A.
Pendahuluan
Berbagai
isu tertentu mengemuka diseluruh organisasi dan memamasuki hampir semua perbincangan mulai tentang:
bisnis, kehidupan masyarakat sampai realitas pribadi. Dari semua yang disebutkan tadi, transparansi
merupakan isu sentral—entah dalam bisnis global, otoritas korporat, politik
nasional dan internasional, atau cara media menghadapi gelombang pasang-surut
informasi. Sebagai kata yang umum
dan menarik, transparansi mencakup: keterbukaan, integritas, kejujuran, etika,
kejelasan, pengungkapan sepenuhnya, kesepakatan hukum, dan banyak hal lain yang
mengarah kepada kemampuan untuk saling bertindak adil. Daniel Goleman, James O’Toole, dan Ptricia
Ward Biederman—setelah menggali arti menjadi pemimpin yang transparan, menciptakan
organisasi yang transparan dan hidup di budaya dunia yang lebih transparan—memberikan
pandangan yang membantu para pemimpin untuk berpikir lebih jelas dan bertindak
lebih bijaksana dalam hal berhubungan dengan transparansi sebagai: isu yang semakin penting dan membentang di zaman yang
hebat dan sulit seperti sekarang. Menurut ketiganya, transparansi sangat
penting karena ia menempati porsi besar
bersamaan kemunculan teknologi sebagai sesuatu yang tidak terelakkan.
Definisi transparan
sebenarnya cukup sederhana dan untuk menambahkan makna harfiahnya “mampu di
lihat secara tembus pandang“ atau “tanpa tipu muslihat ataupun menutup-nutupi;
terbuka, jujur, dan terus terang”. Namun beberapa tahun terakhir, transparansi mendapat implikasi baru seperti
dikatakan penulis berita utama Fast Company secara bergurau, “transparansi:
bukan semata-mata untuk membongkar
rahasia lagi”. transparansi sangat dibutuhkan dalam negosiasi perdagangan
internasional, dan sejak itu popularitasnya semakin meningkat”. Kini,
kelihatannya tidak ada yang bisa membuat pernyataan terbuka tanpa menggunakan
kata itu. Biasanya dengan janji sepenuhnya bahwa pernyataanya benar dan
motivasinya murni.
Sebagai suatu budaya, kita sudah tentu mengharapkan semua organisasi
bersikap terbuka dan jujur dalam semua kegiatan. Kita ingin memastikan bahwa para pemimpin
mengungkapkan kebenaran sejati dalam berbaga hal. Kita ingin yakin bahwa berbagai organisasi
bersikap transparan dan terhormat, tanpa rahasia ataupun motivasi rahasia yang
menunjukkan kepentingan khusus.
B.
Apakah
Budaya Keterbukaan Itu?
Usaha untuk menahan informasi dari publik menjadi tugas yang
sama sekali mustahil karena perubahan besar dalam budaya global. Munculnya teknologi elektronik yang
menfasilitasi perkembangan dunia blog selama satu dekade terakhir—perkembangan
yang membuat transparansi mejadi tidak terelakkan. Dalam budaya ‘ketahuan’
seperti sekarang, tidak satupun pertemuan bisa dipastikan tetap menjadi
rahasia, tidak satupun penghinaan ras yang tidak terekam, tidak satupun
kesalahan organisasi dapat dikubur selamanya di dalam lemari arsip yang terkunci rapat. Kita hidup dalam era di mana komunikasi
semakin mudah dan tidak mengenal belas kasihan: semakin banyak pengalaman
pribadi kita disimpan secara elektronik dan mesin-pencari-dahsyat mengizinkan
arsip itu di lihat dalam hitungan detik oleh siapapun yang memiliki akses
internet.
Teknologi baru di atas secara harfiah menciptakan emansipasi
bagi jutaan orang yang tadinya tinggal terpencil, dan menawarkan banyak
kemungkinan baru yang tidak terbatas bagi semua orang. Daniel
Goleman, James O’Toole dan Patricia
Ward Biederman yang
mengamati transparansi dari tiga sudut pandang yang berbeda dengan
menekankan pada bagaimana semua hal itu terhubung dengan para pemimpin dan
kepemimpinan. Daniel Goleman, Pat Ward
Biederman dan
James O’Toole menggali dilema yang
mendesak setiap pemimpin masa kini: cara
menciptakan budaya keterbukaan. Bahwa
aliran informasi yang tidak terhalang sangat penting bagi kesehatan organisasi.
Membicarakan transparansi dan menciptakan budaya keterbukaan,
sebenarnya membicarakan aliran informasi yang bebas di dalam dan diantara organisasi dan para anggotanya—termasuk masyarakat. Bagi
berbagai organisasi, aliran informasi tersebut mirip sistem saraf pusat yang
keefektifan organisasi sangat bergantung padanya. Kemampuan suatu organisasi
untuk bersaing, menyelesaikan masalah, berinovasi, mengatasi berbagai
tantangan, dan meraih tujuannya (kecerdasan) adalah berbeda-beda namun disatu
titik aliran informasi harus tetap
sehat. Hal itu memang benar ketika informasi mengandung fakta penting. Akan
tetapi menjadi sulit diterima apabila informasi tersebut membuat para pemimpin bergidik
saat mendengarnya—dan para bawahan sering kali (dan bisa dimaklumi) pura-pura tidak tahu, menyamarkannya ataupun mengacuhkannya.
Agar informasi bisa mengalir dengan bebas di dalam sebuah institusi, para pengikut
harus merasa memiliki kebebasan
untuk berbicara secara terbuka, sementara para pemimpin harus menerima
keterbukaan tersebut.
Selain aliran komunikasi resmi di atas, transparansi sebenarnya merupakan hal yang
langka. Banyak organisasi biasanya mengataka
mereka menghargai keterbukaan dan kejujuran, bahkan menuliskan komitmennya pada
pernyataan visi dan misi organisasi. Sering kali
semua itu hanya ucapan
kosong semata—jika bukan bualan—yang gagal menjelaskan visi dan misi organisasi yang sebenarnya.
Lalu hal ini menyebabkan frustasi bahkan sinisme terhadap para pengikut yang
mengetahui kalau realitas organisasi tidak seperti yang diharapkan. Hal ini
sangat berbeda dengan organisasi yang berorientasi pada ide. Kerja sama yang tulus dan saling menghormati
akan menghasilkan moral yang lebih baik. Kemungkinan yang lebih besar munculnya
kreatifitas dan keterbukaan serta tranparansi yang lebih besar. Semakin orang
mengetahui dan semakin setara semua orang diperlakukan, semakin besar
kemungkinan bahwa semua orang akan berbagi kebenaran ketika mereka melihatnya.
Kerja sama yang lebih besar melancarkan proses pembagian informasi.
C.
Budaya
Sehat bukan Budaya Beracun atau Sindrom Anak Emas
Dalam dunia rasional, organisasi dan para individu akan
menerima transparansi—baik demi alasan etis maupun praktis—sebagai jalan
termudah meraih tujuan sekalipun hal itu jarang terjadi. Bahkan ketika
kekuasaan global menarik kita ke arah keterbukaan yang lebih besar, kekuatan
pembalik yang dahsyat cenderung menghalangi keterbukaan dan transparansi. Pertama, para pemimpin sering kali secara
rutin salah menangani suatu informasi, memberikan contoh buruk bagi kelompok.
Masalah yang umum terjadi di dalam organisasi menumpuknya informasi. Hal itu dapat menahan informasi di dalam
organisasi; tidak bisa mengalir kepada mereka yang membutuhkan untuk membuat
keputusan penting. Kedua, halangan
struktural sering kali menghambat aliran informasi. Salah satu rahasia kecil dan kotor dari banyak
organisasi adalah sistem kasta yang melemahkan, yang menyebut sebagian sebagai
bintang kemudian diberikan beberapa hak
istimewa dan mengutuk sisanya sebagai orang yang biasa-biasa saja yang
diharapkan menjadi serdadu kecil yang baik, yang bekerja keras, dan tetap
menutup mulut. Beberapa orang menyebutnya Sindrom
Anak Emas. Bahkan banyak orang di
posisi puncak mencari nasihat hanya dari orang-orang unggulannya.
Mengungkap kebenaran kepada orang yang berkuasa dianggap sebagai
tantangan etis yang paling tua. Mengambil sikap tersebut merupakan
keputusan paling menakutkan karena melibatkan sisi bahaya: mulai dari masa manusia
pertama hingga saat ini. Mempertanyakan
keputusan pimpinan bisa diartikan seperti cari mati. Di NASA, misalnya, aturan
dasar budaya menyebabkan bencana terhadap pesawat ulang alik columbia. Panel yang menyelidiki penyebab
tragedi Columbia menemukan penyebabnya
di luar masalah teknis—sepotong busa terbang yang merusak sebuah sayap—menyalahkan
budaya organisasi di mana para insinyurnya takut mengungkap masalah keamanan
kepada para manajer yang lebih mengkhawatirkan masalah memenuhi jadwal
penerbangan ketimbang resiko. Pada tahun
2002, Sherron Waltkins, Cynthia Cooper
dan Coleen Rowley dinyatakan oleh
majalah Times “Persons of the Year” karena
berani membawa kabar kepada yang
menduduki kursi puncak dalam organisasi mereka masing-masing tentang sesuatu
yang tidak ingin mereka dengar. Trio
terhormat tersebut tidak mencari sanjungan atau publisitas dan tidak ingin
menjadi pembocor rahasia, namun ketiganya berisiko dalam pekerjaan dan karier—bukan hanya peringatan
tentang pelanggaran etis serius yang tidak di perhatikan oleh bos mereka, para
wanita tersebut di pinggirkan, disisikan, di kecam bahkan di benci.
Bagi organisasi yang mengembangkan Budaya Sehat;
bersedia terus menerus memikirkan kembali asumsi paling dasar mereka melalui
proses pertentangan yang konstruktif. Bereaksi positif dan antisipatif pada
bidang teknologi, sosial, politik, ekonomi, dan perubahan kompetitif. Dalam
budaya sehat tersebut tidak ada
tanda-tanda orang mendapat atau kehilangan muka, kekuasaan atau
status. Keterbukaan dan kemauan untuk
mengajukan pertanyaan sulit dan
menantang kebijaksanaan merupakan bagian budaya organisasi sejak awal. Sebaliknya, organisasi yang menerapkan Budaya Beracun selalu menghindari pengungkapkan
kebenaran kepada orang-orang yang berkuasa.
Organisasi
memasuki kesulitan moral dan kompetitif
disebabkan pemimpinnya tidak mau menguji alasan dasar operasi mereka tentang
masalah yang sering kali di anggap tabu—ciri kondisi kerja yang diberikan pada
anggota, tujuan organisasi, dan tanggung jawab pada berbagai tugas pekerjaan.
Kegagalan untuk menguji secara terbuka asumsi yang di dorong oleh perilaku
tersebut menghasilkan hal yang biasa di sebut dengan pemikiran kelompok, keadaan untuk menyangkal
ataupun menipu diri secara bersama-sama berakibat pada kehancuran tujuan dan
etika.
D.
Transparansi:
Siap atau Tidak
Revolusi digital membuat transparansi tidak terelakkan: Internet, telepon genggam yang dilengkapi
kamera dan munculnya blog mendemokratisasi kekuatan dan tidak bisa di
tawar dan telah mengalihkan kekuatan itu dari sedikit orang yang berkedudukan
tinggi kebanyak orang yang diperlengkapi teknologi. Memo internal yang paling
mencurigakan bisa di ungkap oleh seorang blogger tanpa nama, tanpa
mengaitkannya dengan surat kabar atau stasiun televisi apapun, tetapi dengan
pengetahuan internal yang bisa menjangkau ribuan bahkan jutaan pembaca.
Pertumbuhan komputer jaringan akhirnya menciptakan Global village (desa global).
Kini siapa pun yang memiliki akses internet bisa menentang organisasi
paling kuat di bumi tanpa membuat
investasi finansial penting dan sering kali dengan sedikit ataupun tanpa takut
adanya hukuman.
Saat ini, ketika informasi mengalir secara global hanya
dengan satu klik mouse, transparansi
bukan hanya diinginkan tetapi juga tidak terhindarkan. Banyak pemimpim bertindak
seolah-olah mereka dapat menahan kebenaran yang rumit sehingga dunia luar tidak mengetahui. Cara-cara seperti itu telah usai.
Kebangkitan blog telah menguba ide
tentang transparansi. Lewat blog,
pembocor rahasia yang sebelumnya rapuh dan terisolasi, sekarang punya akses
langsung pada sekutu elektronik dan sekumpulan kekuatan super yang baru.
Pembocor rahasia tidak lagi harus memberikan kasus mereka kepada seorang
reporter atau membahayakan karir mereka dengan mengungkapkan rahasia organisasi pada publik. Mereka kini bisa
mengungkap secara diam-diam, tanpa nama. Ketika mereka melakukannya, blog memungkinkan seluruh informasi
tersebar ke dunia maya dengan sangat cepat.
Blog
bisa melakukan lebih banyak daripada sekedar mengungkapkan rahasia. Blog mampu menyebarkan informasi seperti virus berkecepatan luar
biasa. Berbeda dengan kebanyakan media utama yang berusaha memperlihatkan topik
dari dua sisi, blog secara terbuka
mengungkapkan sudut pandang tertentu, termasuk paham liberal dan konserfatif.
Mungkin karena keberpihakan yang terbuka, blog
seringkali memicu dan mendorong respon kuat dan emosional dari pembaca. Blogger memberi para pembaca cara untuk menyikapi
perasaan mereka. Satu alasan mengapa blog sangat efektif ditulis dan dibaca di manapun dan oleh
siapapun yang memiliki akses internet. Blog
dan media elektronik lainnya memiliki jangkauan yang lebih luas ketimbang
saingan tradisional mereka. Menurut
majalah fortune, 23.000 blog baru muncul secara online setiap hari pada awal tahun 2005
namun pada pertengahan tahun 2007, diperkirakan 70 juta blog yang disebut blogosphere yang terfokus pada industri, organisasi atau
kelompok kepentingan tertentu dan memanfaatkan orang-dalam yang memiliki
informasi berguna untuk dibocorkan tanpa mengungkapkan identitas dan
membayangkan hubungan dan pekerjaan mereka.
Tulisan yang bernada mendesak di blog bisa mendapat banyak pembaca untuk melihat sudut pandangnya;
setiap pembaca bisa mengirimkan pesan ke ribuan blog lain dan protes itu segera terdengar di seluruh dunia. Kemampuan ranah blog mengungkap rahasia kepada orang
luar oleh Michael Cornfield dari George Washington University menggambarkannya
sebagai “ setengah lab forensik dan setengah bar.” web log, sebutan yang tepat untuk blog, juga merupakan campuran aneh yang menggabungkan berbagai
macam fungsi. Fasilitator web log paling
terkenal saat ini, Google, memberikan nama dagang Blogger.com: “ Sebuah blog adalah
buku harian pribadi. Panggung harian. Ruang kolaboratif. Kotak sabun politik.
Tempat semua berita baru. Kumpulan link.
Pemikiran pribadi anda sendiri. Pesan singkat
pada dunia.
Para pemimpin yang akan berhasil dengan organisasi yang
berkembang di era elektronik ini adalah mereka yang berjuang membuat organisasi
setransparan mungkin. Meskipun terdapat
keabsahan moral dan batasan legal pada masalah keterbukaan, para pemimpin
setidaknya harus mencita-citakan kebijaksanaan “tanpa rahasia”. Ahli waris
pertama kebijakan tersebut adalah para anggota organisasi yang berada dalam posisi memanfaatkan
informasi yang maksimal ketimbang yang terbatas. Meskipun sulit dicapai,
kebijakan “tanpa rahasia” itu layak diperjuangkan mengingat bahwa kerahasiaan
dan privasi semakin tidak disukai. Lebih
baik tidak melakukan atau mengatakan sesuatu yang akan disesali jika itu menjadi judul berita utama di blog.
Suka atau tidak, transparansi baru dan di luar kehendak ini membutuhkan
aturan perilaku baru, perilaku yang diatur kenyataan bahwa kita tidak pernah
bisa berasumsi bahwa kita ini sendirian atau tidak terlihat. Seberapapun tidak
dinginkannya keterbuakkan ini, hal itu semakin menjadi kenyataan kehidupan.
Anda tidak aman sekalipun berada di rumah sendiri.
------------------------
*Muhammad Arsat;
Disampaikan dalam Diskusi Ilmiah Organda Manggarai tanggal 15 Mei 2014 di IASPI Makassar
Catatan:
Warren Bennis, James O’Toole dan Daniel Goleman. Transparansi; bagaimana Pemimpin Menciptakan Budaya Keterbukaan,
Libri, Jakarta. 2009.
0 Response to "Transparansi : Bagaimana Pemimpin menciptakan Budaya Keterbukaan menurut Warren Bennis, James O’Toole dan Daniel Goleman*"
Posting Komentar