu-ilmu serta segala yang berada di sisi keras, dan teks yaitu sisi yang lembut. Atau juga ada oposisi yang tersembunyi antara sosiologi yang ditempatkan di sisi agora (ruang publik yang terbuka) dan sisi politik, dan psikologi yang ditempatkan di dalam seperti halnya kesusastraan." Atau juga di lapangan kekuasaan, ada oposisi antara para pengusaha industri atau perdagangan dan para intelektual. Oposisi itu sangat dibatasi dalam objektivitas praktik dan objektivitas atribut-atribut. Opo­sisi itu juga terdapat di otak dalam bentuk taksonomi eksplisit atau implisit yang menyebabkan bahwa di mata seorang "borjuis" maka seorang intelektual adalah suatu makhluk yang dianugerahi segala atribut yang terdapat di sisi feminin, sisi tidak realistis, seperti malai­kat, tidak bertanggung jawab (seperti yang bisa diamati orang dalam beberapa situasi, di mana kaum dominan awam berusaha memberi pelajaran kepada si intelektual atau si artis, berusaha "menjelaskan hidup" kepada mereka, seolah seperti halnya laki-laki memberi pel­ajaran kepada perempuan).
Dunia sosial adalah pembagian-pembagian yang terbentuk dalam beberapa prinsip pembagian objektif yang terbentuk di antara posisi-posisi sosial (dan para pemegang posisi itu, yang secara preferensial bisa masku­lin atau feminin: dokter/perawat, penguasaha/intelektual, dan lain-lain). Di antara posisi-posisi itu, dari titik pandang pelestarian pembagian-pembagian itu, posisi yang paling penting adalah po­sisi yang membedakan lapangan-lapangan yang memang ditujukan untuk melakukan produksi simbolik. Masyarakat Qubail memiliki bentuk kanonik oposisi fundamental itu. Oposisi fundamental itu memang mengalami demultiplikasi, dalam serangkaian oposisi-oposisi homolog. Oposisi-oposisi homolog itu mereproduksi oposisi itu tetapi dalam bentuk-bentuk yang tersebar dan seringkali diremehkan (seperti oposisi antara ilmu dan sas­tra, antara ilmu bedah dan dermatologi). Oposisi-oposisi spesifik itu menghimpit pikiran dengan cara yang lebih kurang sembunyi-­sembunyi, tanpa pernah tertangkap dalam hal kesatuannya maupun kebenarannya.
Orang bisa menangkap konstanta-konstanta struktur dan me­kanisme-mekanisme reproduksi dominasi itu, jika bisa menangkap keseluruhan totalitas tempat-tempat dan bentuk bentuk-bentuk, yang di dalamnya dominasi tersebut berlaku. Yaitu, dominasi yang cirinya adalah bisa terjadi di pelbagai level, di semua lingkup ru­ang sosial, dari yang lingkup paling kecil seperti misalnya keluarga hingga ruang sosial yang paling besar. Perubahan-perubahan yang terlihat yang telah memengaruhi kondisi feminin, menutupi keajeg­an struktur-struktur yang tak terlihat. Yang dapat memperlihat­kan keajegan itu kepada semua orang adalah pemikiran relasional yang mampu menunjukkan relasi antara ekonomi domestik, yaitu pembagian kerja dan pembagian kekuasaan yang merupakan karak­ternya, dan beragam sektor yang berbeda di pasar kerja (lapangan kerja) yang di dalamnya laki-laki dan perempuan terlibat. Pemikiran relasional itu dilakukan bukan dengan mengamati distribusi tugas antarseks, terutama distribusi peringkat antarseks dalam kerja do mestik dan kerja non domestik, dalam keadaan terpisah. Kebenaran hubungan-hubungan struktural dominasi seksual akan terlihat jelas jika orang mengamati misalnya bahwa para perempuan yang ber­hasil menduduki jabatan yang sangat tinggi (direksi perusahaan, direktur kementrian, dan lain-lain) bisa dikatakan harus "memba­yar" keberhasilan profesional itu dengan "keberhasilan" yang sangat kecil dalam tatanan domestik (perceraian, telat kawin, lajang, kesu­litan atau kegagalan mengurusi anak-anak, dan lain-lain). Juga bisa diamati bahwa dalam ekonomi harta simbolik atau sebaliknya, ke­berhasilan rumah tangga seringkali harus dibayar dengan pengun­duran diri perempuan secara sebagian atau total dari keberhasilan profesional (terutama lewat penerimaan "keuntungan-keuntungan" yang tidak akan sedemikian mudah diberikan kepada perempuan kecuali karena keuntungan-keuntungan itu membuat perempuan berada di luar perlombaan perebutan kekusaan. Ada batasan-batasan yang dibebankan struktur ruang domestik (yang aktual maupun yang potensial) atas struktur ruang profesional (misalnya lewat representasi tentang perbedaan yang wajib, tidak bisa dihindari, atau yang harus diterima, antara po­sisi suami dan posisi istri).
Dihubungkannya ekonomi domestik dengan bermacam sektor pasar kerja itu membuat orang memahami juga bahwa relasi domi­nasi yang sama bisa dilihat dalam kondisi-kondisi feminin yang sangat bermacam-macam, dalam bentuk yang berbeda-beda pula. Kondisi-kondisi perempuan itu ditemukan mulai dari pengorban­an barang dan uang yang dilakukan para perempuan borjuis besar untuk dapur atau untuk karya amal mereka, hingga pengorbanan diri menjadi pelayan atau "tentara bayaran" yang dilakukan oleh para buruh rumah tangga. Di antara dua ekstrem itu, di kalangan borjuis kecil perempuan memiliki pekerjaan yang hanya meleng­kapi pekerjaan suaminya, pekerjaan itu sesuai dengan suaminya dan hampir selalu dilakukan dengan nada minor. Struktur dominasi maskulin merupakan prinsip tertinggi dari sedemikian banyak relasi dominasi/kepatuhan tunggal. Relasi-relasi itu berbeda-beda dalam hal bentuknya, menurut posisi yang diduduki agen-agen dalam ru­ang sosial. Relasi-relasi itu kadang sangat besar dan terlihat jelas, ka­dang sangat kecil dan setengah terlihat, tetapi tetap bersifat homolog dan disatukan oleh suatu wilayah keluarga. Relasi-relasi itu memis­ahkan dan menyatukan laki-laki dan perempuan, masing-masing ke dalam dunia sosialnya masing-masing, dengan cara mempertahank­an "garis demarkasi mistis" itu di antara mereka.

Daftar Pustaka
Bourdieu, Piere. 1998. Diminasi Maskulin. Yogyakarta: Jalasutra



[1] Makalah di buat untuk memenuhi tugas Matakuliah Paradigma Antroplogi yang dibimbing oleh Dr. Tasrifin Tahara pada Pasca Sarjana Jurusan Antroplogi  Fisip Uhas 2015. 

0 Response to "Dominasi Maskulin"

Posting Komentar