Teori Kritis; Tafsir Marxisme atas Hakekat Kesadaran Manusia
Janganlah mengambil sisi yang
salah dari sebuah argumen karena musuh anda mengambil sisi yang benar—Baltasar Gracian
Saya curiga hal-hal yang tidak
disampaikan secara terbuka; karena disanalah sumber segala kekacauan—Jean-Paul-Sartre
1.
Pendahuluan
Pemikiran
Mazhab Frankfurt merupakan perkembangan Marxisme di Barat kemudian dikenal
dengan nama Marxisme Kritis atau Neo-Marxisme sebagai usaha menyegarkan kembali
pemikiran filosofis Karl Marx yang telah dibekukan menjadi ideologis di tangan
Parta Komunis Uni Soviet. Dalam Das Kapital, Karl Marx mengatakan; perkembangan
masyarakat kapitalis akan berjalan sedemikian rupa sehingga sistem ini akan
menuju penghancuran dirinya sendiri.
Friedrich Engels lalu menggunakan teori Marx masuk ke dalam Partai Sosial Demokrat Jerman.
Hasil Kongres di Erfurt tahun 1891 Pandangan Marx dan Pandangan Internationale II—disebut
determinisme ekonomi atau ekonomisme yang tak lain dari suatu penafsiran positivistik atas
ajaran Marx dalam Das Kapital— dijadikan dasar program partai. Teori
Marx juga diterima oleh gerakan buruh di luar Jerman termasuk Partai Sosial
Demokrat Rusia—Lenin menjadi wakilnya. Namun
hingga Perang Dunia I, ramalan tersebut—-sampai pada titik kritis tertentu,
sistem kapitalis akan ambruk dengan
sendirinya dan membentuk sistem baru yaitu sosialisme dengan kekuatan di tangan kaum proletar atau kaum buruh—tidak
menjadi kenyataan. Konflik kelas tidak
terjadi dan kedatangan zaman baru—zaman sosialisme—juga tidak dapat diharapkan. Pada tahun 1917 Eropa dikejutkan dengan runtuhnya Tsarisme Rusia dalam suatu
revolusi. Lenin
karena memainkan peranan penting lalu
mendirikan Uni Soviet di bawah kaum Bolshevik.
Tetapi gerakan buruh international
terpecah menjadi dua sayap; sayap demokratis anti Soviet (Partai Sosial
Demokrat) dan sayap komunis pro-Soviet (Partai Komunis). Sayap moderat (Partai Sosial Demokrat) dalam
perkembangannya kehilangan sifat Marxismenya sedang sayap komunis makin mempeteguh
diri dengan determinisme ekonomis Marxis (yang telah digabung dengan ajaran
Lenin). Diyakinkan oleh sukses Revolusi oktober, Partai Komunis Uni Soviet di bawah pimpinan
Stalin membekukan pemikiran Marx-Lenin menjadi ideologi resmi Soviet.
Dalam iklim “Stalinisasi”
di berbagai bidang kehidupan—termasuk kehidupan akademis— diskusi terbuka dan kritis mengenai ajaran
Marx tidak dimungkinkan. Meskipun
demikian, terdapat usaha penyegaran
teori Marxis di kalangan cendikiawan di wilayah pinggiran guna mengarahkan
maksud Karl Marx dalam wawasan dialektika Hegel—kerap disebut dengan “Kebangunan
Kembali Idealisme Jerman”. Orang pertama
menghidupkan kembali dialektika Hegel
dalam Marxisme adalah Georg Lukacs (1885-1971) dalam Geschicthe und Klassenbewusstsein
(Sejarah dan Kesadaran Kelas, 1923) dengan menolak determinisme ekonomis dari penganut Marxisme
Ortodokks selanjutnya menekankan peranan kesadaran kelas proletariat sebagai
subjek dialektika sejarah. Orang kedua
adalah Karl Korsch (1889-1961) dalam Marxismus
und Philosophie (Marxisme dan Filsafat, 1923) bahwa hakekat Marxisme adalah
tafsiran praktis atas kesadaran manusiawi yang dilenyapkan oleh tafsiran positivistis
atau Marxisme Internasionale II.
Pemikiran kritis Lukacs dan Korsch menjadi aliran pemikiran Marxis Baru;
Neo-Marxisme atau Marxisme Kritis—Antonio Gramsci menyebutnya “Filsafat Praxis”
karena mencari pertautan antara teori dan praxis dalam terang Marxisme dan
idealism Jerman pada umumnya.
Tercium oleh Moskwa dan kelemahan teoritisnya, Filsafat Praxis dilumpuhkan oleh kubu Marxisme Ortodoks. Memudarnya Marxisme Kritis gelombang pertama
segera disusul Marxisme Kritis gelombang kedua yakni; pemikiran kritis Mazhab
Frankfurt atau Teori Kritis atau Kritische
Theorie atau bahkan disamakan dengan lembaga penyokongnya; Institut fur Sozialforschung (Institut
Penelitian Sosial) yang didirikan di Frankfurt tahun 1923. Institut fur Sozialforschung salah satu
jurusan di Universitas Frankfurt dirintis oleh Felix Weil seorang sarjana Ilmu Politik beranggotakan; Freidrick
Pollock (ahli ekonomi), Carl Grunberg (Direktur Petama Institut), Max
Horkheimer (filsuf, sosiologi, psikologi dan direktur sejak 1930), Karl
Wittfogel (sejarawan), Theodore Wiesengrund Adorno (filsuf, sosiologi,
musikologi), Leo Loenthal (sosilogi), Walter Bennyamin (kritikus sastra),
Herbert Marcuse (filsuf), Franz Newmann (ahli hukum), Erich Fromm (psikologi
social), Otto Kircheimer (ahli politik), Hendryk Gross Mann (ahli ekonomi dan
politik), Arkadij Gurland (ahli ekonomi dan sosiologi). Sejauh “mazhab” atau “aliran” dimengerti
sebagai arus pemikiran sambutan “Mazhab Frankfurt” hanya diberikan kepada; Hokheimer, Adorno, Marcuse, Loenthal,
dan Pollock tetapi kelimanya hanya Adorno, Horkheimer dan Marcuse para komentator
menyebutnya Generasi Pertama Teori
Kritis. Generasi Pertama Teori Kritis mengembangkan
gagasan Lukacs tentang konsep reifikasi
(Verdinglichung) hasil sisntetis konsep
rasionalisasi Max Weber dan konsep fetisisme komoditas Marx. Menurut
Lukacs, gejala hubungan antarmanusia menampakkan hubungan antarbenda. Konsep reifikasi Lukacs muncul dengan wajah
baru dalam Teori Kritis sebagai Ratio
Instrumental—kritik atas masyarakat modern dan rationalitasnya. Dari
Karl Korsch mendapat inspirasi tentang “teori dengan maksud praktis” yakni kritik atas ilmu-ilmu borjuis.
Grunberg memimpin Institut sejak tahun 1923, dan kepemimpinannya
berakhir tahun 1929 diteruskan oleh Max
Horkheimer dengan meletakkan tiga tema
besar mewarnai seluruh pemikiran Mazhab Frankfurt; pertama, menetapkan kembali ”persoalan besar dalam filsafat”
melalui program penelitian interdisipliner; kedua, menolak pandangan Marxisme Ortodoks; dan ketiga, merumuskan teori masyarakat yang memungkinkan perubahan
ekonmi, budaya, dan kesadaran atau menyusun suatu teori dengan maksud praktis. Di era Horkheimer (1929-1950) pemikiran Teori Kritis dikenalkan melalui
majalah Zeitschrift fur sozialforschung.
Jika para pendahulunya, Marxisme Kritis gelombang pertama sangat dekat
dengan Stalinisasi maka generasi pertama Teori Kritis tidak hanya berteori
dalam konteks rezim totaliter Stalin, tetapi juga rezim otoriter Nazisme
(Nasional Zosialismus) Hitler. Hitler dan
situasi perang dunia II mereka sebut barbarisme
baru, otoriterisme Nazi dan Fasisme pada umumnya, seperti Stalinisme merupakan
perkembangan modernitas sendiri. Secara
ekonomis, baik Fasisme maupun Stalinisme menandai satu peralihan dari Kapitalisme Liberal menuju Kapitalisme Monopilis ditandatangani
langsung negara penindas. Tercium oleh
pemerintah Nazi, Institut ditutup lalu Horkheimer pindah ke Paris sebelum tahun
1984 berimigrasi ke Amerika Serikat di
Universitas Collumbia New York,. Horkheimer
dan Adorno menghasilkan karya bersama; Dialektik
derAufklarung (Dialektika Pencerahan, 1947) merefleksikan apa yang mereka sebut “barbarism
baru” selama penguasaan Nazi dan Fasisme.
Perang Dunia II di Eropa berakhir tahun 1945 dengan kemenangan pihak
antifasis. Adorno dan Horkheimer kembali
ke Universitas Frankfurt di Republik
Federal Jerman atau Jerman Barat. Pada
tahun 1951 institute didirikan kembali dan dibuka di Frankfurt. Horkheimer diangkat menjadi Rektor Universitas
Frankfurt dan Adorno disamping mengajar juga menjabat Direktur Institut
menggantikan Horkheimer. Pada era
kepemimpinan Adorno (1951-1969) mereka dikenal sebagai Mazhab Frankfurt.
2.
Pengertian “Kritik” dalam Tradisi
Teori Kritis
Kata Kritik
sebenarnya sudah dipakai sejak masa Renaissance (1350-1600) saat masyarakat
Eropa membangkitkan kembali kebudayaan Yunani-Romawi; kecenderungan berpikir
masa itu mulai mengusir kegelapan dogmatis abad petengahan (600-1400) yang
dikuasai cara berpikir gaya gereja—factor iman dan kepatuhan kepada otoritas
gereja mendapat porsi besar. Dalam masa
Renaisance, para sarjana dan seniman menyibukkan diri dengan teks sastra dari
zaman Yunani-Romawi, termasuk kitab suci.
Mereka mencoba memberi penjelasan dan penilaian atas teks sekaligus digunakan untuk menyerang atau mempertahankan
ajaran iman tertentu. Seni menilai dan
menjelaskan teks menjadi awal
hermeneutika kitab suci lalu akhirnya menjadi seni kritik yang lepas dari
kegiatan pengetahuan yang dilatar belakangi iman. Dalam perkembangan berikutnya, kritik sastra menjadi seni kritik yang rasional. Selanjutnya, jika Teori Kritis mempergunakan
konsep kritik, hal itu terutama dihubungkan dengan konsep kritik masa setelah Renaissance yaitu masa Aufklarung (abad 17, 18 dan abad 19)
setelah kemunculan filsuf-filsuf seperti;
Kant, Hegel, Marx, dan Freud yang oleh
Mazhab Frankfurt dinilai sebagai filsuf kritis.
a.
Kritik dalam
arti Kantian
Immanuel
Kant pemikir kritis yang mempertanyakan the
conditions of possibility dari pengetahuan kita sendiri dengan menyelidiki
kemampuan dan batas rasio dengan maksud menunjukkan sampai sejauhmana klaim
rasio dapat dianggap benar. Jalan yang
ditempuh Kant disebut kritisime
melawan filsuf sebelumnya disebut dogmatisme.
Dengan mempertanyakan syarat kemungkinan pengetahuan, Kant menguji
sahih tidaknya bentuk pengetahuan—fisika dan metafisika. Kant dengan epistimologinya mau menunjukkan
bahwa rasio dapat menjadi kritis terhadap kemampuannya sendiri serta menjadi
“pengadilan tinggi” terhadap hasil refleksinya sendiri, yaitu ilmu pengetahuan
dan metafisika. Kritik dalam pengertian
Kantian lalu berarti kegiatan menguji sahih tidaknya klaim pengetahuan dengan
tanpa prasangka dan kegiatan ini hanya dilakukan oleh rasio.
b.
Krtik dalam
Arti Hegelian
Hegel menempatkan
kegiatan pengetahuan atau rasio di dalam konteks perkembangan pengetahuan dalam
proses sejarah. Dalam istilah Hegel,
rasio ditempatkan di dalam rangka proses perkembangan-diri (Bildungprozess) dari rasio. Menurut Hegel, rasio bersifat kritis tidak dengan cara
transcendental dan ahistoris—seakan rasio itu sudah sempurna pada dirinya. Rasio
menjadi kritis justru kalau ia menyadari asal-usul pembentukannya
sendiri. Rasio bukan sebuah kesadaran
lengkap yang bebas rintangan dalam
sejarah umat manusia dan alam, melainkan proses menjadi semakin sadar di dalam
rintangan. Jika rasio menyadari rintangan
yang menghalanginya, akan menjadi
semakin rasional. Selanjutnya rasio melangkah ke kualitas rasionalitas yang
lebih tinggi.
Bagi Hegel, sejarah tidak lain dari pergumulan rasio merefleksikan
dan membebaskan dirinya dari rintangan untuk menjadi semakin sadar. Dalam konflik, kontradiksi dan rintangan,
manusia berusaha memahami siapa dirinya yang sebenarnya atau rasio berjuang menyadari dirinya dan menjadi makin rasional
dan bebas. Arti Hegelian dalam krtik
yakni; refleksi-refleksi diri atas
rintangan, tekanan, dan kontradiksi yang menghambat proses pembentukan-diri dari “rasio dalam
sejarah”. Kritik juga berarti refleksi
atas proses menjadi sadar atau refleksi atas asal-usul kesadaran. Kritik berarti negasi atau dialektika karena (bagi
Hegel) kesadaran timbul melalui rintangan yaitu dengan cara menegasi dan
mengingkari rintangan itu.
c.
Kritik dalam
Arti Marxian
Hegel
mengembangkan konsep kritik dalam konteks filsafat idealismenya (sejarah) dan
Marx mengembangkan konsep ini dalam
rangka materialisme sejarah yang bersifat praktis emansipatoris dalam
masyarakat yang nyata. Menurut Marx, apa
yang terjadi dalam masyarakat dan sejarah adalah orang yang bekerja dengan alat
kerja untuk mengolah alam. Dalam
masyarakat, alat kerja, pekerja dan pengalaman kerja merupakan kekuatan
produksi masyarakat, sedang hubungan antarpekerja dalam proses produksi itu
merupakan hubungan produksi. Dalam
pandangan Marx, sejarah tak lain dari sejarah perkembangan tenaga produksi dan
hubungan produksi atau dengan kata lain sejarah ekonomi, proses produksi dalam
masyarakat. Dalam praktek, hubungan
produksi ini adalah hubungan kekuasaan antara pemilik modal disatu pihak dan
kaum buruh di pihak lain mencerminkan pertentangan kepentingan antara kaum
kapitalis dan kelas buruh. Kelas
kapitalis ingin melestarikan kekuasaan sementara kaum proletariat ingin membebaskan
diri dari penindasan dengan cara
menghapus hak milik pribadi atas alat produksi.
Dalam pandangan Marx, pengetahuan atau rasio kita ditentukan oleh
factor ekonomi masyarakat dan kesadaran baru yang timbul hanyalah akibat
langsung dari penataan baru atas proses produksi sosial. Menurut Teori Kritis, Kritik dalam konteks
materialisme sejarah berarti praxis revolusioner yang dilakukan kaum proletar
atau perjuangan kelas. Kritik berarti
usaha mengemansipasikan diri dari penindasan dan alienasi yang dihasilkan oleh
hubungan kekuasaan di masyarakat atau dalam arti Marxian, kritik berarti teori
dengan tujuan emansipasi. Dengan
menyingkap kenyataan sejarah dan masyarakat lewat analisisnya itu, Marx tidak
hanya melukiskan masyarakat tetapi sekaligus membebaskannya. Kritik sebagai teori dan praxis emansipatoris
inilah pengertian kritik dalam arti Marxian.
Teori Kritis
berupaya mengintegrasikan konsep Psikoanalisis Freud ke dalam materialisme sejarah Marx. Dengan cara ini, suatu kritik yang bersifat
kemasyarakatan mendapat pendasaran psikologisnya. Konflik psikis muncul—hysteria, fobia,
neurosis dan berbagai macam psikopatologis lainnya—akibat represi terhadap
naluri yang penyalurannya dilarang dimasyarakat. Konflik internal ini membuat ilusi, delusi
serta pertahanan diri tak sadar. Dengan
menciptakan gambaran palsu, ilusi, delusi dan melakukan mekanisme pertahanan
diri, subjek seolah-olah mendamaikan
konfliknya, tetapi sesungguhnya semua hanya penipuan dan penindasan diri oleh dirinya sendiri. Situasi represi, ketertindasan psikis,
penipuan diri, gambaran-gambaran palsu juga diterapkan ke dalam kenyataan sosial,—khususnya
dalam ideology dan hubungan kekuasaan.
Dalam arti Freudian, Kritik adalah refleksi individu maupun masyarakat atas konflik psikis
yang menghasilkan represi dan ketidakbebasan internal. Melalui refleksi masyarakat dan individu membebaskan
diri dari kekuatan asing yang mengacau kesadarannya. Dengan singkat dapat dikatakan Kritik tak
lain dari ketidak sadaran menjadi kesadaran.
3. Kritik atas
Metodologi
Teori Kritis
merupakan program metodologis jangka panjang yang terus diperbaiki, dilengkapi
dengan wawasan baru. Para pendirinya punya tujuan mengaitkan rasio dan kehendak,
riset dan nilai, pengetahuan dan kehidupan, teori dan praxis. Mereka hendak menyusun suatu “teori dengan maksud praktis”. Seluruh program Teori Kritis Mazhab Frankfurt
didasarkan manifesto dalam Zeitschrift
tahun 1957 sebagai kritik terhadap Teori Tradisional yang dinilai disinterested dan jatuh pada
saintisme atau positivisme sebagai
konsep teori menurut ilmu-ilmu empiris-analisis atau ilmu-ilmu alam pada
kenyataan sosial kemasyarakatan. Teori
Tradisional—keberhasilannya menjelaskan fakta—bermaksud menciptakan suatu sistem
ilmiah meliputi segala bidang keahlian atau uniffed
science (Einheitswissenschaft)
lewat kerja deduktif—bertolak
dari hukum yang berhasil dirumuskan lalu bergerak menuju fakta kongkret yang harus tunduk pada hukum tersebut. Karena hukum dirumuskan dari kejadian
kongkret dan empiris, Teori Tradisional juga bekerja secara induktif—dari pengamatan data khusus
lalu mengambil kesimpulan umum menjadi suatu “hukum”. Melalui kedua metode tersebut, Teori Tradisional
menurut Husserl menjadi “sstem tertutup dari proposisi bagi ilmu
pengetahuan sebagai keseluruhan” dengan menjadi “system tertutup” seperti ini,
ilmu-ilmu alam tidak hanya sukses menjelaskan fakta, tetapi; sukses memanipulasi objek melalui teknologi
sebagai terapan teori; sukses dalam memprediksi, memanipulasi atau
mendayagunakan segala alamiah mendorong para pemikir tentang gejala sosial
kemanusian untuk menerapkan metode deduktif-induktif itu pada ilmu-ilmu social
budaya,—inilah yang dilakukan positivisme.
Membuka selubung “ideologis” Teori Positivistis yang mmbeku dalam
Teori Tradisional, Horkheimer menunjukkan tiga pengandaian dasar dalam arti
yang ketat. Pertama, Teori Tradisional mengandaikan pengetahuan manusia tidak
menyejarah atau ahistoris, sehingga teori
yang dihasilkan juga ahistoris dan asosial.
Dengan cara ini, Teori Tradisional mengklaim dirinya mandiri, cukup diri
dan terlepas dar konteks kegiatan masyarakat sehari-hari. Apa yang telah lama dicita-citakan dan seolah-olah
telah dicapai dalam Teori Tradisional adalah bentuk pengetahuan yang bebas dari
kepentingan (disinterested). Dalam wawasan teori ini, kegiatan berteori
dilakukan dengan memisahkan atau
menyingkirkan unsur subjektif dan teori.
Masyarakat sebagai objek yang ingin dijelaskan dipandang sebagai fakta yang netral, dapat
dipelajari secara objektif. Kedua, fakta atau objek pengetahuan bersifat netral; karena itu teori yang dihasilkan bersifat
netral. Teorinya deskripsi murni tentang
fakta yang merupakan pengetahuan demi pengetahuan. Teorinya, disatu pihak, tidak dapat
mempengaruhi atau mengubah objek dan objeknya, dilain pihak, merupakan sesuatu
yangtidak berubah, beku, dan mati; karenanya tidak dapat mempengaruhi kegiatan
untuk memperoleh teori murni tentang objek. Ketiga, teorinya dipisahkan
dari praxis, proses penelitian dipisahkan dari tindakan etis dan pengetahuan dipisahkan
dari kepentingan. Karena berusaha
mencapai status teori demi teori dengan tidak mempengaruhi objeknya, Teori Tradisional
membenarkan dan membiarkan fakta itu tanpa menarik konsekuensi praktis untuk
mengubahnya.
Konsep Teori
Tradisional pada dasarnya menindas dan
bila diterapkan pada kenyataan sosial kemasyarakatan menurut Horkheimer menjadi
bersifat ideologis serta penjaga status quo.
Sifat idelogis Teori Tradisional tampak dalam tiga gejala; Pertama,
teori tersebut ahistoris, mengklaim dirinya universal, berlaku dimana saja
secara transendental dan suprasosial sehingga melupakan proses kehidupan
kongkret di dalammasyarakat real. Ini merupakan penipuan ideologis karena
menutupi kenyataan bahwa ilmu pengetahuan sesungguhnya kegiatan masyarakat
kongkret. Dengan mengklaim dirinya lepas
dari kondisi historis, teori tersebut diterapkan dalam berbagai keadaan yang
belum tentu sesuai. Kedua, teori tersebut bersifat netral, Teori Tradisional berdiam
diri terhadap masyarakat yang menjadi objeknya dan membenarkan keadaan tanpa
mempertanyakannya. Dengan demikian,
teori tradisional berlaku sebagai ideologi yang melestarikan kenyataan. Ketiga,
memisahkan diri dari praxis, teori tradisional mengejar teori demi teori dan
karenanya tidak memikirkan implikasi praktis dari teori sehingga tidak
bertujuan mengubah keadaan, malah melestarikan status quo masyarakat. Horkheimer berpendapat seharusnya teori
masyarakat bersifat netral, historis dan
tidak lepas dari praxis serta bersifat kritis.
Teori yang kemudian disebut sebagai Teori Kritis dengan metode
dialektika Marxis—tetapi berbeda dari Marx dan Hegel—mengarah ke masa depan
atau apa yang mereka sebut unabgeschlossene
Dialektik (dialektika terbuka).
Kekuatan kritis termuat dalam metode dialektikanya karena pemikir
dialektis mencari kontradiksi dalam kenyataan kongkret. Teori Kritis memiliki empat karakter. Pertama,
bersifat historis karena dikembangkan berdasarkan situasi masyarakat kongkret
serta berpijak diatasnya. Horkheimer dan
rekannya menyebutnya sebagai Kritik
Imanen terhadap masyarakat yang nyata-nyata tidak manusiawi. Kedua,
disusun dalam kesadaran akan keterlibatan historis pemikirnya sehingga bersifat
kritis terhadap dirinya sendiri.
Maksudnya, Teori Kritis menyadari resiko bahwa setiap teori sangat
mungkin jatuh ke dalam salah satu bentuk ideology. Jika Teori Trasional menggantungkan
kesahihannya pada verifikasi empiris, Teori Kritis mempertahankan kesahihannya
melalui evaluasi, kritik, dengan refleksi terhadap dirinya sendiri. Ketiga, memiliki kecurigaan kritis terhadap
masyarakat aktual terhubung dengan kritik ideology Marx untuk menelanjalangi
kedok ideologis yang dipakai menutup manipulasi, ketimpangan, dan kontradiksi
dalam masyarakat. Keempat, “teori dengan maksud praktis” yaitu tidak memisahkan
dirinya dari praxis. Teori dibangun
untuk mendorong transformasi masyarakat dan transformasi hanya dapat dilakukan
di dalam praxis. Dengan singkat dapat
dikatakan bahwa Teori Kritis merupakan komitmen praktis sang pemikir kritis di
dalam sejarahnya sehingga menjadi tidak netral.
Dalam keterangan Horkheimer dalam manifesto itu kita dapat
mengatakan bahwa Teori Kritis diharapkan menjadi sebuah teori yang
emansipatoris. Teori ini sebagai teori
yang memihak, dialamatkan kepada kelompok social tertentu dalam masyarakat yang
akan menjadi kelompok sasarannya.
Siapakah subjek revolusioner yang menjadi alamat Teori Kritis, bukanlah
kaum proletariat karena dari individu yang cacat dalam masyarakat tidak dapat
diharapkan suatu revolusi sejati.
4.
Kritik dan Rasionalitas
Masyarakat Modern
Kritik terhadap kebobrokan masyarakat modern
mereka lakukan dalam dua cara Pertama, menelusuri kembali akar munculnya cara berfikir positivistis
masyarakat modern dengan merefleksikan proses rasionalisasi dalam masyarakat
barat. Kedua, menunjukan bahwa cara berfikir positivistis dalam ilmu pengetahuan dan teknologi berlaku
sebagai ideologi yang diterima secara sukarela oleh masyarakat modern itu sendiri. Cara pertama karya bersama Adorno dan
Horkheimer dalam Dielektik der Aufklarung
sedang cara kedua menurut Marcuse dalam One
Dimensional Man.
Dalam Dialektik der
Aufklarung, Adorno dan Horkheimer memperlihat bagaimana peradaban barat
yang dirintis sejak masa Yunani purba terjebak dalam proses pembusukan dan
keruntuhannya dengan munculnya cara berpikir saintis yang menguasai masyarakat
barat sehingga menghasilkan Perang Dunia II, fasisme, stalinisme, dan cara
hidup komsumeristis dalam masyarakat kapitalis Amerika Serikat. Fenomena itu, menurut mereka, dilatar
belakangi oleh penerapan cara berpikir positivistis melalui teknologi dan ilmu
pengetahuan agar masyarakat dapat dikontrol seperti alam.
Berdasarkan pengertian umum, pencerahan adalah segala usaha
manusia untuk membebaskan diri dari ketakutan dan menegakkan kedaulatannya atas
alam dan masyarakatnya. Adorno dan
Horkheimer mengambil alih defnisi Kant
tentang makna pencerahan lewat sebuah semboyan pencerahan “Sapere Aude” ; agar
setiap individu hendaknya berani berpikir sendiri tanpa bimbang orang lain,
baik bimbingan dari pemegang otoritas maupun dari tradisi. Pencerahan itu sampai pada penemuan bahwa
kedaulatan manusia terdapat pada pengetahuannya sendiri. Melalui pengetahuannya, manusia berambisi
untuk menghancurkan mitos irasional yang menyelubungi alam dengan misterinya. Dengan menyikapi misteri itu, manusia,
melalui pengetahuannya, menghancurkan mitos dan menguasai alam melalui
rasionalitasnya. Seluruh rencana dasariah
dari demitologisasi dan rasionalisasi itu adalah sekularisasi, humanisme dan
kebebasan.
Dalam One Dimensional Man,
Marcuse berpendapat bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi modern untuk membebaskan manusia ternyata menjadi sistem
penguasaan total dalam masyarakat. Ilmu
pengetahuan dan teknologi yang menjelma dalam industri untuk welfare state agar
manusia merealisasikan kebahagiaan dan kebebasannya. Dalam prakteknya kemudian, ilmu pengetahuan dan teknologi menurut Marcuce
bukannya mengabdi kepada manusia malah manusia dikendalikan oleh ilmu
pengetahuan dan teknologi. Tanpa disadari,
manusia melalui ilmu dan teknologi ditelan oleh kekuasaan yang tampil sebagai
sisterm total yang merangkum berbagai bidang kehidupan manusia. Dalam ungkapan Marcuse “dewasa ini kekuasaan melestarikan dan
memperluas dirinya tidak hanya melalui teknologi melainkan sebagai teknologi,
dan teknologi menyediakan legitimasi yang kuat bagi kekuasaan politisi yang
sedang meluas, yang mengabsobsi segala bidang kebudayaan”.
Menurut Marcuse,
dalam masyarakat zaman kita, manusia tidak lagi ditindas oleh manusia lain
seperti terjadi zaman Marx tetapi oleh sesuatu yang anonym, yaitu sistem
teknologi “menyeluruh dan mencengkeram segenap kenyataan alamiah dan social”. Marcuse berbicara mengenai apa yang disebut Rasionalitas Teknologis sebagai karakter
rasionalitas zaman ini. Dalam kebudayaan modern, segala hal dipandang
rasional sejauh dapat diperalat, dimanipulasi, dimanfaatkan atau diperhitungkan
secara mate-matis dan ekonomis. Dalam Rasionalitas Teknologis seluruh bidang
kehidupan di teknologisasi oleh sistem birokrasi yang ketat. Penataan masyarakat makin bersifat rasional,
produktif, teknis, dan total. Dalam kondisi ini, setiap perubahan kualitatif harus disingkirkan
sementara perubahan dasar dibiarkan
sejauh dapat dicocokkan dengan sistem bagi keseluruhan. Dengan gagasan ini Marcuse ingin menunjukkan
bahwa ilmu pengetahuan dan teknologi modern telah merampas kebebasan manusia
sampai kedasarnya. Dalam bidang politik
misalnya, masyarakat menampakkan dirinya sebagai masyarakat yang toleran; tersedia
kebebasan mimbar, kebebasan pers, kebebasan berkumpul, kebebasan beroposisi bahkan kebebasan seks. Masyarakat kontemporer menunjukkan dirinya
sebagai masyarakat yang bebas dan rasional tetapi menurut Marcuse “di bawah hukum
keseluruhan yang represif, kebebasan dibuat menjadi alat dominasi yang sangat
kuat”. Masyarakat modern adalah
“rasional dalam bagian-bagian tetapi irasional dalam keseluruhan”.
Hardiman, F. Budi. 2009. Kritik
Ideologi; Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jurgen
Habermas. Yogyakarta: Kanisius,
0 Response to "Teori Kritis; Tafsir Marxisme atas Hakekat Kesadaran Manusia"
Posting Komentar